Siang itu baru istirahat siang setelah kuliah. Aku duduk di kantin, menikmati gado-gado bersama Liz, sahabatku.
“Jay, minggu nanti, kamu datang ke nikahannya Anggit?”
“Hah! Dia udah mau nikah? Gila! Kuliahnya aja belum rampung.”
“Yee, gak papa kali, calon suaminya aja udah mapan.”
“Mapan?”
“Iya, biar umurnya 15 tahun lebih tua.”
Anjrit, oom-oom! batinku.
“Duh, cowonya Anggit itu, udah mapan, romantis pula. Pengen deeeh...”
“Aku juga romantis kok.” kataku.
“Masa iya?”
“Romantis: ROkok MAkaN graTIS." lelucon lama.
“Ooo...”
“Aku ini cowok pengertian lagi! Pengertian kalau saat ini aku sedang kere dan perlu dibayarin, aku pinjam uang mu ya...”
“Ye, ya udah.” Liz bersungut-sungut.
“Bu, tambah lagi! Gado-gado porsi spesial!” teriakku ke arah bu kantin.
Wajah Liz makin merengut.
Dan yang dikatakan Liz berikut membuat copot jantungku. “Jay, kalau mau sewa stripper di mana ya?” katanya kepadaku.
“Uhuk... uhuk...” aku langsung tersedak mendengar pertanyaan itu. “Hah?! Buat apa sewa stripper?”
“Pssssst... jangan keras-keras!” Liz panik.
Aku menenggak es jeruk dari gelasku.
“Kamu janji ya, jangan bilang-bilang sama siapa-siapa.” kata Liz penuh rahasia.
Aku mengacungkan dua jariku pertanda ‘suer’.
Liz mendekatkan wajahnya yang manis di sampingku, “Psst... pssst...”
“Buat bachelorrete party?!! gile! Ente pikir ini di luar negri?”
Liz memukul kepalaku sambil melotot. “Udah dibilangin jangan keras-keras juga.”
“Coba cari aja di perempatan jalan Magelang.”
“Beneran ada di sana?”
“Iya, di sana ada proyek jalan kan? Nah cari aja orang yang lagi buat Zebra Cross! Alias Stripper.”
“Serius niii... kalau gak ada stripper, gigolo deh!”
“Wah, ane gak tahu, Liz. Ane gak pernah nyewa gigolo.” kataku, sambil kembali menyuap kentang ke mulutku.
“Tolongin, plis plis plis...”
Aku manggut-manggut, “Udah, liat aja di koran di bagian jasa pijat, biasanya merangkap gigolo.” kataku asal. Setahuku sih begitu.
“Eh, jadi kamu pernah nyewa gigolo ya? Ck ck ck… Ternyata Ajay...” kata Liz menggeleng-gelengkan kepalanya.
Lama-lama aku kesal dibuatnya. “Bukan, ane yang masang iklan di sana!” jawabku sekenanya.
“Asyik, kalo gitu kamu aja deh ya, Jay... malem minggu di rumahnya Grace. Dadah Ajay ganteng.” kata Liz sambil ngeloyor pergi. Aku hanya bisa melongo.
“Woy! gado-gado-nya dibayar dulu!” teriakku.
***
Menjadi Jomblo itu merupakan hal nista dan berat bagi seorang mahasiswa. Bagaimana tidak, aku hanya bisa memandangi mereka, pasangan-pasangan itu berboncengan sambil berpelukan erat di hari yang amat kubenci ini, hari sabtu a.k.a malam minggu. Dan aku, aku hanya mampu menghabiskan hari ini dengan pergi ke warnet: update FB, terus buka-buka forum dan nyari-nyari bokep terbaru di hard disk warnet.
Hari sudah hampir petang saat aku kembali ke kamar kostku. Aku menyalakan komputer, dan membuka satu file bokep dari flash disk, asem ternyata video Maho
Waduh-waduh, salah ngopi. Buru-buru kuhapus itu bokep, bisa hancur reputasiku.
Kubuka file yang lain, ada bokep-nya miyabi, tapi... yah, file-nya corrupt. Mike’s apartment... Hmm, lumayanlah bikin konak. Aku melongok keluar, kost-kostan sepi. Aku memelorotkan celana dan mengurut penisku sambil membayangkan wajah Liz.
Gak sampai 2 menit udah crott. Wah, jangan-jangan aku ED ya? Sudahlah, aku langsung mandi.
Lama aku mandi. Kembalinya di kamar aku terkejut, melihat Liz dan teman-temannya memenuhi kamarku. Ada yang membuka-buka komputerku.
“Ck ck ck... Ajay-ajay, ternyata kamu suka sama yang beginian?” kata Mia, teman kuliahku. Di layar komputer terpampang video dua orang cowok sedang saling mengisap kontol dalam posisi 69.
“Eh, Enggak! Enggak! Salah ngopi tu!!!” aku merebut mouse dari tangan Mia, dan langsung menghapus video laknat tersebut.
“Sudahlah, Jay. Kita ga akan bilang-bilang ke temen-temen kok.” kata Mia sambil menepuk-nepuk pundakku. Wajahnya tampak serius, serius mengira aku homo beneran.
Aku merengut. “Ngapain kalian rame-rame di sini?”
“Kamu lupa yah, Jay?” Liz angkat suara.
Aku menepuk jidatku. “Wah, kalian gak serius kan?”
“Sudah dandan kaya gini dibilang ga serius.” kata Senja, temanku yang lain, ia paling imut di antara mereka semua.
“Iya, mumpung papa mamaku keluar kota.” kata Grace. “Kita juga udah janji sama Anggit, mau buat party yang seru.”
“Tolonglah, Jay, lusa aku sudah tidak lajang lagi.” Anggit berkata sambil memelas.
Ada perbedaan yang jelas antara lajang dengan jalang, tolol!
“Iya, Jay. Plis plis plis...” mohon mereka sambil menarik-narik lenganku.
“Ogah! Nanti kalian cerita-cerita ke teman-teman di kampus lagi.” tolakku.
“Tenang, Jay. Kita gak akan bilang-bilang ke temen-temen kok.” kata Mia sambil menepuk-nepuk pundakku. Wajahnya tampak serius, serius mengira aku gigolo.
***
Hari sudah malam ketika kami sampai di sebuah komplek perumahan mewah. Aku berada dalam mobil Grace diapit oleh Mia dan Liz. Di depan Grace memasukkan mobil ke halaman rumahnya, di samping Grace duduk Senja. Aku menoleh ke belakang, ada Rere, Kania, dan Anggit. Cewek-cewek itu terlihat kegirangan.
Rumah itu cukup besar namun sepi. Aku didudukkan di sofa panjang, mereka duduk mengelilingku.
Aku merasa seperti raja minyak—minyak ikan!
Di meja, berserakan berbagai macam snack dan minuman. Pandanganku tertuju pada sebuah botol kaca dengan label hitam.
“Wuih, Jack D! bagi ya...” aku membuka botol tanpa izin dan meminumnya. Aku tahu, minuman ini sangat mahal.
“Huu! Dasar ya. Biasanya minum Topi Miring.” ledek Grace.
“Siapa bilang ane minum topi miring! gak level!”
“Terus apa?”
“Ciu, dioplos etanol!”
Mereka tak tertawa, leluconku terlalu berat bagi mereka.
“Kita... belum berbicara masalah bayarannya.” suaraku serak seperti tokoh dalam film film gangster.
Mendengar itu, masing masing dari mereka membuka dompet, dan mengumpulkan uang seratus ribuan, mengumpulkannya ke Grace.
Mataku melotot melihat 7 lembar uang 100 ribuan. Grace menepis tanganku ketika aku hendak mengambilnya.
“Eits, buka dulu...” katanya.
Keringat dinginku mengucur. Aku ragu. Duitnya mau, bugilnya malu.
“Shit! Lama amat! Mau buka sendiri atau kami yang buka?” kata Rere yang paling tomboi di antara mereka.
“Sabar, jeng, sabar.“ kataku. Aku menenggak segelas Jack D untuk menumbuhkan keberanianku. Panas menjalari tubuhku. Denyut nadi meningkat. Aku memberanikan diri membuka t-shirtku.
Belum sempurna aku membuka t-shirtku, cewek-cewek itu langsung kalap meraba-raba tubuhku, rusuh pokoknya. Aku kegelian. Ada yang meraba-raba perutku, ada yang mencubit-cubit puting susuku. T-shirku dilepas dengan kasar, ada yang histeris mencakar-cakar pundakku. Aku jadi teringat kumpulan Zombie dalam film 28 Days Later.
Aku panik, dan lari keluar dari kerumunan manusia barbar tersebut. “Stop-stop! Yang tertib, saudara-saudara!” kataku seperti petugas Sohibul Qurban menenangkan massa yang berebut daging kurban.
Grace menenangkan teman temannya. “Makanya, buruan buka!”
Aku berdiri agak jauh dari mereka. Aku membelakangi mereka dan menurunkan celanaku (habis mandi belum pakai CD) kontan pantatku terpampang di hadapan mereka.
Aku masih berdiri membelakangi mereka. Kubiarkan memandangi bagian belakang tubuhku yang polos. Aku mendengar mereka bergumam di belakangku. Tubuhku tidak terlalu kurus, juga tidak teralu gemuk. (Meskipun perutku jauh dari sixpack)
“Balik!” kata seorang diantara mereka.
Aku membalikkan badan sambil menutupi kemaluanku. Bulu jembutku yang lebat meyeruak dari balik tanganku. Kulihat tatapan kagum di mata mereka, seperti anak kecil yang dibelikan mainan baru. “Emang kalian belum pernah liat cowok bugil sebelumnya?” kataku.
Mereka menggeleng.
“Yaaah... cemen, umur segini belum pernah liat cowok bugil” ledekku.
“Emang lo pernah liat?”
“Sering dong.”
“Ooooooo... pantes!” mereka menatap kasihan padaku.
“Eh... maksudku cewek bugil.” aku meralat ucapanku.
“Tenang, Jay. Kita ga akan bilang-bilang ke temen-temen kok.” kata Mia. Wajahnya tampak serius, serius mengira aku sering melihat cowok bugil.
***
Aku dibaringkan di atas ranjang Grace. Cewek-cewek itu mengelilingku seperti mengelilingi tumpeng selametan sunatan anak Pak RT. Aku masih menutupi penisku. Grace memberikan aba-aba agar Anggit dan Rere memegangi tanganku.
Sesaat sebelum tanganku terlepas, aku menyelipkan penisku di sela pahaku. Sehingga dari luar terlihat seperti aku tidak mempunyai penis. Mia mengernyitkan keningnya
“Ketinggalan di kost.” kataku sekenanya. Leluconku garing, mereka tidak tertawa.
Kania dan senja memegangi paha kiriku. Mia dan Liz memegangi paha kananku. Mereka meregangkan pahaku sesuai aba-aba Grace. Penis dan scrotum-ku menggantung-gantung di selangkanganku. Mata mereka berbinar-binar.
“Kecil banget.” kata Mia polos.
Aku tersinggung. “Masih tidur ini, tadi habis coli.”
Sepertinya Mia tidak paham.
Grace mengambil cukuran jenggot. Aku terjejut. “Eh, woy... ente mau apa?!! Eh...” aku panik. Tanpa ragu-ragu Grace dan mencukur habis Jembutku.
“Huff.. Huff.. pelan-pelan!! Anjrit!! Sakit woy!” teriakku.
Tak lama, kemaluanku sudah halus seperti bayi. “Ck ck ck... dasar ABG labil.” kataku kesal.
Berapa saat kemudian, cewek-cewek itu mulai sibuk meraba-raba tubuhku. Kali ini lebih tertib dari yang sebelumnya. Mia meraba-raba perutku, sementara liz memutar-mutar telunjuknya di atas puting susuku. Mataku terpejam, aku kegelian. Hampir seluruh tubuhku di jamah mereka, kecuali penisku. Takut, alasan mereka. Tidak ada satupun dari mereka yang berani menyentuh penisku.
Rere malah meraba-raba paha dalam kiriku, sementara Anggit mengusap-usap pangkal pahaku. Aku menggeliat-geliat kegelian, terlebih lagi saat Grace memijat-mijat perut bawahku. Spontan Penisku mulai mengembang maksimal, ukurannya memang tidak besar. Standar orang indonesialah panjang 13 cm, diameter 3 cm.
Ruangan itu gaduh, mereka takjub melihat pemandangan itu. Mereka berdiskusi, membandingkan penisku dengan apa yang pernah mereka tonton di film porno. Tapi tak ada yang berani menyentuh penisku.
Liz akhirnya memberanikan diri menyentuh penisku. Pertama-tama dia menyentuh kepala penisku yang seperti jamur. “Hiiiii...” katanya kegelian.
Liz membelai-belai kepala penisku dengan lembut, seperti anak kecil yang asyik memainkan mainannya. Mataku terpejam keenakan.
Liz menggenggam batang penisku dan mengocoknya pelan. “Aaah... “ aku berteriak tertahan.
“Ah, Jay, maaf ya.” kata Liz takut.
“Gak pa-pa, Liz, lanjutin aja.” jawabku lemah.
Liz melanjutkan mengocok kemaluanku. “Oooh... ohh...” aku mengerang-erang. Cewek-cewek yang lain memperhatikan dengan seksama. Beberapa dari mereka memainkan puting susuku. Aku sempat melirik ke bawah, Grace sedang mengelus perut bawahku, sementara Anggit memijat selangkanganku.
“Aaaaah...” aku semakin terangsang. Badanku menggeliat-geliat. Yang lainnya memegangi tangan dan kakiku.
Kocokan Liz semakin kencang. Birahiku semakin memuncak, ditambah lagi dengan 7 pasang mata yang melihatku telanjang bulat. Aku tidak bisa menahannya lagi. Tubuhku terangkat ke atas. Tungkaiku bergerak-gerak liar, mereka kewalahan memegangiku.
“Aaaah... Aaaaah...” aku berteriak. Air maniku menyembur tepat ke wajah Grace yang berada tepat di atas perutku. Sisanya menetes di tangan Liz.
Grace berteriak histeris dan berlari ke kamar mandi. Syukur! itu balasan karena memotong jembutku. Liz menyusulnya. Langkahnya lunglai.
Aku ngos-ngosan di atas kasur. Aku memperhatikan wajah teman-temanku, semua berwajah tegang dan menatap nanar ke arah tubuh telanjangku. Aku bangkit turun dari ranjang, kubiarkan air maniku menetes-netes di lantai. Aku melewati Mia, ia masih terpaku, nafasnya ngos-ngosan. Biarlah, aku tidak peduli. Aku membersihan sisa air maniku di kamar mandi. Di sana ada Grace yang masih histeris membersihkan wajahnya yang penuh mani. Liz melihatku datang.
Ajay, maaf ya. Aku gak nyangka jadi gini.” Liz tampak menyesal.
“Gak pa-pa, hehehe.” jawabku, sambil menepuk kepalanya.
Aku kembali ke ruang tengah, mencari pakaianku. Tidak ada. “Wooy... siapa yang ngumpetin baju ane?” teriakku.
Rere tampak tertawa-tawa. Gawat! Rupanya mereka menyembunyikan pakaianku.
“Bajigur, dasar ABG labil.” omelku.
***
Satu jam kemudian, aku belum juga menemukan bajuku. Akhirnya kuputuskan untuk berjalan-jalan di rumah sambil bugil. Biarlah, toh mereka semua sudah melihatku telanjang. Aku pergi ke dapur untuk mengambil minum.
Aku membuka kulkas, mengambil minuman dingin, dan kembali ke ruang tengah. Saat melewati ruang makan, aku berpapasan dengan Rere. Sekelebat aku melihatnya melirik penisku dengan nafsu.
Aku kembali ke ruang tengah. di sana ada Kania, Senja, Anggit, dan Mia. Mereka nonton sinetron yang di dubbing itu. Aku duduk di sofa, Kania dan Senja pindah tempat duduk menjauhiku.
“Ya elah, rugi sekolah tinggi-tinggi nontonnya cuma beginian.” kataku. Mereka cuek aja. Apa boleh buat, aku terpaksa ikut menyaksikan pendekar yang bertarung melawan Naga dari CGI murahan.
Sebenarnya aku merasa aneh, baru beberapa hari yang lalu kami diskusi bersama. Sekarang aku duduk tanpa busana di hadapan mereka. Aku merasakan ada sensasi yang berbeda. Aku merasa terangsang saat mereka mencuri pandang kemaluanku. Tak terasa, penisku tegak lagi.
“Hiii... kok bangun lagi?” kata Senja sambil menutup mata dengan telapak tangannya.
“Dilihatin terus sih.” kataku, kubiarkan penisku mengacung tegak ke udara, sambil kumain-mainkan ujungnya.
“Udaaah.. ngapain siiih!” kata Senja sambil menutup penisku dengan bantalan kursi. Aku hanya tertawa.
Grace datang bersama Liz dan Rere. Liz duduk di sampingku. Grace memasukkan sesuatu ke dalam Player.
“Iiiih, kok diganti?” protes Kania.
“Nonton ini dulu. Koleksi Baru.” kata Grace sambil memematikan lampu. Ruangan menjadi gelap seperti bioskop.
TV layar datar itu mulai menampilkan adegan percumbuan. Oh, Bokepnya Sora Aoi. Aku sudah punya dari dulu. Mereka menontonnya dengan takjub, meski ada satu dua orang yang malu-malu.
Di bawah bantal, penisku sudah ngaceng gak karuan.
“Jay, kamu pernah ML sama cewe belum?” tanya seseorang.
“Belum,” jawabku.
“Kalau ML sama cowok?”
“Apalagi,” jawabku ketus.
“Oooooo...” wajah mereka seperti tidak percaya.
Sepanjang film, mereka mewawancariku dan menanyakan macam-macam: dari petting, intercourse, ejakulasi, dan nama-nama pemain bokep. “Kamu kok jago sih, Jay?” mereka takjub.
“Namanya juga Ajay Vijay Hotahai, pengedar bokep ternama di kampus kita, koleksi 102 GB!”
“Wow, banyak amat. Kapan-kapan ngopi ya.” kata Grace. “...tapi aku ga mau bokep maho ya.” katanya lagi.
“ANE GA PUNYA BOKEP MAHO!”
“Iya-iya, percaya deh, Gay... eh, Jay.”
Aku melotot ke arah Grace.
Sekarang TV menayangkan adegan laki-laki sedang mengocok kontolnya, sesaat kemudian spermanya muncrat ke wajah Sora Aoi.
“Coli itu apaan sih, Jay?” tanya Mia.
Aku menjelaskan.
“Emang enak?” tanyanya lagi.
“Enak dong.” jawabku.
”Jay, coli dong sekarang.”
Jantungku seperti berhenti berdetak. Aku memandang wajah Mia, matanya tampak penasaran. Sementara yang lain memandang penuh harap.
“Okay... okay... Eh, Grace, minta lotion dong.” kataku.
“Siap, Yang Mulia Ajay Vijay Hotahai.” Grace lari ke kamarnya, dan kembali membawa lotion.
Aku menuangkan lotion ke atas kemaluanku yang tanpa bulu, dan meratakannya. Sekarang kemaluanku licin dan berkilap-kilap ditimpa cahaya TV.
Grace berjongkok di depanku dan ikut-ikutan menuangkan lotion ke atas dada dan perutku, sementara Mia dan Liz yang duduk di kiri-kananku meratakannya. Aku menggeliat-geliat kegelian. Seluruh tubuhku mengkilat seperti atlit binaraga.
“Mmmh...” aku mengurut penisku yang licin, membayangkan sedang di oral oleh Grace. Aku semakin bernafsu melihat tatapan mereka, tanpa berkedip memandangi tubuh telanjangku.
“Oooh...” pinggulku naik turun, membayangkan di atas tubuhku Liz sedang meronta-ronta liar.
“Hmmh...” kocokanku semakin kencang. Cewek-cewek itu menelan ludah.
Aku melirik Liz, nafasnya tidak teratur. Tanganku yang satunya memegang tangan Liz, terasa panas.
“Hhh... Hhh...“ nafasku ngos-ngosan. Beberapa dari mereka salah tingkah, aku bisa melihat duduknya sudah tidak tenang lagi. Liz melingkarkan tangannya di pundakku, merangkulku. Aku meliriknya, wajahnya tampak sayu kemerahan. Tiba-tiba Liz meraih batang kemaluanku, dan mengocoknya liar.
“Aaaah...” mataku terpejam keenakan.
Liz mendekatkan wajahnya ke wajahku, nafasnya harum sekali.
“Lizhhh... ngapain kamu?” erangku tidak jelas saat Liz mulai mencium leherku, dan menggigit-gigitnya. Aku menggelinjang tidak karuan.
Cewek-cewek yang lain ikut bernafsu melihat aksi Liz. Sekilas aku melihat Rere mengusap-usap kemaluannya sendiri.
Bibir Liz turun menuju puting kiriku. Ia menjilatinya, dan melumat putingku dengan rakus. Tangan kirinya mengocok batang penisku dengan RPM tinggi. Aku tak bisa berpikir jernih. Aku memeluk tubuh liz dan meremas-remas payudaranya, terasa kenyal.
Para pembaca yang budiman, bisakah anda membayangkan? Telanjang Di coliin bahan coli anda selama ini? Dan disaksikan oleh sekian pasang mata? Sungguh sensasi yang sangat luar biasa.
“Aaaah... Aaaaaa...” tubuhku mengejang hebat. Aku memeluk tubuh Liz erat-erat. Aku menggelinjang liar. Kemaluan berkedut-kedut dan memuntahkan cairan kental -lebih banyak dari sebelumnya- ke dada dan tangan liz. Grace yang berjongkok kecipratan pada wajahnya. Kontan ia histeris dan berlari ke kamar mandi, lagi.
“Hhhh... Hhhh... Hhh...“ aku tersengal-sengal, begitu juga Liz.
“Liz, loe gila juga ya!” kata Rere, celananya juga terlihat basah.
Aku melihat ke sekitar. Tampang yang lain sudah tidak karuan. Senja meringkuk di pojokan sambil memeluk bantal. Anggit dan Kania berpelukan bingung. Mia—yang duduk di sebelahku—bengong, memandangi dada Liz yang setengah terbuka.
Aku memandangi wajah Liz, wajahnya tampak cantik. Pipinya yang chubby basah oleh keringat. Aku memandangi TV yang hanya menampilkan layar biru bertuliskan “VIDEO”.
Aku menghela nafas, alangkah gilanya malam ini.
***
Sudah hampir tengah malam. Grace baru pulang dari mengantar Anggit balik ke rumahnya. Sekedar mengingatkan, sebentar lagi Anggit akan menikah.
Mereka berganti dengan pakaian tidur. Aku hanya menelan ludah melihat pakaian yang mereka kenakan: celana pendek-tank top, celana pendek-kaus ketat, daster tipis. Hanya Senja yang mengenakan piyama lengan panjang.
“Buset, seksi bener. Gak malu ya, kan ada ane?” aku melihat Rere mengenakan celana pendek dan singlet tanpa BH, putingnya terlihat jelas. Dibelakangnya ada Liz mengenakan daster batik pendek tanpa lengan. Aku bisa melihat pahanya yang putih mulus.
“Lah, loe sendiri make apa?” kata Rere. Sepasang payudaranya yang berukuran jumbo berguncang-guncang di depanku.
“Oh iya, Hehehe.” aku cengegesan, sambil melihat penisku yang berdiri tegak tidak ditutupi apa-apa.
Para pembaca yang budiman, adalah bohong bin ngibul kalau aku mengatakan malam itu aku tidur bareng mereka dan ngentotin mereka satu-satu. Aku kecewa saat Grace menyuruhku tidur di ruang tengah.
“Huh, habis manis sepah dibuang.” aku bersungut-sungut.
Tak lama kemudian aku bisa mendengar mereka tertawa-tawa dan bercanda di dalam kamar Grace. Mungkin berdiskusi tentang penisku.
Aku menyalakan TV, oh Grace ternyata berlangganan TV kabel. Lumayan, numpang nonton. Aku mengganti saluran, mencari Fashion TV. Mau cari bahan coli, pikirku. Yaaah, ternyata muncul tulisan : ANDA BELUM BERLANGGANAN SALURAN INI. HARAP HUBUNGI TV BERLANGGANAN ANDA. Aku menggantinya ke HBO, ada film tentang koboi, yah daripada ga ada kerjaan.
“Hihihihi...” kudengar mereka tertawa-tawa di dalam kamar Grace.
“Kyaa... Kyaaaa...” sepertinya menyenangkan di dalam sana.
“Iih... Grace, ngapain sih!”
“Hihihi...” mereka tertawa lagi.
“Ihh, Grace, dipakai sana bajunya.”
Aku menajamkan pendengaranku.
”Kyaaa... Kyaaa... Grace telanjang! Hihihi.”
Batang penisku berdiri lagi.
“Liiiiiiz! Kamu juga buka!” aku mendengar suara Grace.
“Kyaa... Kyaa...” mereka histeris di dalam kamar.
Entah apa yang terjadi di dalam ruangan itu. Imajinasiku mulai liar. Aku mulai mengocok batang penisku.
“Aaaah... Aaaah...” aku memejamkan mataku sambil membayangkan sedang ngentotin Liz dan Grace. “Oooh.. Ohhh...” mendesah keenakan, tangan kananku mengocok batang penis, sementara tangan kiri mengurut-ngurut selangkanganku.
Tiba-tiba pintu terbuka, Liz dan Mia keluar kamar. Aku tidak mempedulikan mereka, sambil tetap mengocok penisku. Kubiarkan mereka menyaksikanku masturbasi.
“Aaah... Aaah...” tak lama, pantatku terangkat, tubuhku kejang-kejang. Air maniku sudah habis, aku orgasme hanya mengeluarkan sedikit cairan encer. Aku terengah-engah, Liz dan Mia hanya melongo melihatku.
“Ajay... ternyata kamu...” wajah mereka seperti kasihan kepadaku. Aku bingung.
Aku menoleh ke layar TV, sedang ada adegan persetubuhan antara dua pria di dalam tenda. (Sekarang aku baru tahu, film itu berjudul Brokeback Mountain)
“Eh, bukan... anu...” aku segera mengganti channel.
“Tenang, Jay. Kita gak akan bilang-bilang ke temen-temen kok.” kata Mia. Wajahnya tampak serius. Yakin kalo aku memang homo beneran.
***
EPILOG
Keesokan paginya, Liz mengantarku pulang ke kos dengan motor, aku duduk di depan.
“Wah, gila bener dah.” komentarku.
“Hehe...” Liz hanya tertawa kecil.
“Anggit akhirnya nikah juga ya.”
“Iya.”
“Kamu kapan nyusul?” pancingku.
“Gak tahu deh.”
“Eh, ntar malam ke mantenan Anggit barengan yuk!” ajakku.
“Eh, aku sudah ada janji, berangkat ke sana sama Bang Igo.”
Dan semuanya pun bermula dari sini.
“Jay, minggu nanti, kamu datang ke nikahannya Anggit?”
“Hah! Dia udah mau nikah? Gila! Kuliahnya aja belum rampung.”
“Yee, gak papa kali, calon suaminya aja udah mapan.”
“Mapan?”
“Iya, biar umurnya 15 tahun lebih tua.”
Anjrit, oom-oom! batinku.
“Duh, cowonya Anggit itu, udah mapan, romantis pula. Pengen deeeh...”
“Aku juga romantis kok.” kataku.
“Masa iya?”
“Romantis: ROkok MAkaN graTIS." lelucon lama.
“Ooo...”
“Aku ini cowok pengertian lagi! Pengertian kalau saat ini aku sedang kere dan perlu dibayarin, aku pinjam uang mu ya...”
“Ye, ya udah.” Liz bersungut-sungut.
“Bu, tambah lagi! Gado-gado porsi spesial!” teriakku ke arah bu kantin.
Wajah Liz makin merengut.
Dan yang dikatakan Liz berikut membuat copot jantungku. “Jay, kalau mau sewa stripper di mana ya?” katanya kepadaku.
“Uhuk... uhuk...” aku langsung tersedak mendengar pertanyaan itu. “Hah?! Buat apa sewa stripper?”
“Pssssst... jangan keras-keras!” Liz panik.
Aku menenggak es jeruk dari gelasku.
“Kamu janji ya, jangan bilang-bilang sama siapa-siapa.” kata Liz penuh rahasia.
Aku mengacungkan dua jariku pertanda ‘suer’.
Liz mendekatkan wajahnya yang manis di sampingku, “Psst... pssst...”
“Buat bachelorrete party?!! gile! Ente pikir ini di luar negri?”
Liz memukul kepalaku sambil melotot. “Udah dibilangin jangan keras-keras juga.”
“Coba cari aja di perempatan jalan Magelang.”
“Beneran ada di sana?”
“Iya, di sana ada proyek jalan kan? Nah cari aja orang yang lagi buat Zebra Cross! Alias Stripper.”
“Serius niii... kalau gak ada stripper, gigolo deh!”
“Wah, ane gak tahu, Liz. Ane gak pernah nyewa gigolo.” kataku, sambil kembali menyuap kentang ke mulutku.
“Tolongin, plis plis plis...”
Aku manggut-manggut, “Udah, liat aja di koran di bagian jasa pijat, biasanya merangkap gigolo.” kataku asal. Setahuku sih begitu.
“Eh, jadi kamu pernah nyewa gigolo ya? Ck ck ck… Ternyata Ajay...” kata Liz menggeleng-gelengkan kepalanya.
Lama-lama aku kesal dibuatnya. “Bukan, ane yang masang iklan di sana!” jawabku sekenanya.
“Asyik, kalo gitu kamu aja deh ya, Jay... malem minggu di rumahnya Grace. Dadah Ajay ganteng.” kata Liz sambil ngeloyor pergi. Aku hanya bisa melongo.
“Woy! gado-gado-nya dibayar dulu!” teriakku.
***
Menjadi Jomblo itu merupakan hal nista dan berat bagi seorang mahasiswa. Bagaimana tidak, aku hanya bisa memandangi mereka, pasangan-pasangan itu berboncengan sambil berpelukan erat di hari yang amat kubenci ini, hari sabtu a.k.a malam minggu. Dan aku, aku hanya mampu menghabiskan hari ini dengan pergi ke warnet: update FB, terus buka-buka forum dan nyari-nyari bokep terbaru di hard disk warnet.
Hari sudah hampir petang saat aku kembali ke kamar kostku. Aku menyalakan komputer, dan membuka satu file bokep dari flash disk, asem ternyata video Maho
Waduh-waduh, salah ngopi. Buru-buru kuhapus itu bokep, bisa hancur reputasiku.
Kubuka file yang lain, ada bokep-nya miyabi, tapi... yah, file-nya corrupt. Mike’s apartment... Hmm, lumayanlah bikin konak. Aku melongok keluar, kost-kostan sepi. Aku memelorotkan celana dan mengurut penisku sambil membayangkan wajah Liz.
Gak sampai 2 menit udah crott. Wah, jangan-jangan aku ED ya? Sudahlah, aku langsung mandi.
Lama aku mandi. Kembalinya di kamar aku terkejut, melihat Liz dan teman-temannya memenuhi kamarku. Ada yang membuka-buka komputerku.
“Ck ck ck... Ajay-ajay, ternyata kamu suka sama yang beginian?” kata Mia, teman kuliahku. Di layar komputer terpampang video dua orang cowok sedang saling mengisap kontol dalam posisi 69.
“Eh, Enggak! Enggak! Salah ngopi tu!!!” aku merebut mouse dari tangan Mia, dan langsung menghapus video laknat tersebut.
“Sudahlah, Jay. Kita ga akan bilang-bilang ke temen-temen kok.” kata Mia sambil menepuk-nepuk pundakku. Wajahnya tampak serius, serius mengira aku homo beneran.
Aku merengut. “Ngapain kalian rame-rame di sini?”
“Kamu lupa yah, Jay?” Liz angkat suara.
Aku menepuk jidatku. “Wah, kalian gak serius kan?”
“Sudah dandan kaya gini dibilang ga serius.” kata Senja, temanku yang lain, ia paling imut di antara mereka semua.
“Iya, mumpung papa mamaku keluar kota.” kata Grace. “Kita juga udah janji sama Anggit, mau buat party yang seru.”
“Tolonglah, Jay, lusa aku sudah tidak lajang lagi.” Anggit berkata sambil memelas.
Ada perbedaan yang jelas antara lajang dengan jalang, tolol!
“Iya, Jay. Plis plis plis...” mohon mereka sambil menarik-narik lenganku.
“Ogah! Nanti kalian cerita-cerita ke teman-teman di kampus lagi.” tolakku.
“Tenang, Jay. Kita gak akan bilang-bilang ke temen-temen kok.” kata Mia sambil menepuk-nepuk pundakku. Wajahnya tampak serius, serius mengira aku gigolo.
***
Hari sudah malam ketika kami sampai di sebuah komplek perumahan mewah. Aku berada dalam mobil Grace diapit oleh Mia dan Liz. Di depan Grace memasukkan mobil ke halaman rumahnya, di samping Grace duduk Senja. Aku menoleh ke belakang, ada Rere, Kania, dan Anggit. Cewek-cewek itu terlihat kegirangan.
Rumah itu cukup besar namun sepi. Aku didudukkan di sofa panjang, mereka duduk mengelilingku.
Aku merasa seperti raja minyak—minyak ikan!
Di meja, berserakan berbagai macam snack dan minuman. Pandanganku tertuju pada sebuah botol kaca dengan label hitam.
“Wuih, Jack D! bagi ya...” aku membuka botol tanpa izin dan meminumnya. Aku tahu, minuman ini sangat mahal.
“Huu! Dasar ya. Biasanya minum Topi Miring.” ledek Grace.
“Siapa bilang ane minum topi miring! gak level!”
“Terus apa?”
“Ciu, dioplos etanol!”
Mereka tak tertawa, leluconku terlalu berat bagi mereka.
“Kita... belum berbicara masalah bayarannya.” suaraku serak seperti tokoh dalam film film gangster.
Mendengar itu, masing masing dari mereka membuka dompet, dan mengumpulkan uang seratus ribuan, mengumpulkannya ke Grace.
Mataku melotot melihat 7 lembar uang 100 ribuan. Grace menepis tanganku ketika aku hendak mengambilnya.
“Eits, buka dulu...” katanya.
Keringat dinginku mengucur. Aku ragu. Duitnya mau, bugilnya malu.
“Shit! Lama amat! Mau buka sendiri atau kami yang buka?” kata Rere yang paling tomboi di antara mereka.
“Sabar, jeng, sabar.“ kataku. Aku menenggak segelas Jack D untuk menumbuhkan keberanianku. Panas menjalari tubuhku. Denyut nadi meningkat. Aku memberanikan diri membuka t-shirtku.
Belum sempurna aku membuka t-shirtku, cewek-cewek itu langsung kalap meraba-raba tubuhku, rusuh pokoknya. Aku kegelian. Ada yang meraba-raba perutku, ada yang mencubit-cubit puting susuku. T-shirku dilepas dengan kasar, ada yang histeris mencakar-cakar pundakku. Aku jadi teringat kumpulan Zombie dalam film 28 Days Later.
Aku panik, dan lari keluar dari kerumunan manusia barbar tersebut. “Stop-stop! Yang tertib, saudara-saudara!” kataku seperti petugas Sohibul Qurban menenangkan massa yang berebut daging kurban.
Grace menenangkan teman temannya. “Makanya, buruan buka!”
Aku berdiri agak jauh dari mereka. Aku membelakangi mereka dan menurunkan celanaku (habis mandi belum pakai CD) kontan pantatku terpampang di hadapan mereka.
Aku masih berdiri membelakangi mereka. Kubiarkan memandangi bagian belakang tubuhku yang polos. Aku mendengar mereka bergumam di belakangku. Tubuhku tidak terlalu kurus, juga tidak teralu gemuk. (Meskipun perutku jauh dari sixpack)
“Balik!” kata seorang diantara mereka.
Aku membalikkan badan sambil menutupi kemaluanku. Bulu jembutku yang lebat meyeruak dari balik tanganku. Kulihat tatapan kagum di mata mereka, seperti anak kecil yang dibelikan mainan baru. “Emang kalian belum pernah liat cowok bugil sebelumnya?” kataku.
Mereka menggeleng.
“Yaaah... cemen, umur segini belum pernah liat cowok bugil” ledekku.
“Emang lo pernah liat?”
“Sering dong.”
“Ooooooo... pantes!” mereka menatap kasihan padaku.
“Eh... maksudku cewek bugil.” aku meralat ucapanku.
“Tenang, Jay. Kita ga akan bilang-bilang ke temen-temen kok.” kata Mia. Wajahnya tampak serius, serius mengira aku sering melihat cowok bugil.
***
Aku dibaringkan di atas ranjang Grace. Cewek-cewek itu mengelilingku seperti mengelilingi tumpeng selametan sunatan anak Pak RT. Aku masih menutupi penisku. Grace memberikan aba-aba agar Anggit dan Rere memegangi tanganku.
Sesaat sebelum tanganku terlepas, aku menyelipkan penisku di sela pahaku. Sehingga dari luar terlihat seperti aku tidak mempunyai penis. Mia mengernyitkan keningnya
“Ketinggalan di kost.” kataku sekenanya. Leluconku garing, mereka tidak tertawa.
Kania dan senja memegangi paha kiriku. Mia dan Liz memegangi paha kananku. Mereka meregangkan pahaku sesuai aba-aba Grace. Penis dan scrotum-ku menggantung-gantung di selangkanganku. Mata mereka berbinar-binar.
“Kecil banget.” kata Mia polos.
Aku tersinggung. “Masih tidur ini, tadi habis coli.”
Sepertinya Mia tidak paham.
Grace mengambil cukuran jenggot. Aku terjejut. “Eh, woy... ente mau apa?!! Eh...” aku panik. Tanpa ragu-ragu Grace dan mencukur habis Jembutku.
“Huff.. Huff.. pelan-pelan!! Anjrit!! Sakit woy!” teriakku.
Tak lama, kemaluanku sudah halus seperti bayi. “Ck ck ck... dasar ABG labil.” kataku kesal.
Berapa saat kemudian, cewek-cewek itu mulai sibuk meraba-raba tubuhku. Kali ini lebih tertib dari yang sebelumnya. Mia meraba-raba perutku, sementara liz memutar-mutar telunjuknya di atas puting susuku. Mataku terpejam, aku kegelian. Hampir seluruh tubuhku di jamah mereka, kecuali penisku. Takut, alasan mereka. Tidak ada satupun dari mereka yang berani menyentuh penisku.
Rere malah meraba-raba paha dalam kiriku, sementara Anggit mengusap-usap pangkal pahaku. Aku menggeliat-geliat kegelian, terlebih lagi saat Grace memijat-mijat perut bawahku. Spontan Penisku mulai mengembang maksimal, ukurannya memang tidak besar. Standar orang indonesialah panjang 13 cm, diameter 3 cm.
Ruangan itu gaduh, mereka takjub melihat pemandangan itu. Mereka berdiskusi, membandingkan penisku dengan apa yang pernah mereka tonton di film porno. Tapi tak ada yang berani menyentuh penisku.
Liz akhirnya memberanikan diri menyentuh penisku. Pertama-tama dia menyentuh kepala penisku yang seperti jamur. “Hiiiii...” katanya kegelian.
Liz membelai-belai kepala penisku dengan lembut, seperti anak kecil yang asyik memainkan mainannya. Mataku terpejam keenakan.
Liz menggenggam batang penisku dan mengocoknya pelan. “Aaah... “ aku berteriak tertahan.
“Ah, Jay, maaf ya.” kata Liz takut.
“Gak pa-pa, Liz, lanjutin aja.” jawabku lemah.
Liz melanjutkan mengocok kemaluanku. “Oooh... ohh...” aku mengerang-erang. Cewek-cewek yang lain memperhatikan dengan seksama. Beberapa dari mereka memainkan puting susuku. Aku sempat melirik ke bawah, Grace sedang mengelus perut bawahku, sementara Anggit memijat selangkanganku.
“Aaaaah...” aku semakin terangsang. Badanku menggeliat-geliat. Yang lainnya memegangi tangan dan kakiku.
Kocokan Liz semakin kencang. Birahiku semakin memuncak, ditambah lagi dengan 7 pasang mata yang melihatku telanjang bulat. Aku tidak bisa menahannya lagi. Tubuhku terangkat ke atas. Tungkaiku bergerak-gerak liar, mereka kewalahan memegangiku.
“Aaaah... Aaaaah...” aku berteriak. Air maniku menyembur tepat ke wajah Grace yang berada tepat di atas perutku. Sisanya menetes di tangan Liz.
Grace berteriak histeris dan berlari ke kamar mandi. Syukur! itu balasan karena memotong jembutku. Liz menyusulnya. Langkahnya lunglai.
Aku ngos-ngosan di atas kasur. Aku memperhatikan wajah teman-temanku, semua berwajah tegang dan menatap nanar ke arah tubuh telanjangku. Aku bangkit turun dari ranjang, kubiarkan air maniku menetes-netes di lantai. Aku melewati Mia, ia masih terpaku, nafasnya ngos-ngosan. Biarlah, aku tidak peduli. Aku membersihan sisa air maniku di kamar mandi. Di sana ada Grace yang masih histeris membersihkan wajahnya yang penuh mani. Liz melihatku datang.
Ajay, maaf ya. Aku gak nyangka jadi gini.” Liz tampak menyesal.
“Gak pa-pa, hehehe.” jawabku, sambil menepuk kepalanya.
Aku kembali ke ruang tengah, mencari pakaianku. Tidak ada. “Wooy... siapa yang ngumpetin baju ane?” teriakku.
Rere tampak tertawa-tawa. Gawat! Rupanya mereka menyembunyikan pakaianku.
“Bajigur, dasar ABG labil.” omelku.
***
Satu jam kemudian, aku belum juga menemukan bajuku. Akhirnya kuputuskan untuk berjalan-jalan di rumah sambil bugil. Biarlah, toh mereka semua sudah melihatku telanjang. Aku pergi ke dapur untuk mengambil minum.
Aku membuka kulkas, mengambil minuman dingin, dan kembali ke ruang tengah. Saat melewati ruang makan, aku berpapasan dengan Rere. Sekelebat aku melihatnya melirik penisku dengan nafsu.
Aku kembali ke ruang tengah. di sana ada Kania, Senja, Anggit, dan Mia. Mereka nonton sinetron yang di dubbing itu. Aku duduk di sofa, Kania dan Senja pindah tempat duduk menjauhiku.
“Ya elah, rugi sekolah tinggi-tinggi nontonnya cuma beginian.” kataku. Mereka cuek aja. Apa boleh buat, aku terpaksa ikut menyaksikan pendekar yang bertarung melawan Naga dari CGI murahan.
Sebenarnya aku merasa aneh, baru beberapa hari yang lalu kami diskusi bersama. Sekarang aku duduk tanpa busana di hadapan mereka. Aku merasakan ada sensasi yang berbeda. Aku merasa terangsang saat mereka mencuri pandang kemaluanku. Tak terasa, penisku tegak lagi.
“Hiii... kok bangun lagi?” kata Senja sambil menutup mata dengan telapak tangannya.
“Dilihatin terus sih.” kataku, kubiarkan penisku mengacung tegak ke udara, sambil kumain-mainkan ujungnya.
“Udaaah.. ngapain siiih!” kata Senja sambil menutup penisku dengan bantalan kursi. Aku hanya tertawa.
Grace datang bersama Liz dan Rere. Liz duduk di sampingku. Grace memasukkan sesuatu ke dalam Player.
“Iiiih, kok diganti?” protes Kania.
“Nonton ini dulu. Koleksi Baru.” kata Grace sambil memematikan lampu. Ruangan menjadi gelap seperti bioskop.
TV layar datar itu mulai menampilkan adegan percumbuan. Oh, Bokepnya Sora Aoi. Aku sudah punya dari dulu. Mereka menontonnya dengan takjub, meski ada satu dua orang yang malu-malu.
Di bawah bantal, penisku sudah ngaceng gak karuan.
“Jay, kamu pernah ML sama cewe belum?” tanya seseorang.
“Belum,” jawabku.
“Kalau ML sama cowok?”
“Apalagi,” jawabku ketus.
“Oooooo...” wajah mereka seperti tidak percaya.
Sepanjang film, mereka mewawancariku dan menanyakan macam-macam: dari petting, intercourse, ejakulasi, dan nama-nama pemain bokep. “Kamu kok jago sih, Jay?” mereka takjub.
“Namanya juga Ajay Vijay Hotahai, pengedar bokep ternama di kampus kita, koleksi 102 GB!”
“Wow, banyak amat. Kapan-kapan ngopi ya.” kata Grace. “...tapi aku ga mau bokep maho ya.” katanya lagi.
“ANE GA PUNYA BOKEP MAHO!”
“Iya-iya, percaya deh, Gay... eh, Jay.”
Aku melotot ke arah Grace.
Sekarang TV menayangkan adegan laki-laki sedang mengocok kontolnya, sesaat kemudian spermanya muncrat ke wajah Sora Aoi.
“Coli itu apaan sih, Jay?” tanya Mia.
Aku menjelaskan.
“Emang enak?” tanyanya lagi.
“Enak dong.” jawabku.
”Jay, coli dong sekarang.”
Jantungku seperti berhenti berdetak. Aku memandang wajah Mia, matanya tampak penasaran. Sementara yang lain memandang penuh harap.
“Okay... okay... Eh, Grace, minta lotion dong.” kataku.
“Siap, Yang Mulia Ajay Vijay Hotahai.” Grace lari ke kamarnya, dan kembali membawa lotion.
Aku menuangkan lotion ke atas kemaluanku yang tanpa bulu, dan meratakannya. Sekarang kemaluanku licin dan berkilap-kilap ditimpa cahaya TV.
Grace berjongkok di depanku dan ikut-ikutan menuangkan lotion ke atas dada dan perutku, sementara Mia dan Liz yang duduk di kiri-kananku meratakannya. Aku menggeliat-geliat kegelian. Seluruh tubuhku mengkilat seperti atlit binaraga.
“Mmmh...” aku mengurut penisku yang licin, membayangkan sedang di oral oleh Grace. Aku semakin bernafsu melihat tatapan mereka, tanpa berkedip memandangi tubuh telanjangku.
“Oooh...” pinggulku naik turun, membayangkan di atas tubuhku Liz sedang meronta-ronta liar.
“Hmmh...” kocokanku semakin kencang. Cewek-cewek itu menelan ludah.
Aku melirik Liz, nafasnya tidak teratur. Tanganku yang satunya memegang tangan Liz, terasa panas.
“Hhh... Hhh...“ nafasku ngos-ngosan. Beberapa dari mereka salah tingkah, aku bisa melihat duduknya sudah tidak tenang lagi. Liz melingkarkan tangannya di pundakku, merangkulku. Aku meliriknya, wajahnya tampak sayu kemerahan. Tiba-tiba Liz meraih batang kemaluanku, dan mengocoknya liar.
“Aaaah...” mataku terpejam keenakan.
Liz mendekatkan wajahnya ke wajahku, nafasnya harum sekali.
“Lizhhh... ngapain kamu?” erangku tidak jelas saat Liz mulai mencium leherku, dan menggigit-gigitnya. Aku menggelinjang tidak karuan.
Cewek-cewek yang lain ikut bernafsu melihat aksi Liz. Sekilas aku melihat Rere mengusap-usap kemaluannya sendiri.
Bibir Liz turun menuju puting kiriku. Ia menjilatinya, dan melumat putingku dengan rakus. Tangan kirinya mengocok batang penisku dengan RPM tinggi. Aku tak bisa berpikir jernih. Aku memeluk tubuh liz dan meremas-remas payudaranya, terasa kenyal.
Para pembaca yang budiman, bisakah anda membayangkan? Telanjang Di coliin bahan coli anda selama ini? Dan disaksikan oleh sekian pasang mata? Sungguh sensasi yang sangat luar biasa.
“Aaaah... Aaaaaa...” tubuhku mengejang hebat. Aku memeluk tubuh Liz erat-erat. Aku menggelinjang liar. Kemaluan berkedut-kedut dan memuntahkan cairan kental -lebih banyak dari sebelumnya- ke dada dan tangan liz. Grace yang berjongkok kecipratan pada wajahnya. Kontan ia histeris dan berlari ke kamar mandi, lagi.
“Hhhh... Hhhh... Hhh...“ aku tersengal-sengal, begitu juga Liz.
“Liz, loe gila juga ya!” kata Rere, celananya juga terlihat basah.
Aku melihat ke sekitar. Tampang yang lain sudah tidak karuan. Senja meringkuk di pojokan sambil memeluk bantal. Anggit dan Kania berpelukan bingung. Mia—yang duduk di sebelahku—bengong, memandangi dada Liz yang setengah terbuka.
Aku memandangi wajah Liz, wajahnya tampak cantik. Pipinya yang chubby basah oleh keringat. Aku memandangi TV yang hanya menampilkan layar biru bertuliskan “VIDEO”.
Aku menghela nafas, alangkah gilanya malam ini.
***
Sudah hampir tengah malam. Grace baru pulang dari mengantar Anggit balik ke rumahnya. Sekedar mengingatkan, sebentar lagi Anggit akan menikah.
Mereka berganti dengan pakaian tidur. Aku hanya menelan ludah melihat pakaian yang mereka kenakan: celana pendek-tank top, celana pendek-kaus ketat, daster tipis. Hanya Senja yang mengenakan piyama lengan panjang.
“Buset, seksi bener. Gak malu ya, kan ada ane?” aku melihat Rere mengenakan celana pendek dan singlet tanpa BH, putingnya terlihat jelas. Dibelakangnya ada Liz mengenakan daster batik pendek tanpa lengan. Aku bisa melihat pahanya yang putih mulus.
“Lah, loe sendiri make apa?” kata Rere. Sepasang payudaranya yang berukuran jumbo berguncang-guncang di depanku.
“Oh iya, Hehehe.” aku cengegesan, sambil melihat penisku yang berdiri tegak tidak ditutupi apa-apa.
Para pembaca yang budiman, adalah bohong bin ngibul kalau aku mengatakan malam itu aku tidur bareng mereka dan ngentotin mereka satu-satu. Aku kecewa saat Grace menyuruhku tidur di ruang tengah.
“Huh, habis manis sepah dibuang.” aku bersungut-sungut.
Tak lama kemudian aku bisa mendengar mereka tertawa-tawa dan bercanda di dalam kamar Grace. Mungkin berdiskusi tentang penisku.
Aku menyalakan TV, oh Grace ternyata berlangganan TV kabel. Lumayan, numpang nonton. Aku mengganti saluran, mencari Fashion TV. Mau cari bahan coli, pikirku. Yaaah, ternyata muncul tulisan : ANDA BELUM BERLANGGANAN SALURAN INI. HARAP HUBUNGI TV BERLANGGANAN ANDA. Aku menggantinya ke HBO, ada film tentang koboi, yah daripada ga ada kerjaan.
“Hihihihi...” kudengar mereka tertawa-tawa di dalam kamar Grace.
“Kyaa... Kyaaaa...” sepertinya menyenangkan di dalam sana.
“Iih... Grace, ngapain sih!”
“Hihihi...” mereka tertawa lagi.
“Ihh, Grace, dipakai sana bajunya.”
Aku menajamkan pendengaranku.
”Kyaaa... Kyaaa... Grace telanjang! Hihihi.”
Batang penisku berdiri lagi.
“Liiiiiiz! Kamu juga buka!” aku mendengar suara Grace.
“Kyaa... Kyaa...” mereka histeris di dalam kamar.
Entah apa yang terjadi di dalam ruangan itu. Imajinasiku mulai liar. Aku mulai mengocok batang penisku.
“Aaaah... Aaaah...” aku memejamkan mataku sambil membayangkan sedang ngentotin Liz dan Grace. “Oooh.. Ohhh...” mendesah keenakan, tangan kananku mengocok batang penis, sementara tangan kiri mengurut-ngurut selangkanganku.
Tiba-tiba pintu terbuka, Liz dan Mia keluar kamar. Aku tidak mempedulikan mereka, sambil tetap mengocok penisku. Kubiarkan mereka menyaksikanku masturbasi.
“Aaah... Aaah...” tak lama, pantatku terangkat, tubuhku kejang-kejang. Air maniku sudah habis, aku orgasme hanya mengeluarkan sedikit cairan encer. Aku terengah-engah, Liz dan Mia hanya melongo melihatku.
“Ajay... ternyata kamu...” wajah mereka seperti kasihan kepadaku. Aku bingung.
Aku menoleh ke layar TV, sedang ada adegan persetubuhan antara dua pria di dalam tenda. (Sekarang aku baru tahu, film itu berjudul Brokeback Mountain)
“Eh, bukan... anu...” aku segera mengganti channel.
“Tenang, Jay. Kita gak akan bilang-bilang ke temen-temen kok.” kata Mia. Wajahnya tampak serius. Yakin kalo aku memang homo beneran.
***
EPILOG
Keesokan paginya, Liz mengantarku pulang ke kos dengan motor, aku duduk di depan.
“Wah, gila bener dah.” komentarku.
“Hehe...” Liz hanya tertawa kecil.
“Anggit akhirnya nikah juga ya.”
“Iya.”
“Kamu kapan nyusul?” pancingku.
“Gak tahu deh.”
“Eh, ntar malam ke mantenan Anggit barengan yuk!” ajakku.
“Eh, aku sudah ada janji, berangkat ke sana sama Bang Igo.”
Dan semuanya pun bermula dari sini.
Comments
Post a Comment