Dinda
Hari senin setelah pesta itu. Di lorong kantor Dinda menyambut pacarnya Anto, yang membawa satu kantung plastik ukuran besar.
“Tadi malem nyampe ke sini jam berapa? Kok gak ngabarin?” tanyanya sambil tersenyum manis
“Tengah malem Yang, takutnya ngebangunin kamu…Nih” jawab Anto sambil memberikan kantung plastik yang dibawanya.
“Asiiik oleh-oleh hehehehe”
“Bagiin sama yang lain ya, ama gengnya si Jejen juga”
“Hah, pasti abis sama mereka ini mah”
Saat Dinda asyik memeriksa isi bawaan Anto, pria itu berbisik di telinga Dinda
“Yang…Ntar malem aku ke kosan kamu yah”
“Hmm? Kenapa emang? Baru hari senin” jawab Dinda cuek
“Ih, ari kamu mah. Udah manasin aku pake timun masih aja gak ngerti”
“Oooohhh, gak tahan nih yeee” ledek Dinda sambil tertawa
“Sssttt jangan keras-keras ah…Boleh ya?” mohon Anto
“Iiya, dateng aja napa, kayak bakal diusir aja”
Anto bersorak gembira, lalu setelahnya pacar Dinda itu pamit untuk kembali bekerja.
Dinda yang ditinggal sendiri menyandarkan tubuhnya ke dinding. Perlahan gadis berjilbab itu meraba selangkangannya. Membayangkan nanti malam dia akan bercinta dengan Anto membuat cairan cintanya mengalir. Tapi rasanya ada sesuatu yang kurang. Pesta gila kemarin telah mengubah Dinda. Memang bukan pesta yang pertama, tapi sejak Asep bergabung dan menyeimbangkan jumlah laki-laki dan perempuan di grup, pesta itu jadi jauh lebih seru. Banyak pengalaman seksual baru yang membuka matanya dan juga membangkitkan sisi binalnya. Dan Asep sendiri, ternyata bisa juga membuatnya takluk. Tak salah Dinda merekomendasikannya. Kenangan pesta kemarin begitu berkesan buat Dinda, dia jadi tidak yakin apa dia bisa menjalani hari-harinya seperti biasa.
“Aahh…Kayaknya aku gak bakalan puas deh kalo sama si Anto aja” gumam Dinda sambil menghela nafas.
Eci
Beberapa hari setelah pesta kemarin. Di kantor, tepatnya di gudang dokumen yang terpencil dari ruangan lain, tiga manusia sedang bermandi peluh. Bukan karena hanya ruangan itu gerah tanpa pendingin. Tapi karena mereka sedang berhimpitan. Eci dijepit Ari di depan dengan Jejen di belakang. Ketiganya telanjang bulat, dan bisa ditebak apa yang sedang mereka lakukan.
“Aaahh udahh ahh kaliaaan…Ini di kantooor” erang Eci lirih
“Tenang Mbaaakk…Kuncinya kita yang pegang kok!” jawab Ari sambil terus menggenjot memek Eci
“Aahhh…Tapi-tapi khan…Ini jam ker- Ahhhh!” Eci menjerit tertahan ketika Jejen menghentakkan kontolnya kuat-kuat dalam lubang anus Eci
“Gak bakalan ada yang curiga lah, tenang weh atuh” ujar Jejen cuek
Ya, keduanya sudah ketagihan men-DP Eci. Bukan hanya untuk melampiaskan birahi, mereka juga senang membuat Eci yang biasanya galak dan cerewet itu merengek minta ampun dalam jepitan mereka. Malah semakin bete dan galak Eci, semakin bernafsu mereka. Eci tak bisa melawan, karena perlawanannya hanya menambah bensin ke api.
“Eh Mbak, peraturannya yang itu direvisi dong”
“Mmhh…Peraturan yang manahh?”
“Itu yang ngelarang kita maen sama cewek-cewek di luar pesta”
“Ahh, kalian udah ngelanggar jugaaa…Percum- Ahhhh!” Eci menggelepar dalam jepitan mereka
“Jadi gak apa apa ya kita giniin Mbak tiap hari?”
“H-hhaahh? Tiap hari?” Eci membelalak mendengarnya
“Iye, siapin badan aja ya Mbak” jawab Ari dengan santainya
“Urang nyieun jamu dosis dobel isukan!” seru Jejen
“Bener Jen! Sekalian minjem vibratornya si Reza juga yuk!” timpal Ari
Eci langsung lemas mendengarnya. Dia hanya terkulai pasrah, bagai daging dalam sandwich di antara jepitan dua pria yang menggarap dua lubangnya tanpa ampun.
“Ah mampus deh gua kalo kayak gini terus…” batin Eci sebelum tubuh mungilnya gemetar karena orgasme untuk kesekian kalinya.
“Tapi…Tapi enak juga sih…Ah bodo amat lah…”
Irma
Hari sabtu sore, seminggu setelah pesta kemarin.
Irma menghempaskan tubuhnya ke kasur dengan kesal. Gadis bertubuh tinggi semampai itu mengumpat-umpat sendiri melampiaskan kekesalannya. Betapa tidak, rencananya menghabiskan malam minggu berdua dengan pacarnya gagal total. Ketika mereka bertemu, mereka malah bertengkar hebat karena masalah sepele. Hingga Irma meninggalkan pacarnya dan pulang begitu saja. Di rumah, dia kembali bertengkar dengan ibunya yang tidak menyetujui hubungan Irma dengan pacarnya yang sekarang. Jadilah Irma berguling-guling tak jelas di kasurnya sendiri. Setelah agak tenang Irma meraih HPnya, mencoba menghubungi sahabatnya Dita. Mungkin dia bisa diajak jalan.
“Tuut…tuuut…tuut” tapi Dita tak kunjung mengangkat teleponnya
“Aaah si Dita lagi ngapain sih, jangan-jangan lagi ngentot tuh anak” gerutunya kesal sambil menutup telepon.
Irma bengong beberapa saat hingga dia tersadar. Irma ingat, dia punya bentuk ‘pelarian’ yang pasti bisa membuatnya melupakan bete-nya saat ini. Dan Irma yakin, pasti dia tidak akan ditolak.
“Tuuut…”
“Halo Ir, ada apaan?” tanya suara di seberang telepon
“Hey Reza, lo lagi ngapain sekarang?”
“Errr, maen PS sama temen-temen sekampung”
“Ntar malem lo ada acara?”
“Kagak sih, paling jalan-jalan gak jelas…Kenapa sih lo?”
“Ya udah sini lo bantuin gue”
“Bantuin apaan?”
“Gua pengen…” ada jeda sesaat “Gua lagi pengen ngentot. Sini, pinjemin kontol lo”
Sepertinya Reza terhenyak di ujung telepon sana karena tak ada suara untuk beberapa saat
“Anjrit Ir, gak biasanya lo…Umm, lo yang minta kayak gitu”
“Terus? Lo kira gua gak pernah butuh gitu? Apa udah bosen sama memek gua?” nada suara Irma mulai meninggi
“Kalem Ir kalem, kenapa gak minta sama cowok lo aj-“
“Heh, gak usah nyebut-nyebut dia! Yang penting lo mau gak? Nih memek gratisan punyanya cewek cakep, gua tawarin buat lo pake seenak jidat lo!” cerocos Irma
“Iya iya, sabar Ir…Oke deh gua mau”
“Bagus! Diem di situ, ntar gua jemput!”
Irma menutup telepon sambil tersenyum puas. Gadis bermata sayu itu meraba selangkangannya. Sejak pesta kemarin, dia memang semakin tergila-gila dengan seks. Kedatangan Asep yang menggenapkan jumlah laki-laki di pesta sepertinya membuat pesta kemarin sangat berkesan buat Irma dibandingkan sebelumnya. Sekarang, seks seperti pelarian baginya. Semacam candu. Dan ia rela menukarkan harga dirinya demi kenikmatan yang bisa membuatnya melupakan masalah hidup.
Dita
Hari sabtu sore, seminggu setelah pesta kemarin.
Dita terbangun mendengar HPnya berdering. Tapi dia malas menjawab hingga dibiarkannya deringan itu berhenti. Paling si Irma ngajak jalan, pikirnya. Dita menghela nafas, kemudian menggeliatkan tubuhnya yang telanjang bulat sebelum kembali memeluk pria yang tertidur di sebelahnya. Dita tersenyum memandang wajah pria itu yang begitu damai dalam tidurnya. Tangannya merabai bulu di dada pria yang juga telanjang bulat dengan mesra.
Pria itu adalah Asep. Dita mengundangnya ke kosannya untuk ‘sesi curhat’. Walapun yang terjadi sebenarnya adalah Asep mencurahkan benihnya ke tubuh Dita. Mereka bercinta tanpa henti dari pagi hingga siang, disela makan siang sebelum kembali memacu gairah hingga mereka tertidur lemas. Ternyata tanpa jamu Jejen pun Asep bisa melayani nafsu Dita yang menggebu-gebu. Dan Dita pun dengan senang melayani Asep sepenuh hati, dan mengajarkan Asep semua yang dia tahu.
Awalnya Dita tak mau mengakui. Tapi sekarang dia menyadari…Bukan, bukan rasa cinta yang dia rasakan untuk Asep. Dita tidak merasa ingin memiliki apalagi menguasai Asep, tak ada juga rasa cemburu. Tapi Dita merasa Asep unik. Pria itu berbeda dengan semua pria yang pernah mencicipi tubuhnya. Baik yang kasar maupun lembut. Dita tak mengerti, bagaimana Asep bisa bercinta dengan liar tapi masih menyimpan kepolosan dan kesederhanaannya. Asep juga tidak berubah walau diantara para peserta pesta yang sudah hancur secara moral.
Buat Dita, Asep adalah manusia langka. Menemukan Asep membuat hidup Dita berwarna. Mungkin sensasi seksual yang diberikan Asep bukanlah yang terhebat yang pernah dirasakan Dita. Tapi itu tak penting buatnya, yang Dita inginkan hanyalah mempelajari pria unik yang ia sedang peluk sekarang. Mungkin Dita memang sudah tak bisa lagi merasakan cinta, tapi Asep memberinya harapan. Setidaknya ada sesuatu yang bisa dia rasakan selain kenikmatan fisik, walaupun bukan cinta dan tak bisa dideskripsikan. Ah, ternyata bukan hanya Asep saja yang bisa punya perasaan tidak jelas, pikir Dita.
Asep terbangun ketika Dita mempermainkan putingnya.
“Ah Mbak, jam berapa ya sekarang?”
“Udah rada gelap Mas Asep, lapar ya?”
“Lumayan sih”
“Yuk kita makan malam dulu, atau…” perlahan Dita mengocok kontol Asep “Satu ronde dulu?”
Asep membalasnya dengan mencium bibir tipis Dita, dan keduanya pun kembali bercumbu mesra.
Asep, pria sederhana dan polos itu tak tahu kehadirannya dalam pesta kemarin mempengaruhi para peserta pesta lainnya walaupun buat mereka pesta yang kemarin bukan yang pertama. Baik langsung ataupun tak langsung, bergabungnya Asep mengubah hidup mereka. Sekarang, mereka terutama para gadis tak bisa lagi bersikap biasa di luar pesta. Entah baik atau buruk, waktu yang akan menentukan.
Epilog – Tamat
Hari senin setelah pesta itu. Di lorong kantor Dinda menyambut pacarnya Anto, yang membawa satu kantung plastik ukuran besar.
“Tadi malem nyampe ke sini jam berapa? Kok gak ngabarin?” tanyanya sambil tersenyum manis
“Tengah malem Yang, takutnya ngebangunin kamu…Nih” jawab Anto sambil memberikan kantung plastik yang dibawanya.
“Asiiik oleh-oleh hehehehe”
“Bagiin sama yang lain ya, ama gengnya si Jejen juga”
“Hah, pasti abis sama mereka ini mah”
Saat Dinda asyik memeriksa isi bawaan Anto, pria itu berbisik di telinga Dinda
“Yang…Ntar malem aku ke kosan kamu yah”
“Hmm? Kenapa emang? Baru hari senin” jawab Dinda cuek
“Ih, ari kamu mah. Udah manasin aku pake timun masih aja gak ngerti”
“Oooohhh, gak tahan nih yeee” ledek Dinda sambil tertawa
“Sssttt jangan keras-keras ah…Boleh ya?” mohon Anto
“Iiya, dateng aja napa, kayak bakal diusir aja”
Anto bersorak gembira, lalu setelahnya pacar Dinda itu pamit untuk kembali bekerja.
Dinda yang ditinggal sendiri menyandarkan tubuhnya ke dinding. Perlahan gadis berjilbab itu meraba selangkangannya. Membayangkan nanti malam dia akan bercinta dengan Anto membuat cairan cintanya mengalir. Tapi rasanya ada sesuatu yang kurang. Pesta gila kemarin telah mengubah Dinda. Memang bukan pesta yang pertama, tapi sejak Asep bergabung dan menyeimbangkan jumlah laki-laki dan perempuan di grup, pesta itu jadi jauh lebih seru. Banyak pengalaman seksual baru yang membuka matanya dan juga membangkitkan sisi binalnya. Dan Asep sendiri, ternyata bisa juga membuatnya takluk. Tak salah Dinda merekomendasikannya. Kenangan pesta kemarin begitu berkesan buat Dinda, dia jadi tidak yakin apa dia bisa menjalani hari-harinya seperti biasa.
“Aahh…Kayaknya aku gak bakalan puas deh kalo sama si Anto aja” gumam Dinda sambil menghela nafas.
Eci
Beberapa hari setelah pesta kemarin. Di kantor, tepatnya di gudang dokumen yang terpencil dari ruangan lain, tiga manusia sedang bermandi peluh. Bukan karena hanya ruangan itu gerah tanpa pendingin. Tapi karena mereka sedang berhimpitan. Eci dijepit Ari di depan dengan Jejen di belakang. Ketiganya telanjang bulat, dan bisa ditebak apa yang sedang mereka lakukan.
“Aaahh udahh ahh kaliaaan…Ini di kantooor” erang Eci lirih
“Tenang Mbaaakk…Kuncinya kita yang pegang kok!” jawab Ari sambil terus menggenjot memek Eci
“Aahhh…Tapi-tapi khan…Ini jam ker- Ahhhh!” Eci menjerit tertahan ketika Jejen menghentakkan kontolnya kuat-kuat dalam lubang anus Eci
“Gak bakalan ada yang curiga lah, tenang weh atuh” ujar Jejen cuek
Ya, keduanya sudah ketagihan men-DP Eci. Bukan hanya untuk melampiaskan birahi, mereka juga senang membuat Eci yang biasanya galak dan cerewet itu merengek minta ampun dalam jepitan mereka. Malah semakin bete dan galak Eci, semakin bernafsu mereka. Eci tak bisa melawan, karena perlawanannya hanya menambah bensin ke api.
“Eh Mbak, peraturannya yang itu direvisi dong”
“Mmhh…Peraturan yang manahh?”
“Itu yang ngelarang kita maen sama cewek-cewek di luar pesta”
“Ahh, kalian udah ngelanggar jugaaa…Percum- Ahhhh!” Eci menggelepar dalam jepitan mereka
“Jadi gak apa apa ya kita giniin Mbak tiap hari?”
“H-hhaahh? Tiap hari?” Eci membelalak mendengarnya
“Iye, siapin badan aja ya Mbak” jawab Ari dengan santainya
“Urang nyieun jamu dosis dobel isukan!” seru Jejen
“Bener Jen! Sekalian minjem vibratornya si Reza juga yuk!” timpal Ari
Eci langsung lemas mendengarnya. Dia hanya terkulai pasrah, bagai daging dalam sandwich di antara jepitan dua pria yang menggarap dua lubangnya tanpa ampun.
“Ah mampus deh gua kalo kayak gini terus…” batin Eci sebelum tubuh mungilnya gemetar karena orgasme untuk kesekian kalinya.
“Tapi…Tapi enak juga sih…Ah bodo amat lah…”
Irma
Hari sabtu sore, seminggu setelah pesta kemarin.
Irma menghempaskan tubuhnya ke kasur dengan kesal. Gadis bertubuh tinggi semampai itu mengumpat-umpat sendiri melampiaskan kekesalannya. Betapa tidak, rencananya menghabiskan malam minggu berdua dengan pacarnya gagal total. Ketika mereka bertemu, mereka malah bertengkar hebat karena masalah sepele. Hingga Irma meninggalkan pacarnya dan pulang begitu saja. Di rumah, dia kembali bertengkar dengan ibunya yang tidak menyetujui hubungan Irma dengan pacarnya yang sekarang. Jadilah Irma berguling-guling tak jelas di kasurnya sendiri. Setelah agak tenang Irma meraih HPnya, mencoba menghubungi sahabatnya Dita. Mungkin dia bisa diajak jalan.
“Tuut…tuuut…tuut” tapi Dita tak kunjung mengangkat teleponnya
“Aaah si Dita lagi ngapain sih, jangan-jangan lagi ngentot tuh anak” gerutunya kesal sambil menutup telepon.
Irma bengong beberapa saat hingga dia tersadar. Irma ingat, dia punya bentuk ‘pelarian’ yang pasti bisa membuatnya melupakan bete-nya saat ini. Dan Irma yakin, pasti dia tidak akan ditolak.
“Tuuut…”
“Halo Ir, ada apaan?” tanya suara di seberang telepon
“Hey Reza, lo lagi ngapain sekarang?”
“Errr, maen PS sama temen-temen sekampung”
“Ntar malem lo ada acara?”
“Kagak sih, paling jalan-jalan gak jelas…Kenapa sih lo?”
“Ya udah sini lo bantuin gue”
“Bantuin apaan?”
“Gua pengen…” ada jeda sesaat “Gua lagi pengen ngentot. Sini, pinjemin kontol lo”
Sepertinya Reza terhenyak di ujung telepon sana karena tak ada suara untuk beberapa saat
“Anjrit Ir, gak biasanya lo…Umm, lo yang minta kayak gitu”
“Terus? Lo kira gua gak pernah butuh gitu? Apa udah bosen sama memek gua?” nada suara Irma mulai meninggi
“Kalem Ir kalem, kenapa gak minta sama cowok lo aj-“
“Heh, gak usah nyebut-nyebut dia! Yang penting lo mau gak? Nih memek gratisan punyanya cewek cakep, gua tawarin buat lo pake seenak jidat lo!” cerocos Irma
“Iya iya, sabar Ir…Oke deh gua mau”
“Bagus! Diem di situ, ntar gua jemput!”
Irma menutup telepon sambil tersenyum puas. Gadis bermata sayu itu meraba selangkangannya. Sejak pesta kemarin, dia memang semakin tergila-gila dengan seks. Kedatangan Asep yang menggenapkan jumlah laki-laki di pesta sepertinya membuat pesta kemarin sangat berkesan buat Irma dibandingkan sebelumnya. Sekarang, seks seperti pelarian baginya. Semacam candu. Dan ia rela menukarkan harga dirinya demi kenikmatan yang bisa membuatnya melupakan masalah hidup.
Dita
Hari sabtu sore, seminggu setelah pesta kemarin.
Dita terbangun mendengar HPnya berdering. Tapi dia malas menjawab hingga dibiarkannya deringan itu berhenti. Paling si Irma ngajak jalan, pikirnya. Dita menghela nafas, kemudian menggeliatkan tubuhnya yang telanjang bulat sebelum kembali memeluk pria yang tertidur di sebelahnya. Dita tersenyum memandang wajah pria itu yang begitu damai dalam tidurnya. Tangannya merabai bulu di dada pria yang juga telanjang bulat dengan mesra.
Pria itu adalah Asep. Dita mengundangnya ke kosannya untuk ‘sesi curhat’. Walapun yang terjadi sebenarnya adalah Asep mencurahkan benihnya ke tubuh Dita. Mereka bercinta tanpa henti dari pagi hingga siang, disela makan siang sebelum kembali memacu gairah hingga mereka tertidur lemas. Ternyata tanpa jamu Jejen pun Asep bisa melayani nafsu Dita yang menggebu-gebu. Dan Dita pun dengan senang melayani Asep sepenuh hati, dan mengajarkan Asep semua yang dia tahu.
Awalnya Dita tak mau mengakui. Tapi sekarang dia menyadari…Bukan, bukan rasa cinta yang dia rasakan untuk Asep. Dita tidak merasa ingin memiliki apalagi menguasai Asep, tak ada juga rasa cemburu. Tapi Dita merasa Asep unik. Pria itu berbeda dengan semua pria yang pernah mencicipi tubuhnya. Baik yang kasar maupun lembut. Dita tak mengerti, bagaimana Asep bisa bercinta dengan liar tapi masih menyimpan kepolosan dan kesederhanaannya. Asep juga tidak berubah walau diantara para peserta pesta yang sudah hancur secara moral.
Buat Dita, Asep adalah manusia langka. Menemukan Asep membuat hidup Dita berwarna. Mungkin sensasi seksual yang diberikan Asep bukanlah yang terhebat yang pernah dirasakan Dita. Tapi itu tak penting buatnya, yang Dita inginkan hanyalah mempelajari pria unik yang ia sedang peluk sekarang. Mungkin Dita memang sudah tak bisa lagi merasakan cinta, tapi Asep memberinya harapan. Setidaknya ada sesuatu yang bisa dia rasakan selain kenikmatan fisik, walaupun bukan cinta dan tak bisa dideskripsikan. Ah, ternyata bukan hanya Asep saja yang bisa punya perasaan tidak jelas, pikir Dita.
Asep terbangun ketika Dita mempermainkan putingnya.
“Ah Mbak, jam berapa ya sekarang?”
“Udah rada gelap Mas Asep, lapar ya?”
“Lumayan sih”
“Yuk kita makan malam dulu, atau…” perlahan Dita mengocok kontol Asep “Satu ronde dulu?”
Asep membalasnya dengan mencium bibir tipis Dita, dan keduanya pun kembali bercumbu mesra.
Asep, pria sederhana dan polos itu tak tahu kehadirannya dalam pesta kemarin mempengaruhi para peserta pesta lainnya walaupun buat mereka pesta yang kemarin bukan yang pertama. Baik langsung ataupun tak langsung, bergabungnya Asep mengubah hidup mereka. Sekarang, mereka terutama para gadis tak bisa lagi bersikap biasa di luar pesta. Entah baik atau buruk, waktu yang akan menentukan.
Epilog – Tamat
Comments
Post a Comment