Skip to main content

Salah Booking Kamar

"Mas, kayanya salah booking deh orang corporate ...," katanya lemas.
"Maksudnya?"

"Masak kita jadi satu kamar?"

"Heh?"

"Nih, liat aja sendiri."



Room 325
Helmi Andhana Jati
Andhika Buwono

"Namamu cowok banget sih," keluhku.

"Udah coba hubungi mbak Stefi?"

"Udah mas, katanya dia cuti sampai hari Rabu, padahal Sabtu kita sudah berangkat," tukasnya kesal.

"PIC yang lain ada?"

"Ga ada mas, soalnya semua udah dianggap beres. Geblek bener emang."

"Kadang-kadang emang perlu biodata yang lengkap ya. Kalo gini jadi penting banget," kataku ga penting.

"Terus gimana mas?"

"Kamu cek di yellow pages gih, terus cariin kamar buat aku. Selesai kan?"

"Tapi seminarnya 4 hari mas. Kantor pasti ga bakalan kasih. Kita juga udah overbudget tahun ini mas untuk akomodasi, masak lupa sih? Kemarin aja satu divisi kita inepin abis 30 juta."

"Ya, udah, pake duitku aja. Yang penting kamu cari aja dulu."

Helmi adalah staff di divisi training, dan aku adalah manajernya. Kami mendapat tugas dari holding (corporate) untuk mengikuti seminar tentang Training & Development. Ini kali pertama perusahaan kami yang tak terlalu besar ini diundang dalam seminar oleh corporate.

Sorenya wajah Helmi makin kusam saja.

"Full booked mas," katanya sambil duduk di depanku lemas.

"Mosok ah?"

"Iyaa, udah aku hubungin semua penginapan yang ada di deket tempat seminar, ada sepuluhan kali, katanya full booked semua. Itu long weekend mas," keluhnya lagi, sambil terisak.

Aku paham betul dia pengen sekali ikut seminar itu. Terutama karena pembicara-pembicaranya yang menarik dengan kredensial yang kami cari.

"Gini aja, kamu ikutlah seminar itu, aku ga usah ikut. Nantinya setelah pulang seminar, kamu bisa share sama kita di sini. Gimana?"

Dia terdiam.

"Sepakat?" aku mengangsurkan tanganku ke dia. Dia mendongak, dan kemudian tersenyum. Tangannya membalas tanganku.

"Nah, gitu dong."

***********

Pagi-pagi sekali, Helmi sudah duduk rapi di mejaku. Aku yang sebenarnya masih pengen ngopi pagi dan baca koran menjadi sangat terganggu. Mukanya agak ditekuk pula.

"Apalagi Helmi?"

"Mas, kayanya kok ga adil kalo cuman gara-gara kita satu kamar terus kamu batal pergi."

Aku menghela nafas.

"Terus maumu gimana?"

"Ya udah, kita berangkat bareng aja mas,"

"Lho, kamarnya terus gimana?"

"nanti aku pesen ekstra bed aja mas, di hotel."

Aku merenung sejenak.

"Kamu udah minta ijin suamimu, Hel?"

"aku rasa dia ga perlu tahu mas. Toh kita bakal seminar ...," jawab dia ragu.

"Jujurlah Hel,"

"Pokoknya kita berangkat bareng aja mas," katanya dan kemudian berlalu dari hadapanku.

***********

Pesawat kami mendarat di kota Y pukul 14.30, dan kami bergegas naik taksi untuk menuju tempat seminar yang jaraknya 20an kilometer dari Bandara. Bandara macet karena ini long weekend. Kami tampaknya salah strategi.

Di dalam taksi, aku baru sadar bahwa ternyata Helmi berdandan ekstra untuk seminar itu. Entahlah, tak biasa-biasanya dia berdandan cukup lengkap. Makeupnya tampak lebih tebal daripada biasanya di kantor. Bajunya pun juga tampak lebih rapi dan berkelas, dengan dalaman kemeja warna putih, blazer warna biru dan rok span warna senada. Sepatunya pun tumben, high heel 5 cm. Dan setelah kulihat-lihat, Helmi ternyata manis juga. Badannya memang agak gempal, pendek, tapi kulitnya putih dan bibirnya tipis merona. Rambutnya panjang lurus dan disasak.

"Kamu dandan kaya mau kemana aja. Ntar salah kostum lho," ceplosku. Kami satu team memang sudah sangat akrab dan terbiasa ceplas-ceplos.

"Biarin ah mas, sekali-kali."

Dalam perjalanan yang cukup panjang itu, kami akhirnya banyak ngobrol. Helmi memang rame. Banyak hal yang dia ceritakan, mulai dari urusan training sama divisi marketing yang ga selesai-selesai karena dijadwal susah banget, sampai urusan menikah sama orang sales yang ditinggal-tinggal mulu.

"Capek mas, Tyo pergi-pergi mulu, akunya di rumah sendirian."

"Lah, bukannya Tyo udah ngajuin mutasi ke bagian corporate sales?"

"Belum diapprove sama pak Ilham, katanya ga ada tenaga di ritel mas. Dia juga sekarang kalo pulang malem mulu, udah gitu capek. Kemarin seminggu dia sakit mas, kata dokter sih anemia akut,"

"Woalah, dirawat dong makanya suamimu,"

"Ya kalo itu mah kagak usah kamu ajarin mas," katanya sambil ngikik.

Iya, kebetulan aku kenal sama suami Helmi. Namanya Tyo. Masih sama-sama satu holding sama kantorku. Mirip Helmi, badan Tyo pun tambun. Cocok. Mereka berdua menikah sudah sekitar 2 tahun, tapi belum punya anak.

Sekitar satu jam kemudian sampailah kami di resort tempat seminar akan diadakan. Setelah check in dan mengambil kunci, seorang staf corporate menyambut kami karena kami ternyata sudah telat sekitar 30 menit untuk sesi pertama. Sesi Pertama ini cukup menarik karena si pembicara cukup interaktif, dan melibatkan kami dalam FGD yang sangat fun. Aku terpisah dari Helmi karena grup kami berbeda. Aku baru tahu kalo tak ada satupun orang corporate yang aku kenal dalam forum ini. Kami semua asing satu sama lain, dan interaksi pun agak canggung awalnya.

Sesi Pertama selesai jam 19.30 malam, dan setelah makan malam aku sempet kenalan dan ngobrol dengan beberapa manajer training di sister company. Aku biarkan Helmi mengembangkan network sendiri, toh dia sudah gede, masak apa-apa harus dikenalin. Sekitar jam 10 malam, tampaknya orang-orang sudah pada capek, dan akupun juga. Aku mencari Helmi, tapi dia ttak terlihat. Mungkin sudah duluan ke kamar. Aku bergegas menuju kamarku.

Aku mengetok pintu. Aku tahu aku bisa saja membuka pintu langsung karena aku juga pegang kunci, tapi tampaknya tak sopan jika aku langsung main masuk saja.

"Hel, kamu udah di dalam?"

Tidak ada jawaban. Kuketok lagi, tapi aku tak berani terlalu kenceng, takut mengganggu tetangga kamar.

Akhirnya aku membuka pintu kamar. Lampu sudah menyala. Tapi kamar kosong.

Mungkin dia di kamar mandi. Samar-samar kudengar suara air gemericik. Aku mengetok pintu kamar mandi.

"Hel, kamu di dalem?"

"Iyoo," sahutnya.

Aku lelah banget, dan baru terasa sekarang. Paling enak memang mandi air panas dan terus tidur. Aku menunggu Helmi selesai sambil nonton TV. Dan aku baru sadar. Kemana extra bed yang dijanjikan? Kasurnya Queen memang luas, tapi kan tak mungkin aku tidur seranjang dengan Helmi?

Pintu kamar mandi terbuka.

"Hel, kok extra bednya ga ada?"

"Iya, mas. Tadi aku juga udah telpon resepsionis. katanya extra bed kepake semua, jadi kita harus nunggu."

"Huh," kataku sambil memandang Helmi.

Helmi sedang mengeringkan rambutnya sambil menonton TV. Make-upnya sudah bersih, dan kupikir manis juga dia tanpa make up. Pipinya yan tembem putih, dan bibirnya yang tipis ternyata sangat menarik. Pantes saja Tyo tergila-gila. Dia memakai daster batik sebatas dengkul sebagai kostum tidurnya.

"Terus gimana Hel?"

"Gimana maksudnya mas?"

"Tidurnyaaa."

"Ya gimana lagi mas, kita tidur di kasur yang sama."

"Aku ga yakin itu ide yang bagus."

"mas punya alternatif lain? Ga ada yang mas kenal kan di seminar tadi."

"Udah mas, paling tidak malam ini aja. besok kita cari solusinya. Sekarang sudah malam."

"Kamu ga keberatan Hel?"

"Tadi aku juga udah mikir gitu mas, tapi ini bukan kesalahan siapa-siapa."

Aku mengangguk dan bergegas mandi.

"Udah ngabarin Tyo Hel?"

"Hel ..."

Ternyata dia udah tidur. TV masih menyala. Aku mematikan tv dan lampu, dan kemudian berbaring di sisinya. Dia tidur jauh di pinggir ranjang, dan aku kira itu cukup untuk membatasi gerak kami berdua.

Aku orang yang susah bangun pagi. Jika hari-hari biasa, aku biasa bangun jam 7, karena kantor cukup dekat dengan rumah, 10 menit naik sepeda (iya, aku naik sepeda setiap hari walaupun punya motor). Aku melirik jamku pagi itu, jam 7.30. Sesi kedua hari ini dimulai jam 9. Masih banyak waktu. Aku melihat sisiku dan tak menemukan Helmi. Rupanya dia sudah duluan.

Aku akhirnya menelpon istriku. Dalam perjalanan dinas seperti ini, aku mendapat jatah telepon 5 menit setiap hari dinas. Lumayan.

Tiba-tiba Helmi masuk dan hampir saja membuka mulutnya untuk menyapa. Aku segera memberi isyarat supaya dia tak bersuara. Istriku di telpon, aku komat-kamit.

Dia mengangguk. Aku mendengar cerita istriku di telpon tentang kedua anakku, tapi agak kaget juga melihat kostum Helmi pagi itu. Dia tampaknya habis ngegym di gym hotel pagi-pagi, dan kostum gymnya ...

Handuk tersampir di bahunya, dan tubuhnya berkilat-kilat karena keringat. Iya, dia memakai tanktop dengan tali bahu yang kecil, dan hotpants. tentunya wajar orang pakai kostum itu di gym, tapi ...

Tanktop itu sangat seksi. Aku menelan ludah, dan pembicaraan istriku di telpon pun serasa samar-samar. Aku dengan jelas melihat bra warna merah cabe di dalam tanktop itu. Dan bra itu rasanya tak kuasa menutup payudara terbesar yang pernah aku lihat secara nyata. Iya, dadanya besar sekali. Pede sekali ternyata dia dengan baju ngegymnya.

Helmi rupanya sadar bahwa pandanganku sudah tak fokus lagi ke telpon, tapi ke tubuhnya. Segera dia masuk ke dalam kamar mandi. Kontolku pagi itu mendadak tegang alang kepalang. Aku mengutuki diriku sendiri. Selama ini tak pernah aku memandangi Helmi dengan nafsu. Aku anggap dia seperti adikku sendiri. Sial!

Sesi kedua seminar kami berjalan dengan amat sangat membosankan. Aku semeja dengan Helmi sepanjang hari, dan yang kami lakukan hanyalah mengobrol di sela-sela sesi. Pembicara sesi ini adalah eksekutif senior corporate, dan perkiraanku hanyalah sesi abal-abal, sekedar memberi penghormatan lebih kepada pimpinan corporate. Kami bergegas menuju tempat makan siang setelah sesi tersebut selesai.

"Mas, mau anterin cari oleh-oleh ga?"

"Oh iya, ya, mumpung bisa. Tapi naik apa?"

"Tadi kata resepsionis, kita jalan kaki setengah kilo ada pusat oleh-oleh. Gede lagi. di Hotel sebenarnya jual juga sih, tapi mahal mas."

"Ayuk deh. Kamu ga ganti baju dulu, pake high heel gitu sama rok span? Aku mau ganti juga soalnya"

"Iya, mas."

Kami berdua berjalan menuju kamar.

"Pegel mas, kakiku."

Dia duduk di kursi sofa di samping tempat tidur. Tangannya kemudian memijat kedua betisnya.

"Lagian, ngapain pake high heel sih?"

Aku terpaksa melihat kedua betisnya, yang walaupun cukup gempal, namun putih mulus. Sesuatu menggeliat di dalam celana dalamku. Sial!

Dia beranjak ke kamar mandi untuk ganti baju, dan akupun, sudah lelah berbaju kemeja lengan panjang dan bercelana kain, memilih celana pendek dan kaos oblong. Lebih sialnya lagi aku membayangkan dia di kamar mandi, membuka bajunya, roknya, dan kedua dadanya yang super itu menggantung sesaat karena tak tertahan oleh BHnya, dan ...

Kontolku tegang keras.

"Mas, aku, eh ..."

Aku hanya bercelana dalam ketika dia tiba-tiba saja keluar dari kamar mandi.

"Sorrrii," dia segera menutup matanya dan balik ke kamar mandi.

"Kamu ga ngasih tau sih kalo mau ganti baju juga," teriaknya dari dalam kamar mandi.

Kampret, dia lihat ga ya tonjolan kontolku yang tegang karena membayangkan dia?

Kami berjalan berdua keluar hotel dengan diam, penuh kecanggungan setelah kejadian tak sengaja tadi. Aku pun entah kenapa jadi malu sekali. Eh, tapi kenapa aku harus malu? toh Helmi tak tahu aku sedang membayangkan dia kan pada saat tegang tadi?

"Sori ya mas, tadi,"

"Ah, kamu ga salah kok. Namanya juga ga sengaja. Jadi mau beli oleh-oleh apa?"

Aku segera mengalihkan perhatian.

"Entah mas. kalo istrimu suka apa mas dari kota ini?"

"Ah, dia mah udah bosen makanan kota Y. Udah sering banget. Kalo Tyo suka apa Hel?"

Dia terdiam.

"Apa ya? kayanya dia makan semua deh yang aku beliin, hihi."


Kami kemudian berjalan menuju tempat oleh-oleh sambil ngobrol ngalor-ngidul. Dan kemudian aku melihat sesuatu yang hanya pernah aku lihat di kota W, kota kampung halaman istriku.

"Eh, Hel, aku ada ide oleh-oleh yang bakal bikin Tyo dan kamu seneng," kataku sambil tersenyum lebar.

"Ayo mas, dibeli dibeli oleh-olehnya," kata simbok-simbok penjual.

"Apaan mas?"

"Ini, Purwac*ng," kataku mengikik. Tentu saja maksudku bercanda. Tak mungkin aku menyarankan oleh-oleh macam ini ke dia.

Dia kemudian merebut kemasan plastik itu dari tanganku.

"Meningkatkan vitalitas pria ...," dia mengejanya pelan dan kemudian wajahnya memerah.

"Ih, malu-maluin, ih," dia mengejarku yang pura-pura berlari dan kemudian memukuli punggungku. Simbok-simbok penjual oleh-oleh tertawa melihat adegan itu.

"Ampuuun," kataku pura-pura sambil menahan pukulan dari tangannya. Dia terhenti ketika sikuku tak sengaja membentur sesuatu. Yang kenyal.

"Aduh, mas" katanya.

"Aduh, sori, Hel, ga sengaja," kataku menyesal. Sungguh ku tak sengaja.

"Mas, nih, sakit tahu, " kemudian katanya sambil memukul lenganku lagi. Untung dia tak marah.

"Kita ke toko yang sana yuk mas," katanya kemudian santai, seolah tak pernah terjadi kejadian itu. Aku mengelus sikuku. Masih terasa kekenyalan itu.

Kami akhirnya membeli beberapa oleh-oleh untuk orang rumah dan kantor.

Sore menjelang, dan cuaca mendingin dengan cepat.

Kami sampai di kamar hotel dan menggigil kedinginan.

"Dingin banget mas," katanya sambil menempelkan telapak tangannya ke lenganku.

Aku menghindar.

"Gila ih, dinginnya."

Dia ketawa. Aku balas dia dengan menempelkan tanganku ke lengannya. Dia menghindar sambil ketawa. Entah kenapa kami jadi mudah menyentuh satu sama lain seperti ini. Padahal di kantor boro-boro. Strictly professional. Dan aku pun sangat menghormati kolega-kolega perempuanku.

Atau mungkin karena suasana? atau karena Helmi sendiri yang sedari tadi tak henti menyentuhku?

"Nanti ada sesi keakraban ya Hel?" aku berusaha mengalihkan pikiranku yang aneh-aneh.

"Iya mas, tapi kok males ya,"

"Jangan gitu, paling ndak kenalan lah sama anak-anak yang lain."

"Tapi bosen ga sih mas? anak-anaknya pada serius banget. ga ada yang fun!"

***********

Tapi benarlah apa yang dikatakan Helmi. Sesi keakrabannya canggung. Biasalah, teman-teman corporate ini mungkin perlu belajar banyak ice breaking dan adult games. Sesi keakraban diisi dengan acara games yang lebih cocok untuk anak-anak membuat semuanya jadi males dan canggung. Untungnya acara itu ga berlangsung lama, dan segera dilanjutkan dengan makan malam. Kalau tidak, mungkin kami sudah tewas karena bosan.

"Capek Hel?" aku melihat wajahnya yang kuyu.

"Iya mas, ga nafsu liat makanan, padahal tadi laper banget."

"Makanlah dikit, abis itu istirahat."

"Ga ah mas, males di kamar. Temenin makan yuk mas," katanya.

Kemudian kami makan berdua di pojok sambil menikmati live music yang maaf, di bawah rata-rata. Penyanyinya sering off-pitch, dan keyboardnya terlalu mendominasi. Belum lagi gitar melodinya yang sering salah chord.

"Jelek ya mas."

Aku mengangguk setuju.

"Balik ke kamar aja mas."

Aku terpaksa setuju.

Aku jadi teringat tentang extra bed yang dijanjikan pihak hotel. Sudah seharusnya mereka siap sekarang.

"Hel, kamu udah tanya hotel tentang extra bed?"

"Udah mas. Mereka bilang belum ada sampai 2 hari ke depan. Full."

Aku menghela nafas.

"Mas keberatan seranjang? Atau aku pindah aja mas?"

Helmi seperti tersinggung.

"Engga gitu ah, Hel. Sori kalo bikin kamu tersinggung. Cuman aku ga enak aja ..."

"Aku percaya kok sama mas," katanya sambil jalan ke kamar hotel.

Seperti biasa, Helmi masuk duluan ke kamar mandi untuk ganti baju, dan aku berganti baju di kamar.

"Mas, udah selesai gantinya? Aku mau keluar kamar nih. Ntar keliatan lagi," katanya terkikik.

"keliatan apaan, hehe?"

"Ituuu, tugunya ...,"

"Udah, hehehe," kataku sambil mematikan lampu. Hanya Lampu di ujung kamar di dekat kamar mandi saja yang ON. Aku menarik selimut, karena sungguh, hari pertama tidur dan paginya kakiku serasa kebas saking dinginnya.

Helmi keluar dari kamar mandi dan pemandangan itu benar-benar membuat mataku melotot. Dia mengenakan daster, biasa saja sebenarnya, toh kemarin juga dia memakai daster. Yang tak biasa adalah, karena lampu di depan kamar mandi saja yang dinyalakan, dasternya yang tipis itu menerawang!

Iya, aku dapat dengan jelas melihat kontur kakinya sampai ke celana dalamnya. Saat tangannya terangkat ke atas untuk mencopot kuncir rambutnya, aku dapat melihat samar volume dadanya. Aku tahu dia mengenakan BH, tapi rasanya BH itu tak kuasa menahan beratnya, sehingga dan volumenya agak terdistribusi ke samping. Kontur puncak dan lembahnya terlihat jelas. Aku merasakan ketegangan kontolku di bawah sana. Untung saja aku tertutup selimut tebal itu.

"Mas, selimutnya kok dipakai?"

"Aku kedinginan Hel. Kemarin sampai kakiku ga kerasa pagi-pagi. Boleh ya sharing selimutnya?"

"Ya boleh lah mas, aku pikir mas ga perlu pake? Jadi keinget Tyo, ga pernah mau pake selimut soalnya kepanasan," kata Helmi sambil menarik selimut dan merebahkan dirinya.

Kami terdiam.

"udah telepon mbak Dyah mas?"

"udah. Kamu udah telpon Tyo?"

"Belum. seingetku dia hari ini pulang malem, katanya. Entertain client sama pak Ilham."

"Mbak Dyah gapapa mas ditinggal agak lama kayak gini? biasanya kan kamu ga pernah lama to dinesnya?"

"Gapapa. Jatahnya kan ntar dirapel seharian, ehehehe," kataku bercanda.

"Kuat gitu mas?"

Aku tertawa kecil.

"Ah, ngomongin apa sih. Udah yuk tidur," kataku.

"Kayanya ide mas tadi bener juga bawa oleh-oleh Pu*wa*eng," katanya kemudian.

"Buat Tyo?"

"Iya, hihi, ah udah ah, tidur tidur," katanya sambil kemudian berbalik memunggungiku. Pada waktu berbalik itu, dia menarik kembali selimut dan akibatnya, aku kembali tak berselimut.

"Woy, jangan ditarik, aku jadi ga dapat selimutnya," kataku sambil menarik kembali selimutku.

"Ya, udah, aku geser dikit, deh, biar dapet selimut semua. Rewel ah, mas," katanya sambil mundur sedikit.

Aku merasakan bagian bawah tubuh Helmi, pantatnya tepatnya, menyenggol bagian bawah tubuhku. Gesekan yang jelas tak disengaja, dan aku pun tak terlalu mempersoalkan. Hanya saja ada yang menegang di di selangkanganku, dan dadaku pun mulai berdebar.

Aku menyingkirkan berbagai macam pikiran kotor itu dan mencoba untuk tidur. Tapi susah sekali. Pengalamanku selama ini, jika aku sudah terlanjur horny, susah sekali untuk meredamnya. Akhirnya aku berusaha memikirkan tentang pekerjaan dan rumah, dan entah jam berapa, aku udah tak sadar.

Aku terbangun tengah malam, mungkin sekitar jam 2, ketika merasakan sesuatu yang berat menimpa bagian tubuhku. Rupanya tangan Helmi sekarang sudah ada di dadaku, memelukku. Pun juga kakinya. Iya, kakinya menumpang di atas kakiku, seakan-akan kakiku adalah guling yang bisa ia keloni. Sial, kenapa sih harus begini? Jelas aku kembali horny! Padahal tadi ku sudah tidur nyenyak. Kenapa?

Aku merasakan kekenyalan dada Helmi di lenganku. Kugesekkan lenganku ke arah payudara yang besar kenyal itu. Sumpah, hanya penasaran. Walaupun dilapisi BH yang tampaknya kuat dan tebal, tapi jelas, kekenyalan dada itu benar-benar terasa. Aku tak boleh memanfaatkan kesempatan ini! Aku sudah beristri, dan Helmi sudah bersuami! tak layak sama sekali. Pelan-pelan aku menaruh kembali tangan Helmi yang tadi memelukku, dan mendorong kaki Helmi kembali ke tempatnya.

Kini tubuhnya terlentang. Aku mendengar sendiri detakan jantungku yang sangat cepat di dalam kupingku. Ketegangan kontolku juga tak juga mereda. Aku memejamkan mata, mencoba menghilangkan pikiran-pikiran kotor itu dari benakku. Tapi susah bukan main.

Aku memandang ke sampingku dan melihat samar-samar dada yang gempal naik turun bernafas secara teratur. Ooooh, aku mengelus kontolku yang tegang maksimal, dan memutuskan bahwa lebih baik aku ngocok saja, daripada nanggung banget seperti ini, supaya bisa segera tidur. Persetan dengan bekasnya pagi hari besok. Ini jauh lebih penting. Kucopot celanaku dan aku pun setengah telanjang dari pinggang ke bawah. Dan mulailah aku mengocok sambil memandang tubuh di sampingku itu.

Tapi ternyata tanganku punya pikiran sendiri. Iya, apa asiknya ngocok jika tak menyentuh sesuatu yang real? tiba-tiba saja tanganku sudah bertengger di atas perut Helmi. Aku pura-pura tak sengaja, tanganku diam saja di atas perut empuk itu. Helmi tak bereaksi, sehingga aku pikir aman untuk melakukan tindakan lebih jauh lagi. Aku mengelus pelan sekali, menikmati tipisnya daster Helmi dari bahan katun lembut. Aku dapat merasakan kemulusan kulitnya, pun juga lekuk lipatan lemak di perutnya. Iya, nyatanya aku suka dengan tubuh perempuan yang gempal, berdaging. Tanganku tentu tak puas dengan hanya elusan di perut. Naik terus ke dadanya, aku meremas pelan gumpalan daging yang kenyal itu. BHnya sungguh tak mampu menahan volumenya dan aku menikmatinya. Remasanku berganti-ganti kiri dan kanan. Nikmatnya. Elusanku turun terus menuju pahanya, dan mendapati ujung kain daster di paha Helmi. Pelan sekali ujung daster itu kutarik, dan diantara remang cahaya lampu kamar, aku melihat sedikit demi sedikit paha mulus yang aku lihat tak sengaja kemarin mulai tersingkap. Kusingkapkan daster itu sampai mentok di atas celana dalamnya, dan kulihat gundukan yang tertutup celana dalam itu. Penisku sekarang benar-benar tegang. Tanganku mengelus pahanya yang mulus, dan terus menuju gundukan yang sangat merangsang itu. Tembem. Kurasakan belahan memeknya, tertutup oleh celana dalam satin warna gelap. Mungkin hitam. Tanganku gemetar karena nafsu. Aku mengelus lagi sebagian perut yang tersingkap, dan ketika kususupkan tangan ke dalam celana dalamnya ....

Tubuh itu bergerak. SIAL! MODYAR AKU! Seketika jantungku berhenti bergerak. Aku segera mengangkat tanganku dan pura-pura merem. Tubuh di sampingku beringsut dan kemudian diam lagi. Aku mengintip dari sudut mataku dan melihat dia sekarang memunggunggiku. Aku menghela nafas lega. Aku melihat kedua belahan pantatnya yang besar dan tak tertutup celana dalam dengan sempurna. Sedikit belahan pantatnya tampak, dan kontolku yang tadi sempat kicep kembali mengembang dengan cepat. Oooh, betapa inginnya aku menciumi kedua pantat itu, tapi aku tak mau melakukan gerakan yang terlalu banyak sehingga berisiko membangunkan dia. Tanganku kembali bergerak mengagumi pantat itu. Sungguh-sungguh lembut. Aku bergeser pelan sekali, sehingga sekarang posisiku tepat di belakang punggungnya, dan kontolku sekarang menggesek buah pantatnya. UH, sedaaapnyaa! Kuselipkan kontol itu diantara kedua pahanya. Aku merasakan bahwa sebentar lagi aku bakal ejakulasi. Ooh, tidak, aku tak mau cepat-cepat. Banyak hal yang masih perlu "ditelusuri".

Helmi tidur seperti gedebog pisang. Dan aku suka itu. Iya, aku jahat. Ku tak puas hanya dengan menggesekkan kontol ke bokong empuk itu. Aku pengen lebih.

Tanganku semakin nakal, dan sekarang mencoba masuk dalam celana dalam itu, untuk mengelus memek tembem di depanku itu.

Aku kaget sejadi-jadinya ketika sebuah tangan menahan tanganku. Aku tercekat.

"Mas, jangan yang itu," suaranya lemah.

Jadi Helmi ....

Aku bernafsu, tapi aku masih punya cukup ketahanan diri. Aku ingin menikmati saat-saat itu selama mungkin. Aku mendekati tubuh Helmi, dan kurasakan bahwa nafas Helmi pun memburu. Seperti aku. Penisku menempel erat di belahan pantatnya. Aku menyibak pelan rambutnya, dan kucium lehernya. Baunya wangi, bercampur sedikit dengan bau keringatnya.

Bulu kuduknya berdiri. Aku meneruskan ciumanku ke pundaknya, lanjut ke belakang ketiaknya yang tak tertutup daster. Dia mendesah.

"kamu suka?"

Dia mengangguk, tubuhnya masih memunggungiku. Seolah tak ingin kehilangan momen, aku mengangkat tangannya dan menciumi kembali ketiak itu.

"Mas, jangan,..." katanya lemah. Aku berlagak tuli dan terus menciumi ketiak itu. Dia menyerah.

Sasaran mulutku selanjutnya adalah pantatnya. Pantat yang dari tadi sudah mengundangku untuk menciuminya. Tubuhnya bergetar ketika mulutku sampai ke buah pantatnya. Kupelorotkan sedikit celana dalamnya sambil terus menciumi pantat itu.

"Mas JANGAN!"

Katanya sambil berbalik dan kemudian memegang tanganku.

Aku tak menjawab, dan menyerang wajahnya dengan ciuman. Dia dengan semangat menyambut ciumanku. Ciumannya hangat dan bernafsu. Kedua bibir kami berpagut, ludah bersambut, dan lidah pun menari-nari. Tanganku membawanya ke penisku yang butuh sentuhan perempuan. Dia tanggap. Penisku dielusnya dari pangkal ke ujung.

"Keras banget mas. Mas horny ya liat aku?" katanya di sela-sela ciuman kami, ada nada bangga di suaranya.

Badan Helmi kutarik dan dengan tak sabar kurengkuh dasternya.

"Mas curang," dan dia pun melolosi kaos tidurku.

"Kamu yang curang, tuh masih pake CD."

"yang itu jangan mas,"

Kami lanjut berciuman, dan tanganku yang gatal pun meraih kaitan BH Helmi. Tangannya menahanku, tapi tak bertahan lama. Dalam hitungan detik BH itu pun terlepas. Segera kedua tangannya menutupi payudaranya yang ekstra itu. Tentu saja gagal.

"Aku malu mas," katanya.

"Kita sudah sejauh itu dan kamu masih malu?"

Kami berdua tertawa. Dia sangat seksi dengan gaya malu-malu itu. Tangannya masih tetap di depan payudaranya.

Klik!

"MAS!"

"Biar aku bisa melihat semuanya," kataku. Lampu samping kunyalakan dan aku dengan jelas melihat tubuh telanjangnya. Lipatan-lipatan lemak di sekitar perut dan pinggiran dadanya benar-benar, ehm, merangsang. Seperti dugaanku, kulitnya putih mulus tanpa cela.

Aku meregangkan tangannya supaya terbuka. Dia menyerah. Sejujurnya, baru kali itu aku melihat buah dada sebesar itu. Besar dan menggantung. Aku paham, untuk ukuran dada sebesar itu, rasanya memang tak bakal bisa menantang gaya gravitasi. Putingnya kecil, mengejutkan untuk dada sebesar itu, dengan areola yang sangat lebar, tapi berwarna pucat.

"Indah sekali," aku menggelengkan kepala kagum. Aku merebahkan tubuhnya, dan kemudian menyerang kembali bibirnya. Hanya kali ini, ciumanku liar menjelajahi leher, bahu, dan terakhir, hadiah terbesar, payudaranya.

Helmi mendesah ketika bibirku menyentuh puting susunya yang sudah tegang. Lidahku membuat lingkaran-lingkaran kecil di sekitar areolanya, dan kemudian menghisap putingnya. Tentu saja tanganku sibuk meremas kekenyalan dada itu. Bagaimana mungkin aku melewatkan kesempatan yang bisa jadi hanya sekali seumur hidup itu?

Tubuh Helmi menggelinjang, punggungnya melengkung ke depan. Tangannya mengelus kepalaku. Setelah puas menciumi, menjilati, menyecap dadanya, ciumanku kembali turun menuju daerah terlarangnya, tentunya sambil tetap meremas kekenyalan payudaranya dan memilin putingnya. Helmi diam saja ketika aku menciumi bibir vaginanya dari luar celana dalam yang tipis itu, sambil pelan-pelan aku memelorotkan celana itu dan melihat reaksi Helmi.

"Mas,..." katanya lemah, tapi tak berdaya menahan tanganku.

"Aku janji ga masukkin Hel, cuman pengen liat," kataku, tak yakin.

Dia mengangguk lemah, mungkin juga karena dia sudah sangat terangsang dan tak bisa berpikir jernih. Aku segera mendapati pemandangan indah lainnya selain payudara. Memek yang tembem dan masih tampak jarang terjamah. Bibir vaginanya masih rapat!

"Maluuu mas, jangan diliatin terus," katanya manja sambil menutup memek itu.

Aku seakan tak mendengar perkataan Helmi dan memegang tangannya. Ku cium memeknya, labia mayoranya yang tembem itu, sampai lipatan labia minoranya yang tertutup. Sedappp! Istriku jarang sekali menerima perlakuan ini, karena menurutnya menjijikkan. Jika saja istriku tahu...

"Jangan, ssshhh, dijilaaat, sssh," desisnya ketika lidahku menyusuri lipatan memeknya, tangannya memegang kepalaku. Pinggulnya bergerak dan hampir saja menabrak wajahku. Untungnya tanganku sigap meremas pantatnya yang besar itu. Oh no, you don't!

Kurasakan kaki Helmi mulai terbuka, dan memberikan akses lebih ke memeknya. Aku melanjutkan "serangan"ku terhadap memeknya yang, aku kira, telah basah banget. Jilatanku yang konsisten di memeknya itu tampaknya sangat efektif, dan tubuh Helmi menggelinjang tak karuan, siap-siap menerima orgasme yang pertama.

"Massssss!"

Dua jariku masuk ke dalam lubang memeknya, dan lidahku menyeruput klitorisnya, kontan membuatnya mencapai klimaks. Kedua pahanya menjepit kepalaku dan pinggulnya diangkat. Sesaat aku tak bisa nafas.

Setelah orgasmenya reda, aku mengambil posisi di antara kedua pahanya, kontolku tinggal lima centi lagi dari memeknya. Tangannya segera menahanku.

"Kumohon jangan mas," katanya, serius.

"Tapi gimana Hel? ini ...," kataku sambil memegang kontolku yang tegang keras.

Helmi memandangku dengan kasihan.

"Mas pengen gimana? tapi jangan yang itu ya mas," katanya.

"Diemut boleh?" kataku.

Dia menggeleng.

"Aku belum pernah ngemut itu mas, punya Tyo aja belum pernah aku emut, jijik ah," katanya sambil mengelus kontolku.

"Ya udah terserah Helmi aja," kataku sabar dan tak memaksa, padahal udah dari tadi geregetan. Aku ingin melihat inisiatifnya setelah mendapatkan orgasme dari aku.

"pake tangan boleh?"

Aku mengangguk.

Helmi terdiam berpikir sebentar. Tanpa berkata-kata dia mulai memijat kontolku. Dari bawah ke atas.

"Ehm, Hel, pake pelumas. kalo engga agak ngilu," kataku.

"Lotion?"

"Jangan, panas rasanya."

"Terus apa dong?"

"Coba ludahin dikit tanganmu ..."

Dia paham, dan pijatan kontolku sekarang lebih enak. Dia berada di samping badanku sekarang, dan tanganku tentu, melihat pemandangan susu menggantung di hadapanku, meremas, memilin puting dan susunya.

"Masss, usilll," katanya sambil terus mengocok kontolku.

Aku tersenyum.

Beberapa waktu berlalu dan kontolku mulai panas. Kocokan Helmi tak enak, jujur. Tangan yang paling jago ngocok tentunya tangan sendiri. Aku sendiri juga susah banget keluar kalo istriku yang ngocokin.

"Mas, kok lama sih, kalo Tyo mah pasti udah ... eh."

"Cepetin dikit, Hel, terus jangan terlalu kenceng pegangnya," kataku sambil memberi instruksi.

Dia mempercepat kocokannya, dan aku merasa bahwa sebentar lagi aku bakal ejakulasi.

"aku minta jangan dilepas ya peganganmu ketika aku muncrat, dan teruskan kocokanmu, pelan-pelan," aku wanti-wanti dia.

Dia mengangguk.

Dan dalam waktu tak lama, muncratlah aku, dan banyak pula kemana-mana. Tangan Helmi dengan setia mengocok sampai cairanku tak bersisa.

"Ih, banyak banget sih mas ...," katanya.

"Enak?"

Aku tersenyum lebar.

Kami akhirnya tidur berpelukan dengan keadaan telanjang, dan rasanya sungguh nyaman setelah sesi yang mendebarkan itu.

"Mas ..."

Suara Helmi membangunkan aku di pagi hari. Aku masih sangat mengantuk.

"Hmmm."

"Bangun mas, aku mau bicara sebentar."

Aku melihat Helmi sudah berpakaian lengkap, berbeda dengan keadaan tadi malam.

Entah kenapa perasaanku agak tak enak.

Dan tiba-tiba saja dia menangis.

"Kita tak seharusnya melakukan ini mas," katanya sambil tersedu-sedu.

Aku diam saja.

"Aku mengkhianati Tyo dan Mbak Dyah," katanya lagi.

Aku masih diam, tapi tanganku mengelus punggungnya. Aku merasakan bahwa dia masih belum memakai BH. Kontolku yang biasanya tegang di pagi hari itu terasa tambah tegang di bawah sana. Gila!

"Mas, kumohon kita jangan sampai melakukan ini lagi ya."

Aku diam saja tak menjawab.

"MAS!"

"Ok, jika itu maumu,"

"Janji?"

"Janji. Jangan menangis lagi Hel, aku jadi merasa sangat bersalah,"

"Kita berdua bersalah mas, membiarkan semua itu terjadi."

Hari itu kami lalui dengan tanpa bicara. Kecanggungan melanda, dan Helmi tampak sekali menjaga jarak denganku.

*******

Suasana di kantor pun terasa agak aneh setelah kejadian salah booking kamar itu. Aku dan Helmi terasa jauh, dan kagok sekali ketika bicara satu sama lain. Aku pun merasa Helmi seperti sengaja menghindariku.

"Hel, kita harus bicara," kataku di suatu sore ketika orang-orang sudah bersiap pulang.

"Ya mas?"

Aku kemudian memintanya masuk ke ruang meeting.

"Ini harus berhenti Hel,"

"Tak bisa kita terus-terusan begini. Aku tahu kamu menyesal sejak kejadian itu, dan aku minta maaf jika membiarkan kejadian itu berlangsung."

"Aku bohong jika aku tak menginginkan kejadian itu terjadi lagi, Hel, tapi aku janji ga akan usil lagi padamu kecuali kamu yang menginginkan,"

Dia melotot, dan aku nyengir.

"Ayolah Hel. Cobalah untuk lupakan hal itu, dan bersikap seperti dulu di kantor. Bisakah?"

"Aku minta maaf mas, bikin suasana ga nyaman ...."

"Bukan itu Hel ...."

Aku terdiam. Tanganku menyentuh bahunya. Hatiku berdesir tiba-tiba karena merasakan tali BH Helmi. Kenapa aku jadi mudah horny begini?

"Aku minta kau balik seperti dulu ya Hel, kita lupakan saja kejadian di hotel itu,"

Dia mengangguk dan tersenyum.

*******

Jelas, suasana menjadi lebih rileks dan nyaman setelah pembicaraan itu. Helmi, walaupun masih kelihatan agak kagok, pelan-pelan mulai cair lagi dan bercanda seperti biasa. Aku lega.

Sampai pada suatu ketika ...

Pagi itu seperti biasa lobi gedung begitu padat karena orang mengantri lift untuk menuju kantor masing-masing. Inilah resiko ngantor di gedung tinggi dengan jumlah lift terbatas.

Begitu lift terbuka, segera saja kerumunan orang berjubel masuk, termasuk aku di dalamnya. Tak ada sopan santun atau antrian, yang penting segera masuk ke dalam lift sempit itu.

"Mas, tolong tahan liftnya," teriak Helmi tergopoh-gopoh. Aku menahan lift itu tentu, dan tiba-tiba saja seorang ibu tua mendorong Helmi dengan kasarnya.

"Hei bu, yang sopan dong!"

Ibu ibu itu diam saja seperti tak merasa bersalah, dan pintu lift pun tertutup.

Helmi sengaja menyikut ibu-ibu yang tadi mendorongnya itu. Si Ibu itu menengok dan melotot. Helmi melotot balik.

Aku menepuk bahunya.

"Udah, udah," bisikku melihat ekspresi Helmi.

"Sebel!"

Perjalanan di lift yang penuh sesak itu sudah menjadi kebiasaan sehari-hari yang harus dijalani. Seringkali bertemu ibu-ibu yang menyebalkan macam begini adalah makanan yang harus ditelan, mau tak mau. Seringkali mood-ku berubah drastis cuman gara-gara kejadian kecil tak menyenangkan.

Aku baru sadar kalau posisi tubuh Helmi dekat sekali denganku, dan bahkan kami agak berhimpitan karena penuhnya lift itu. Yang tak ku sangka adalah, posisi bongkahan pantat sebelah kirinya menempel tepat di depan kontolku. Tentunya kami berdua tak sengaja dalam posisi ini. Gara-gara si ibu itu juga yang mepet Helmi.

Aku berusaha tak terpengaruh dengan situasi yang ini. Tapi kontolku punya pikiran sendiri ternyata, dan dalam waktu singkat, sentuhan kecil dengan pantat Helmi itu telah menegakkan batang kontolku. Aku malu dengan hal itu dan berusaha menghindari pantat Helmi, tanpa mengundang kecurigaan dari orang lain di dalam lift yang penuh sesak itu. Tapi susah bukan main! Jika aku sedikit menghindar, orang di belakangku persis pasti kena pantatku.

Aku dagdigdug berharap Helmi tak merasakan kontolku yang menegang di gesekan pantatnya. Aku berusaha diam sampai perjalanan lift itu berakhir. Bukan waktu yang pendek, karena kantor kami ada di lantai 20, dan sebagian besar penumpang adalah karyawan kantor lantai 18. Aku tak mau helmi menganggapku tak pegang janji yang kami buat di hotel waktu itu. Sialnya kontolku tak mau kompromi. Dan sialnya memang pantat Helmi sungguh sedap terasa!

Ting!

Tinggal kami berdua dan Lift berhenti di lantai 20.

"Hel, aku ..."

"Nakal ya," katanya sambil memencet hidungku dan berlalu.

Aku terpana.

******

Dan percaya atau tidak, hari itu berlangsung dengan amat sangat lama. Kenapa? karena aku horny seharian, memikirkan kejadian pagi itu. Sial! susah jadinya untukku berkonsentrasi dalam kerja. Untungnya tidak ada sesi training di hari itu, walaupun tugas administratif menggunung. Seperti biasa, acara tahunan dari holding adalah audit, dan kami bertugas untuk mempersiapkan dokumen-dokumen sebagai syarat audit.

"mas nakal ih"

sebuah pop up pesan net send muncul di layar windowsku. Helmi.

Segera kubuka command prompt.

"Aku beneran ga sengaja Hel"

"Ga sengaja kok berdiri tugunya?"

"Nakal!"

"Abis enak"

"Nakal!"

Ini beneran? Helmi tak marah? malah sepertinya dia suka ...

Kuketik jawabanku. Nafasku tiba-tiba saja memburu.

"Jadi pengen lagi"

"Nakal!"

Kurasakan kontolku tegang maksimal, dan aku tak bisa berpikir lagi. setelah beberapa menit sejak chat terakhir Helmi, aku butuh sesuatu untuk menghilangkan pikiran kotor itu. Kutinggalkan meja menuju ke pantry.

Jadi, pantry di tempat kami itu letaknya di ujung dekat toilet, dan agak lokasinya agak jauh dari cubicle karyawan, harus ditempuh dengan melewati gang kecil.

Dan kulihat Helmi di sana, tampaknya sedang membuat minuman untuk dirinya sendiri. dan tampak melamun sambil mengaduk minuman itu. Biasanya ada office boy yang duduk di pantry, menunggu saat pulang sore hari, tapi sepi. Entah setan apa yang mendorongku ...

Helmi masih tak menyadari kedatanganku di belakang dia. Aku berada tepat di belakangnya, dan menjangkau kabinet di atas kepala Helmi untuk mengambil kopi sachet. Dalam usaha itu, dengan sengaja aku menggesekkan ketegangan kontolku yang dari tadi belum turun juga ke pantatnya. Pelan namun pasti.

"MAS!"

Helmi berteriak menengok ke arah belakang. Lebih ke kaget daripada protes.

"Sssshh, cuman mau ambil kopi," kataku, tapi sambil berlama-lama menikmati keempukan bongkahan pantat Helmi. Helmi mematung, seakan menunggu langkahku berikutnya. Aku pun begitu, tak yakin apa yang harus kulakukan kemudian.

Bibirku yang kemudian mendekati leher putih itu. Tidak menyentuhnya. Hanya bernafas tepat di belakangnya. Tentunya kontolku masih menempel ketat di bokongnya.

"Massss..."

Dia hanya mendesah sambil menatap tembok pantry di depannya. Tangannya kini bertelekan di meja pantry.

"Gulanya Hel," bisikku. Tanganku berpura-pura menjangkau toples gula tepat di depannya. Dan "tanpa sengaja" menyenggol pinggir dadanya. Pelan sekali.

Rasanya kontolku hampir muncrat, tapi entah kenapa, aku merasa belum saatnya bertindak lebih jauh dengan Helmi.

Aku kemudian bergeser, dan membuat kopi di sampingnya.

"Nakal banget ih," dia memukul lenganku. Kenceng. Aku mengaduh sambil memegangi lenganku.

"Sukurin, sebel! Istri orang digangguin!"

Dia berlalu dengan membawa minumannya. Aku melihat bokongnya yang seperti sengaja dia lenggak-lenggokkan untuk menggodaku.

Aku kembali ke cubicleku, masih dengan ketegangan pada kontolku. Helmi memonyongkan mulutnya ketika aku melewatinya.

"Suka banget sih gangguin"

Kembali pop up message dari Helmi.

"Gangguin apaan sih?"

"NAKAL!"

"Kok ga marah?"

"Ini lagi marah"

"Marah kok malah monyong begitu"

"Ntar tak bales lho"

"Coba aja kalo berani"

"Nantang nih?"

aku tak menjawab.

Sore itu jadi terasa begitu lama. Begitu pulang, tanpa ba bi bu "kuserang" istriku yang sedang memasak.

"Ayah lagi kesambet apa sih nih, kok nafsu banget," Dyah membalas ciuman birahiku.

"Lagi pengen, emang ga boleh nafsu sama istrinya?"

Kuremas dadanya yang padat walaupun sudah menyusui dua anak. Seperti biasa, tanpa bra di rumah. Aku merasakan putingnya yang super besar menegang dengan cepat. Dampak menyusui paling diinginkan para bapak adalah membesarnya puting!

"Iya, tapi tempenya gosong nih,"

"biarin."

"Anak-anak belum tidur lho yah," kata istriku mengingatkan.

Aku lemas, tapi terpaksa menunggu.

******

Aku mengantuk keesokan harinya. Terang saja, dua ronde tadi malam sama ibunya anak-anak.

"Mas, tuh ditanya bu Dita tuh," bisik Helmi menyenggol lenganku dengan sikunya.

"Eeh, iya bu."

Sial, aku ketiduran di meeting.

"Semalam abis bertempur ya?"

Helmi bertanya padaku sekeluarnya dari meeting.

"Apaan sih, mau tau aja."

"Keliatan tuh mukamu, ngantuk tapi senyum-senyum."

"Eh, iya ya?"

Dia ngakak.

"Kamu ketahuan," katanya sambil melet.

Sial!

Akibat mengantuk itu pula, bu Dita kemudian meminta laporan lengkap evaluasi training selama setahun. Evaluasi individualnya sendiri ada, sudah pernah dibuat karena digunakan untuk audit, tapi masih belum dikompilasi oleh Helmi karena kami fokus pada audit corporate.

"Gara-gara kamu sih, mas, harus lembur nih kayanya kita," kata Helmi sambil manyun.

Aku hanya mengangkat kedua bahuku.

"Kamu tinggal ambil semua hardcopy evaluasi di ruang dokumen, dan kita entri satu demi satu,"

"Ya mas, aku tahu, cuman evaluasi per bulan banyak banget gara-gara kita rekrut marketing besar-besar dari Januari sampai Juli."

"Ya udah, aku bantuin angkut."

Helmi pun melangkah lesu ke ruang dokumen di ujung.

"Jo, minta kunci ruang dokumen," seruku pada Johan, staf payroll, orang betawi asli yang paling ngocol sekantor.

"Lah, gue dah mau pulang, mas," serunya kecewa.

"Ya udah kasih ke aku sini," Helmi langsung menyahut dan merebut kunci itu dari tangan Johan.

"Kasihan deh yang lembur. Makanya jangan ngorok di meeting," timpal Puspa, teman Johan.

Aku melotot, mereka tertawa terbahak.

Tempatku memang jarang sekali lembur, beda sekali dengan tim payroll yang tiap bulan pasti lembur.

Kantor sudah sepi sekali sore itu.

"Pak Dhika, saya pulang dulu ya, nanti jangan lupa lapor ke security kalo bapak pulang," kata Jono, OB di lantaiku.

"Ya, kamu udah masakin air di pantry kan Jon?"

"Udah pak."

Akhirnya tinggal kami berdua di kantor ini.

"Hel, udah dapet semua dokumennya?"

Helmi sedang jongkok mencari berkas.

"Ga usah tanya tanya!"

Aku paham dia marah karena lembur dadakan.

Wow, aku mendapatkan pemandangan yang menarik dari depan pintu ruang dokumen. Posisi Helmi yang jongkok memberikan pemandangan kedua paha gempal yang putih tertutup rok span warna hitam. Sayang aku tak dapat melihat jauh ke dalam sela pahanya.

"Heh, matanya jangan jelalatan dong, bantuin kek," katanya tanpa melihatku sama sekali.

Aku nyengir.

Aku duduk bersila di depannya dan kemudian mulai membongkar dokumen training di box. Untungnya tak susah. Helmi termasuk administrator yang baik dan rapi.

"Bawa ke meja mas, ini semua,"

"Baru kali ini manajer disuruh-suruh," kataku bercanda.

"Iya, soalnya bikin bete," katanya ketus.

Akhirnya kami berdua tenggelam dalam laporan evaluasi yang diminta bu Dita. Sebelumnya aku sudah telpon Dyah

"Harus banget ya mas pakai grafik?"

"Ya iyalah, mau ngasih tabel ke direksi?"

Dia memonyongkan kembali mulutnya.

Kami diam dan fokus terhadap kerjaan masing-masing di depan komputer.

"Mas, kesini deh, aku bingung caranya," seru Helmi.

Aku beranjak males ke mejanya dan melihat dia mengolah data di Excel. Bisa dikatakan, aku yang paling jago excel di kantor ini. Kalau kalian tahu departemen HRD, isinya kebanyakan diisi admin dan lulusan psikologi, dan rata-rata mereka buta Excel. Tentu ini generalisasi, tapi sepanjang aku kerja di HRD, kok ya selalu ketemu orang-orang HRD yang gagap Excel, bahkan di bagian payroll yang ngurusin gaji orang.

Helmi menunjuk sebuah tabel di layar dan menerangkan keinginannya. Aku pikir gampang saja itu sebenarnya.

"Minggir sini," aku kemudian menarik kursi di dekatnya dan mengambi alih keyboard.

Aku melihat layar monitornya untuk mengecek formula yang dibuat oleh Helmi. Ternyata cuman nested if saja. Beberapa if memang agak menjengkelkan dan jika tidak pas, selalu keluar error. Dan saat itulah aku merasakan ada yang lain menggesek siku tanganku. Sesuatu yang kenyal dan lembut! Gesekan itu jelas tidak aku sengaja karena aku sedang serius dengan excel (tidak ada orang yang bisa menggangguku dari keasyikan Excel!). Aku membuat lingkaran-lingkaran di dada lembut itu dengan sikuku.

"Fokus mas!"

"Ini balesanmu ya?" aku jadi tersadar ucapannya kemarin. Dia terkikik, tapi tak berusaha bergeser dari sampingku, sehingga kekenyalan dadanya masih menempel di sikuku.

"Tapi suka kan?" katanya, kali ini agak serak dan lirih.

Aku memandangnya dan dia juga memandangku tajam. Entah siapa yang memulai duluan, aku mendapati bibirku mendekati bibirnya.

Dan mulailah ciuman itu. Pelan dan kemudian semakin cepat dan bergairah. Bibirku menggigit pelan bibir bawahnya, dan mulutnya yang kemudian terbuka mengundang lidahku untuk menari-nari di dalamnya.

Tanganku pun tak tinggal diam. Tangan yang dari tadi memegang mouse kecil dan keyboard mendapatkan mainannya yang baru, payudara jumbo milik Helmi. Kuremas payudaranya yang masih bersembunyi di balik blus dan BHnya. Aku kangen ini!

Dan kemudian dia menahan dadaku dengan kedua tangannya.

"Cukup mas, cukup," katanya terengah.

Tapi aku menulikan kupingku dan kembali menyerang Helmi dengan ciuman. Dia hendak melanjutkan perkataannya tadi, tapi tampaknya tak berdaya menghadapi ciumanku. Kami kembali berciuman, kali ini lebih bersemangat. Tanganku melepas kancing bajunya yang di tengah dan segera masuk mendapati buah dadanya yang tertutup BH tebal berenda itu.

Lalu kamipun bersama-sama berdiri dari tempat duduk sambil terus berciuman, dan tanganku masih berada di dalam blusnya, meremas dada Helmi dari luar BH. Tanganku kemudian merengkuh tangan Helmi yang tadi ada di bahuku untuk mengelus kontolku yang sudah tegang. Helmi tanggap, dan mengelus ketegangan batang itu yang sudah sangat terasa dari luar.

"Buka Hel," aku berbisik kepada Helmi.

"Nanti kebablasan kaya dulu lagi, mas," bisiknya. Tampaknya akal sehat Helmi kembali lagi.

"Pake tangan lagi boleh ga?" aku memohon sambil terus menciumi leher dan tengkuknya serta meremas dada besarnya. Helmi mengangguk. YES!

Aku duduk di kursi itu, dan merengkuh tubuh Helmi yang berat itu. Helmi terduduk di atas pangkuanku.

"Sini Hel," kataku. Ciumanku beralih ke belahan dadanya yang sangat dalam itu. Sedap sekali rasanya.

"Mas sayang," katanya sambil mengelus rambutku dan mencium keningku. Aku terhenyak mendengar perkataan itu.

"Kamu kok nafsuan sama istri orang sih mas, aku ga tahan jadinya."

"Habis istri orang itu seksi banget sih," kataku memandangnya nyengir. Dia mencium bibirku lagi.

Aku bergegas melepas blusnya untuk mendapatkan payudaranya tanpa halangan.

"Jangan copot mas," katanya dan kemudian menjangkau bagian belakang punggungnya. Dia melepas kaitan BHnya. Segera saja aku menaikkan BH itu keatas dan menjumpai mainanku.

"Suka banget ya sama ini?" Helmi menggoyangkan susunya.

Aku menjawabnya dengan jilatan dan hisapan ke puting dan areolanya. Helmi mendesah.

"Masss..."

Helmi berdiri tiba-tiba.

"Ini ngganjel mas," katanya. Tangannya meremas batang kontolku dari luar celana.

Tangannya melepas kaitan ikat pinggang dan ritsluitingku, kemudian merogoh ke dalamnya.

"kok kerasa keras banget ya," bisiknya.

Aku membiarkan dia berinisiatif. Kedua tangannya memelorotkan celana panjangku, dan tersisa celana dalamku yang sudah sesak.

"Dicopot ga ya?" dia mengetuk-ngetuk bibirnya.

"NAKAL!" bisikku sambil tersenyum. Dia terkikik.

Tiba-tiba dia melakukan sesuatu yang mengagetkan aku. kakinya mengangkang di atas kakiku, dan kemudian dia menduduki pahaku setelah mengangkat roknya tinggi-tinggi.

"Gesek-gesek aja ya mas sayang, aku takut kalo yang itu," katanya.

Aku mengangguk. oh, tak pernah sekalipun aku bermimpi mendapatkan pengalaman liar seperti ini. Benar-benar salah booking kamar yang menyenangkan!

Kulihat celana dalamnya tampak basah, dan akupun juga.

Pinggul Helmi menyatu dengan pinggulku, dan kurasakan ketembeman memek Helmi menempel di ketegangan penisku. Aku dan dia masih memakai celana dalam.

"Hel, celana dalamnya."

Dia menggeleng.

"Jangan mas ..."

Dan pinggulnya pun mulai bergoyang. Kedua alat kelamin kami yang masih tertutup kain celana dalam pun beradu, bergesekan lebih tepatnya. Di depanku dada besar itu mulai berguncang-guncang dengan indahnya, dan apalah daya aku laki-laki lemah ini. Kuhisap, kusedot, kujilat, kuremas dadanya.

"Jangan kenceng-kenceng mas, nanti bekas," katanya mengingatkan. Kucium bibirnya yang tipis itu, dan dia membalasnya dengan penuh nafsu. Aku tak tahu jika Helmi ternyata seliar ini. Tyo benar-benar beruntung!

Entah berapa lama, kurasakan goyangan pinggulnya semakin cepat, dan tak beraturan, ke kiri, kanan, depan, belakang, muter. Celana dalam kami sudah basah kuyup oleh cairan kami masing-masing. Desahannya semakin cepat dan tak beraturan. Aku pun merasa orgasmeku bakal sampai sebentar lagi.

Orgasme Helmi datang duluan. Dihempaskannya pinggulnya kuat-kuat ke arahku, dan pelukannya ke tubuhku menjadi sangat erat. Tanpa suara, hanya terengah-engah. Aku pun memeluknya erat-erat, membenamkan mukaku ke belahan payudaranya. Wajahnya yang putih memerah, demikian juga dengan lehernya.

"Aku sebentar lagi Hel, help me please," bisikku.

Dia mengangguk dan menggoyangkan pinggulnya kembali. ooooh, nikmat sekali. ooooh, sebentar lagiiii.

dan tiba-tiba Helmi pun mengangkat pinggulnya, dan berdiri. Wajahku bertanya-tanya.

Dia berlutut di depanku dan memandangku.

"Ini hadiah buat mas sayang," katanya dan kemudian memelorotkan celana dalamku. Akhirnya burungku terlepas juga dari kandangnya. Dipegangnya erat batang kontolku yang sudah tegang keras itu. Dikocoknya sebentar, dan kemudian dia mencium kepala kontolku. Aku mendesis.

"Helmi yakin?"

Dia tak menjawab, dan melanjutkan ciumannya di kepala kontolku, lalu menjilati bagian bawahnya, menggigit kecil dengan kedua bibirnya. Tak sampai mengulum sih, tapi luar biasa efeknya. Tak sampai satu menit Helmi beraksi dengan mulutnya, aku tak tahan.

"Helmi aku ..."

Muncratan pertama mengenai bibirnya. Helmi telat menghindar. Selanjutnya mengenai dagunya, lehernya dan mengalir sampai lembah dadanya. Helmi terus mengocok kontolku sampai benar-benar selesai.

"Banyak banget sih mas," katanya. Lalu tersenyum sambil mencium kepala kontolku. Sekali lagi.

"Makasih Helmi," aku menarik tubuhnya dan mencium bibirnya.

"Mas sayang ..."

******

Untungnya aku masih sempat menyelesaikan report itu. ah, Lembur enak-enak. Untungnya pula kontrol security belum muter malam itu. Kalo tidak bisa berabe urusannya.

Sejak kejadian lembur itu, pandangan Helmi terhadapku jadi lain sama sekali. Aku sangat bisa merasakan hal itu. Yang jelas tampak sekali sih nafsu besar. Setiap kali aku melihatnya, dan Helmi melihatku, yang terasa sekali adalah pandangan penuh nafsu. Seakan-akan aku pengen segera menyentuhnya, menciumnya setiap kali melihat Helmi, dan Helmi pun aku rasa begitu.

Konsekuensinya (hahaha resmi banget bahasanya) kami jadi lebih sering menggoda satu sama lain, seringkali disertai dengan sentuhan, remasan, elusan. Setiap kesempatan dimana jika tak ada orang lain yang melihat, kami berusaha menyentuh satu sama lain, kadang begitu vulgarnya sehingga aku benar-benar tegang seharian. Contohnya saja kemarin pagi. Kebetulan kami berdua adalah yang paling pagi datang. Helmi sedang memfotokopi beberapa berkas. Dia tak tahu aku sudah datang. Aku berjalan di belakangnya. Tanganku meraba bokongnya sampai turun ke batas bawah roknya, dan kemudian masuk ke dalam roknya, meremas bokong kenyal bersalut CD satin.

"Mas!"

Aku langsung kabur sambil tertawa. Dia melotot.

Tapi pengalaman terakhir (iya, terakhir) inilah yang aku pikir benar-benar membekas di benakku.

Comments

Popular posts from this blog

Pertukaran dua sahabat

Aku irwansyah, salah seorang artis yang cukup terkenal di ibukota, beberapa judul film telah aku bintangi, aku bersahabat baik dengan raffi ahmad yang juga seorang artis popular di negeri ini, aku sudah menikah dengan zaskia sungkar namun rumah tangga kami belum di karunia anak, sedangkan sahabatku raffi ahmad juga telah menikah dengan nagita slavina dan telah memiliki seorang putra.

(Bonus Part 2) Pesta di Akhir Pekan

Bonus Chapter: Eksekusi Dinda (Part 2: Main Course) Dinda Fitriani Anjani kecil yang masih duduk di bangku SMP terbangun menjelang tengah malam. Tadi siang dia bekerja keras menjadi pagar ayu di pernikahan kakak perempuannya, dan juga membantu keluarganya di resepsi ala rumahan yang tanpa EO dan berlangsung sampai sore. Sehingga selepas maghrib Dinda tidur begitu saja setelah membersihkan make-up dan berganti baju. Terlewat makan malam, gadis cilik itu sekarang bangun dengan perut lapar.

(Episode 11) Pesta di Akhir Pekan : Akhir Dari Akhir Pekan

“Hayu atuh kalo mau diterusin…” “Pindah aja yuk, jangan di sini” saran Asep sambil berdiri “Lho, kenapa emangnya?” “Yah, biar tenang aja hehe” Dinda akhirnya ikut berdiri menuruti saran Asep. Sebenarnya tujuan Asep biar yang lain tidak ada yang mengganggu mereka. Percuma dong sudah susah payah membuat Irma tepar dalam gelombang birahi kalau tiba-tiba ada yang lain ikut nimbrung. “Kita nyari kamar aja yuk” Asep memegang tangan Dinda dan mulai berjalan menjauhi yang lain “Di kamar atas aja yuk, kasurnya gede sama pemandangannya bagus” usul Dinda “Wah boleh juga tuh”