Suntuk karena pisah dengan Sari setelah berantem hebat, aku jadi sering merenung. Ingin rujuk, tidak tahu caranya. Di kantor pun aku sering merenung sambil ngumpet di balkon presdir. Eh, tahu-tahu... hari ini, pas lagi di balkon presdir, ada suara gerabak-gerubuk.
Waduh, ternyata presdir membawa kekasih gelapnya! Gawatnya lagi, tidak lama mereka cap-cip-cup, muncul istri resminya! Lha... udah, ngibritlah sang selingkuhan. Ndilalah, dia ngumpet di balkon juga. Bersamaku!
"Lho, ada orang di sini?!" katanya sambil membenahi bajunya yang kedodoran. Sempat kulihat payudaranya yang bulat besar mengintip malu-malu dari balik kancing baju.
"Iya, Mbak. Saya Bejo... di sini panas ya?" godaku dengan menyeringai.
"Iya sih, panas...” dia membenarkan. “Di balkon nggak ada AC." katanya.
"Tadi nanggung ya?” tanyaku lagi, tetap menyeringai.
Dia mengangguk.
“Nama Mbak siapa?” aku bertanya terus, kuulurkan tanganku.
”Caroline,” dia menjabatnya, tangannya terasa halus dan empuk. Tangan orang kaya.
“Terusin yuk, Mbak, sama saya...” tawarku nekad.
”Gila kamu!” Caroline mendelik.
“Daripada Mbak kembali ke dalam, dan ketahuan ibu presdir." rayuku.
Plak! Pertamanya aku ditempeleng, tapi ujungnya aku dapet enak juga. Pasti dia mikir, daripada ketahuan, mending ngasih enak dikit sama seorang Bejo. Toh nggak lecet juga. betul nggak? Oye!
Maka jadilah, entah siapa yang memulai, kedua bibir kami langsung saling melumat satu sama lain, saling memilin dengan penuh nafsu sambil tanganku mulai beraksi mengelus-elus permukaan dadanya yang tertutup blus merah.
"Ouchh... Jo!" desah Caroline saat kulanjutkan dengan menelusupkan tangan yang lain ke bagian bawah, mengelus permukaan pahanya yang putih mulus. Kuserang dia atas dan bawah.
Menggeliat kegelian, dia membiarkanku membuka bagian atas gaun merahnya. Tampaklah olehku kemulusan kulit dadanya yang terbalut bra hitam tipis, terlihat kontras dengan kulit tubuhnya yang putih sewarna pualam. Lekas kucumbu permukaan daging yang menggunung itu sambil tanganku mengelusi bagian punggungnya, yang kulanjutkan dengan membuka pengait behanya.
Sambil bekerja, lidahku juga tak tinggal diam, kujulurkan ujungnya untuk menjilat puting Caroline yang berwarna pink selembut mungkin. "Ssh... ohh... Joo," erangnya. Kurasakan benda mungil itu mulai mengeras tajam. Ukuran payudaranya yang cukup besar, ditambah dengan kekenyalannya, makin membuatku bergairah. Aku menebak, masih belum banyak tangan yang menjamahnya.
Kulanjutkan jilatanku dengan menelusuri permukaan buah dadanya, lalu berlanjut ke perutnya. Disana lidahku menelusuri setiap jengkal kulit tubuhnya yang putih mulus. Dengan lembut kuteruskan jilatanku ke bawah sambil menurunkan gaun merahnya hingga melewati mata kaki, sekaligus kubuka juga celana dalamnya.
”Ahh... Jo!” Caroline terlihat malu-malu manja bertelanjang di depanku.
Dengan beralaskan gaun merahnya, kurebahkan dia. Kemudian aku rebahan di sampingnya sambil membisikkan kata-kata mesra, "Kamu cantik,"
Dia memencet hidungku, ”Ihh... gombal!” tapi terlihat senang.
Kukecup bibirnya sejenak, lalu kulanjutkan berkata, "Gimana aku harus memanggilmu; Carol, Rolin, atau Lina?” tanyaku iseng.
Caroline tertawa, “Terserah kamu, deh.” bisiknya.
Sejenak dia memandangku dengan bibirnya yang merah merekah. Tak kusia-siakan moment itu, dengan cepat kukecup bibirnya lembut. Kuhisap lidah Caroline yang menjulur menyeruak ke rongga mulutku.
"Mhh…" dia mendesah pelan, tubuh montoknya menggelinjang.
Tanganku juga mulai aktif dengan mengelus-elus pahanya yang putih mulus, sementara lidahku beralih ke lehernya yang jenjang. Kujilat lembut disana beberapa kali sebelum terus berlanjut ke belakang telinganya yang sebelah kiri. Kujulurkan lidahku ke lubangnya yang mungil. Kembali Caroline mendesah pelan, "Oohh... Jo!"
Kuteruskan menciumi wajahnya sampai aku puas, baru kemudian aku berdiri, bukan untuk meninggalkannya, tapi untuk melepas celanaku. Penisku nyeri eii, terhimpit celana dalam.
"Ohh... Jo," teriaknya begitu melihat batangku. "Gede banget! Belum pernah aku tahu yang segede itu," lanjutnya.
Dia sudah akan menyambarnya, tapi lekas kularang, ”Eits, belum saatnya!” seruku.
”Ah, kamu!” Caroline nampak agak kecewa, tapi tidak membantah. Malah ia kembali tersenyum saat melihatku mulai menunduk ke arah sela-sela pahanya. ”Kamu mau apa, Jo?!” tanyanya sambil menggelinjang.
Lidahku kujulurkan sepanjang mungkin, lalu kugerakkan melingkar untuk menjilati bagian pahanya yang berdekatan dengan vagina. Pelan kuhisap tepian vagina Caroline yang ternyata berbulu lebat, hitam dan legam. Terus kucicipi pinggiran kewanitaannya sampai ia mengaduh pelan tak lama kemudian.
”Lubangnya, Jo! Jilati lubangnya!” ia meminta.
Maka kulanjutkan jilatanku mengitari daerah antara anus dan vaginanya.
”Terus, Jo! Yang tengah! Jilat lubangnya!” pekik Caroline tak sabar, merasa kupermainkan.
Tertawa senang, "Slurp... slurp..." segera kusapukan ujung lidahku dari atas ke bawah. Kucicipi belahan vaginanya.
”Ouchh…” Caroline mendesah, "yah, yang itu! Jilat yang itu. Ohh... nikmat sekali, sayang." rintihnya.
Sebenarnya aku juga sudah terangsang sekali, penisku sudah kaku dan keras, tapi aku memang suka mempermainkan wanita seperti ini. Semakin mereka meminta, semakin aku akan berkuasa. Itu prinsipku!
Terus kujulurkan lidahku yang tadi sudah melewati belahan vaginanya, sekarang kutekan-tekan kuat untuk menghisap klitorisnya yang mungil tapi sudah mengencang.
Caroline menyambut dengan menghentakkan tubuhnya kuat-kuat. "Ohh... Joo... ampun... aku nggak kuat..." erangnya kemudian. Tangannya dengan sembarangan menyambar penisku dan lalu mengocoknya cepat. Aku jadi ikut enak.
Tapi dasar manusia, tetap pengen yang paling enak. Jadi kuputar tubuhku agar kami bisa saling berhadapan, apalagi kalau bukan posisi 69. Aku di depan vagina Caroline, sedangkan dia menghadapi penisku. Jadilah kami saling menghisap dan mengulum mesra.
Dengan lincahnya Caroline menjulurkan lidah untuk menjilati seluruh permukaan penisku yang berukuran lumayan besar, lengkap dengan bulunya yang hitam lebat tumbuh berserakan dimana-mana. Dia memajukan bibirnya untuk menghisap penuh nafsu; kepala penisku dilahapnya bagai makan sosis, ia juga memainkan batangku yang memenuhi rongga mulutnya dengan lidah, dan dilanjutkan dengan menghisap buah zakarku kuat-kuat.
Aku tanya, siapa coba yang tahan diperlakukan seperti itu? Tak terkecuali diriku. Makanya jangan salahkan kalau aku merintih penuh nikmat tak lama kemudian, "Ahh... Linn... enak banget jilatanmu, sayang!!" teriakku tertahan.
Dengan tersenyum manis, sambil tetap berbaring di bawah tubuhku, Caroline menengadahkan muka ke atas dan berkata kepadaku, "Aku juga sangat menyukai penismu, Jo, gede banget!" balasnya.
Sebagai tanda terima kasih, sedikit kubungkukkan badan dan mulai menjilati permukaan vaginanya kembali. Kami terus dalam posisi seperti itu hingga Caroline mendesis lirih, "Oh, Joo... aku udah nggak kuat nih... sekarang yah, sayang?" pintanya.
Karena aku juga sudah tak tahan, maka segera kuputar tubuhku. Kepala kami kembali saling berhadapan. Caroline tersenyum kepadaku. Kukecup bibirnya sambil sedikit berjongkok, kuatur batang penisku yang sudah sangat mengeras untuk mulai mengelus-elus belahan vaginanya yang sudah basah berlendir.
”Tahan ya, kumasukkan sekarang!” bisikku sambil dengan lembut mulai menusukkan penisku ke lubang vaginanya yang ternyata cukup sempit juga.
Srett... masuk seperempat.
"Oh, Joo... enak, sayang, masukkan semua dong!!" desahnya menggelinjang.
Dengan perlahan, kembali aku memajukan penisku, blees... masuk setengahnya.
”Semua, Joo... semua! Penuhi vaginaku dengan penismu...” jeritnya tak tahan.
Dengan sekali dorong, amblaslah semua penisku ke dalam lobang vaginanya yang cukup terasa ketat. Lalu sebelum dia meminta, kulanjutkan dengan mulai memaju-mundurkan pantatku perlahan-lahan, menjadikan kemaluan kami yang sudah saling mengisi dan bertaut erat jadi bergesekan pelan menciptakan rasa nikmat yang amat sangat.
”Auw! Enak, Jo... terus... ughh... terus... tekan yang kuat!” Caroline semakin menggelinjang, tubuh sintalnya bergerak ke kiri dan ke kanan untuk mengimbangi genjotanku.
Segera kupegangi dia, tepat di bagian dada. Kugunakan bulatan payudaranya sebagai tali kekang agar dia tidak lari kemana-mana. Terus kugerakkan pinggulku, maju mundur menyetubuhi dirinya.
Tak lama berselang, badan Caroline tiba-tiba bergetar hebat, menandakan kalau dia akan mencapai orgasme. "Joo... aku mau sampai nih," teriaknya.
"Sebentar, sayang... aku juga mau nyampai," sahutku sambil menggandakan kecepatan pompaan menjadi dua kali lipat.
Tapi Caroline rupanya sudah benar-benar tak tahan, tak lama tubuhnya sudah mengejang kuat. "Ah, Joo... aku... aku... aughhhh!!" teriaknya panjang.
Serr... serr.. kurasakan desiran hangat keluar dari lubang vaginanya.
Aku yang tidak ingin ketinggalan, semakin mempercepat kocokanku. Kuremas-remas juga payudaranya semakin kuat, sambil tak lupa kulumat bibir merahnya penuh nafsu. Hingga akhirnya aku menjerit pelan saat spermaku menyembur deras di dalam lubang vaginanya beberapa detik kemudian.
”Ughh!” Caroline sedikit tersentak saat menerimanya, tapi terlihat senang.
Dengan penis masih tertancap kuat, kukecup kembali bibirnya sambil mengucapkan kata, "Trims ya, enak banget!" kataku jujur.
Ia membalas kecupanku, "Aku juga enak, terimakasih juga." bisiknya mesra.
Beruntunglah diriku bisa bercinta dengan Caroline, kekasih gelap presdir yang cantik dan sexy. Apalagi oral sex-nya begitu dahsyat, yang awalnya tidak pernah kubayangkan.
Setelah tuntas, akupun ngacir sambil membawa secuil kain 36B miliknya, sengaja kuminta sebagai suvenir.
***
Beberapa minggu kemudian, kejadian itu terulang kembali.
"Saya Bejo, Mbak... di sini panas ya?" kataku begitu ia menghambur ke balkon, takut dipergoki istri pak presdir yang tiba-tiba datang.
"Iya, nggak ada AC." jawabnya malu.
“Dan nggak banyak urusan juga,” tambahku.
Tanpa babibu, puncak birahi segera kami daki. Dalam balkon sempit berukuran 2x3 m itu, dua makhluk berlainan jenis itu memadu kasih. Keduanya bertindihan dengan tubuh bugil, yang lelaki di atas sementara perempuannya di bawah. Bibir mereka berpagutan erat.
“Ahh… Jo!” rintih Caroline saat tanganku terus meremas-remas bongkahan susunya, sementara penisku terus menyodok kemaluannya dengan bertubi-tubi.
Caroline menggoyang pinggulnya, nafasnya terdengar semakin memburu, apalagi saat tubuhnya kumiringkan. Sambil meremas susunya dari belakang, kucium lehernya, kugigit-gigit punggungnya, sementara batang penisku terus menusuk, mengaduk-ngaduk lubang vaginanya hingga tak berbentuk.
"Aduh, Lin..." teriakku. Memang dengan posisi seperti itu menjadikan lubang Caroline jadi lebih sempit, aku jadi merasa lebih enak, juga lebih nikmat.
Bertahan dalam posisi seperti itu, akupun menumpahkan spermaku tak lama kemudian. Caroline menyambutnya dengan sedikit menghentakkan tubuhnya, ia ikut mendesah nikmat, "Joo… aduh... enak banget!" rintihnya parau karena juga ikut orgasme. Cairan kami saling berkumpul dan bercampur menjadi satu.
Tuntaslah aku menerabas selingkuhan presdir untuk yang kedua kalinya, lalu kembali aku sita kain 36B-nya sebagai kenang-kenangan.
***
Begitulah, beberapa kali kami mengulanginya, tentunya tanpa sengaja dan sepengetahuan presdir. Akibatnya, koleksi 36B-ku jadi banyak. Laci lemariku penuh oleh bh seksi Caroline.
Aku sering mengaguminya saat malam, sesaat sebelum tidur. Beberapa kali juga kugunakan sebagai bahan onani kalau lama tak berjumpa dengannya. Eh, apesnya... hari ini aku kepergok sama Wak Haji. Nah lho...
Siapa Wak Haji? Dia adalah pemilik tempat kos dimana aku tinggal setelah diusir oleh istri.
"Kamu tuh ngoleksi perabot cewek, kelainan, ya? Pantesan diusir sama istri." kata Wak Haji. "Tapi udahlah. Nggak usah kuatir. Saya punya kenalan, ahli terapi. Dia pasti bisa ngatasi penyakitmu."
Tanpa ba-bi-bu, malam itu juga aku digeret sama Wak Haji untuk menemui dokter kenalannya.
Di tempat terapi, seorang perawat menyambut kami. "Lagi renovasi, jadi prakteknya di bilik, di taman belakang. Mari..." kata si perawat menerangkan.
Segera kuikuti perawat cantik itu, sementara Wak Haji nunggu di rumah utama.
"Oh, bukan di situ, Mas! Itu tempat Pak dokter, suami Ibu.” kata si perawat saat aku mau berbelok ke kiri. ”Kalau ruang periksa Ibu ada di sebelah kanan. Mari sini, silakan masuk." Perawat itu mempersilakan dengan ramah.
Ih, jadi gemes deh. Pengen kucupit pipinya. Tapi kan, aku disini untuk terapi.... jadi, sabar-sabar!
Setelah masuk dan duduk setengah berbaring di kursi santai yang disediakan, sang perawat pun menutup gordennya, lalu pergi memanggil bu dokter. ”Pasien sudah siap, dok!” serunya.
Selang sebentar, terdengar suara lembut menyapaku. ”Selamat siang, Mas... perlu konsultasi dengan saya, ya?”
Lho, kok suara itu? Aku bingung, tapi juga senang.
Tanpa perlu membuka gorden, akupun menyahut, "Saya Bejo, Bu dokter... di sini panas ya?" sapaku.
"Iya, di sini nggak ada AC... HAH?! KOK KAMU LAGI?!!!" suara si bu dokter yang familiar itu pun tertahan, takut kedengaran oleh suaminya yang ada di bilik periksa ruang sebelah.
Benar, dia adalah Caroline, kekasih gelap presdir yang sering tidur denganku. Ternyata dia seorang dokter.
Ya udah... karena sudah telanjur ketemu, klasik lagi deh urusannya. Tanpa menyia-nyiakan waktu, kupagut bibirnya begitu mesra sambil lidahku menjelajahi seluruh rongga mulutnya yang mulai terbuka. Tak lupa tanganku juga meraba disana-sini.
”Ahh... Jo!” Caroline mendesah saat kuusap-usap buah dadanya yang besar dan sangat menggairahkan itu, matanya merem melek menahan gejolak birahi.
Kuangkat tubuhnya ke dalam kamar kemudian pintu aku kunci. Sedikit demi sedikit kupreteli pakaiannya hingga ia tinggal mengenakan bh dan celana dalam saja. Tubuhnya kelihatan makin indah saja setelah beberapa hari tak ketemu. Lekas aku menggumulinya tanpa membuang banyak waktu.
Tanpa kusuruh, Caroline melepas dalemannya. Ia memang lebih suka telanjang kalau berada bersamaku. Akupun begitu, segera kulepas semua pakaianku. Kami segera berpelukan dan bergumul kembali seolah-olah telah 200 tahun tak ketemu, layaknya Adam dan Hawa saja.
Dengan rakus mulutku menghisap putingnya yang sebelah kiri, sementara yang kanan kuremas-remas hingga jadi mengeras. Tanganku juga menelusur ke bawah untuk menjelajahi hutan belantaranya yang sepertinya makin rimbun saja.
Caroline membalas dengan menghampiri kemaluanku. Ia memutar tubuhnya agar kami bisa berposisi 69. Kamipun saling menghisap dan menjilat selama kurang lebih 20 menit, setelah itu barulah kuminta ia untuk bersiap-siap.
"Kumasukkan sekarang ya, udah nggak tahan nih." bisikku sambil menciumi bibirnya.
”Lakukan, Jo... aku juga kangen sama kontolmu!” balasnya tanpa ragu. Semakin dia berkata kotor, berarti semakin dia terangsang. Itu kupelajari setelah beberapa kali ngentot dengannya.
Dengan kaki sedikit kurenggangkan, perlahan kumasukkan penisku ke dalam sumur kenikmatannya yang masih sempit. Aku goyang ke kiri dan ke kanan agar lebih nikmat.
"Ahh... yang cepat, Joo... enak... terus!!" rintih Caroline.
Wah, gawat nih. Kalau dia terus ngoceh kencang seperti ini, bisa-bisa dipergoki sama suaminya. Maka segera kusumpal mulutnya dengan ciuman. ”Jangan keras-keras, nanti dipergoki sama suamimu!” bisikku di telinganya.
"Habis enak sih, belum pernah aku ngerasakan yang seperti ini dengan suamiku." balasnya ikut berbisik.
Aku mulai menggoyang; awalnya lambat, tapi lama-lama jadi bertambah cepat, namun tetap kuusahakan hati-hati agar Caroline tidak kesakitan. Aku tidak ingin dia teriak-teriak. Cukup mendesah dan merintih-rintih saja, itu lebih aman buat kami.
Dengan tusukan pelan namun sangat dalam, terus kugenjot pantatku menyetubuhi kemaluannya. Caroline mengimbangi dengan menggoyang pinggulnya maju mundur seiring ayunanku. Hingga beberapa menit kemudian dia tiba-tiba memelukku erat dan menjerit tertahan.
"Joo... aku keluar! Arghh!” dari dalam liang rahimnya memancar air cinta yang amat banyak, membasahi sprei. Dia orgasme.
"Aku tinggal sedikit lagi, tahan ya!" kataku.
Dengan liangnya yang semakin becek, tusukanku pun jadi semakin menggila. Cairan Caroline sampai muncrat-muncrat karena saking kerasnya aku memompa. Dia mengaduh, namun tidak kuhiraukan. Aku sudah merasa nikmat, tanggung kalau harus berhenti sekarang.
Penisku juga semakin menggembung dan berkedut-kedut liar, tanda kalau lahar panas yang terkandung di dalamnya akan segera meledak keluar. Caroline yang tahu akan hal itu, akhirnya pasrah dengan segala kelakuanku. Ia biarkan aku menggenjot tubuh sintalnya sesuka hati hingga aku orgasme tak lama kemudian.
"Lin, aku keluar..." rintihku lirih di telinganya.
Caroline membalas dengan mencium bibirku mesra.
Kami berpelukan erat untuk beberapa saat, dan saling berpagutan sebagai tanda akhir permainan nikmat ini.
***
"Gimana konsultasinya, sip kan?" Wak Haji menyapa saat aku kembali ke ruang utama. Dia tidak memperhatikan tubuhku yang sedikit lemas.
"Oke banget, Wak. Si dokternya nggak banyak omong sih, tapi kayaknya nggak apa-apa kok, nggak ada kelainan. Buktinya... ini saya malah diberi tambahan koleksi." kataku sambil menunjukkan property berukuran 36B koleksi terbaruku, fresh from the oven.
Wak Haji melongo.
Sementara itu, rencanaku untuk rujuk dengan Sari jadi bubar karena aku disibukkan hobi baru; berburu kain bekas pakai milik si dokter cantik, Caroline.
Waduh, ternyata presdir membawa kekasih gelapnya! Gawatnya lagi, tidak lama mereka cap-cip-cup, muncul istri resminya! Lha... udah, ngibritlah sang selingkuhan. Ndilalah, dia ngumpet di balkon juga. Bersamaku!
"Lho, ada orang di sini?!" katanya sambil membenahi bajunya yang kedodoran. Sempat kulihat payudaranya yang bulat besar mengintip malu-malu dari balik kancing baju.
"Iya, Mbak. Saya Bejo... di sini panas ya?" godaku dengan menyeringai.
"Iya sih, panas...” dia membenarkan. “Di balkon nggak ada AC." katanya.
"Tadi nanggung ya?” tanyaku lagi, tetap menyeringai.
Dia mengangguk.
“Nama Mbak siapa?” aku bertanya terus, kuulurkan tanganku.
”Caroline,” dia menjabatnya, tangannya terasa halus dan empuk. Tangan orang kaya.
“Terusin yuk, Mbak, sama saya...” tawarku nekad.
”Gila kamu!” Caroline mendelik.
“Daripada Mbak kembali ke dalam, dan ketahuan ibu presdir." rayuku.
Plak! Pertamanya aku ditempeleng, tapi ujungnya aku dapet enak juga. Pasti dia mikir, daripada ketahuan, mending ngasih enak dikit sama seorang Bejo. Toh nggak lecet juga. betul nggak? Oye!
Maka jadilah, entah siapa yang memulai, kedua bibir kami langsung saling melumat satu sama lain, saling memilin dengan penuh nafsu sambil tanganku mulai beraksi mengelus-elus permukaan dadanya yang tertutup blus merah.
"Ouchh... Jo!" desah Caroline saat kulanjutkan dengan menelusupkan tangan yang lain ke bagian bawah, mengelus permukaan pahanya yang putih mulus. Kuserang dia atas dan bawah.
Menggeliat kegelian, dia membiarkanku membuka bagian atas gaun merahnya. Tampaklah olehku kemulusan kulit dadanya yang terbalut bra hitam tipis, terlihat kontras dengan kulit tubuhnya yang putih sewarna pualam. Lekas kucumbu permukaan daging yang menggunung itu sambil tanganku mengelusi bagian punggungnya, yang kulanjutkan dengan membuka pengait behanya.
Sambil bekerja, lidahku juga tak tinggal diam, kujulurkan ujungnya untuk menjilat puting Caroline yang berwarna pink selembut mungkin. "Ssh... ohh... Joo," erangnya. Kurasakan benda mungil itu mulai mengeras tajam. Ukuran payudaranya yang cukup besar, ditambah dengan kekenyalannya, makin membuatku bergairah. Aku menebak, masih belum banyak tangan yang menjamahnya.
Kulanjutkan jilatanku dengan menelusuri permukaan buah dadanya, lalu berlanjut ke perutnya. Disana lidahku menelusuri setiap jengkal kulit tubuhnya yang putih mulus. Dengan lembut kuteruskan jilatanku ke bawah sambil menurunkan gaun merahnya hingga melewati mata kaki, sekaligus kubuka juga celana dalamnya.
”Ahh... Jo!” Caroline terlihat malu-malu manja bertelanjang di depanku.
Dengan beralaskan gaun merahnya, kurebahkan dia. Kemudian aku rebahan di sampingnya sambil membisikkan kata-kata mesra, "Kamu cantik,"
Dia memencet hidungku, ”Ihh... gombal!” tapi terlihat senang.
Kukecup bibirnya sejenak, lalu kulanjutkan berkata, "Gimana aku harus memanggilmu; Carol, Rolin, atau Lina?” tanyaku iseng.
Caroline tertawa, “Terserah kamu, deh.” bisiknya.
Sejenak dia memandangku dengan bibirnya yang merah merekah. Tak kusia-siakan moment itu, dengan cepat kukecup bibirnya lembut. Kuhisap lidah Caroline yang menjulur menyeruak ke rongga mulutku.
"Mhh…" dia mendesah pelan, tubuh montoknya menggelinjang.
Tanganku juga mulai aktif dengan mengelus-elus pahanya yang putih mulus, sementara lidahku beralih ke lehernya yang jenjang. Kujilat lembut disana beberapa kali sebelum terus berlanjut ke belakang telinganya yang sebelah kiri. Kujulurkan lidahku ke lubangnya yang mungil. Kembali Caroline mendesah pelan, "Oohh... Jo!"
Kuteruskan menciumi wajahnya sampai aku puas, baru kemudian aku berdiri, bukan untuk meninggalkannya, tapi untuk melepas celanaku. Penisku nyeri eii, terhimpit celana dalam.
"Ohh... Jo," teriaknya begitu melihat batangku. "Gede banget! Belum pernah aku tahu yang segede itu," lanjutnya.
Dia sudah akan menyambarnya, tapi lekas kularang, ”Eits, belum saatnya!” seruku.
”Ah, kamu!” Caroline nampak agak kecewa, tapi tidak membantah. Malah ia kembali tersenyum saat melihatku mulai menunduk ke arah sela-sela pahanya. ”Kamu mau apa, Jo?!” tanyanya sambil menggelinjang.
Lidahku kujulurkan sepanjang mungkin, lalu kugerakkan melingkar untuk menjilati bagian pahanya yang berdekatan dengan vagina. Pelan kuhisap tepian vagina Caroline yang ternyata berbulu lebat, hitam dan legam. Terus kucicipi pinggiran kewanitaannya sampai ia mengaduh pelan tak lama kemudian.
”Lubangnya, Jo! Jilati lubangnya!” ia meminta.
Maka kulanjutkan jilatanku mengitari daerah antara anus dan vaginanya.
”Terus, Jo! Yang tengah! Jilat lubangnya!” pekik Caroline tak sabar, merasa kupermainkan.
Tertawa senang, "Slurp... slurp..." segera kusapukan ujung lidahku dari atas ke bawah. Kucicipi belahan vaginanya.
”Ouchh…” Caroline mendesah, "yah, yang itu! Jilat yang itu. Ohh... nikmat sekali, sayang." rintihnya.
Sebenarnya aku juga sudah terangsang sekali, penisku sudah kaku dan keras, tapi aku memang suka mempermainkan wanita seperti ini. Semakin mereka meminta, semakin aku akan berkuasa. Itu prinsipku!
Terus kujulurkan lidahku yang tadi sudah melewati belahan vaginanya, sekarang kutekan-tekan kuat untuk menghisap klitorisnya yang mungil tapi sudah mengencang.
Caroline menyambut dengan menghentakkan tubuhnya kuat-kuat. "Ohh... Joo... ampun... aku nggak kuat..." erangnya kemudian. Tangannya dengan sembarangan menyambar penisku dan lalu mengocoknya cepat. Aku jadi ikut enak.
Tapi dasar manusia, tetap pengen yang paling enak. Jadi kuputar tubuhku agar kami bisa saling berhadapan, apalagi kalau bukan posisi 69. Aku di depan vagina Caroline, sedangkan dia menghadapi penisku. Jadilah kami saling menghisap dan mengulum mesra.
Dengan lincahnya Caroline menjulurkan lidah untuk menjilati seluruh permukaan penisku yang berukuran lumayan besar, lengkap dengan bulunya yang hitam lebat tumbuh berserakan dimana-mana. Dia memajukan bibirnya untuk menghisap penuh nafsu; kepala penisku dilahapnya bagai makan sosis, ia juga memainkan batangku yang memenuhi rongga mulutnya dengan lidah, dan dilanjutkan dengan menghisap buah zakarku kuat-kuat.
Aku tanya, siapa coba yang tahan diperlakukan seperti itu? Tak terkecuali diriku. Makanya jangan salahkan kalau aku merintih penuh nikmat tak lama kemudian, "Ahh... Linn... enak banget jilatanmu, sayang!!" teriakku tertahan.
Dengan tersenyum manis, sambil tetap berbaring di bawah tubuhku, Caroline menengadahkan muka ke atas dan berkata kepadaku, "Aku juga sangat menyukai penismu, Jo, gede banget!" balasnya.
Sebagai tanda terima kasih, sedikit kubungkukkan badan dan mulai menjilati permukaan vaginanya kembali. Kami terus dalam posisi seperti itu hingga Caroline mendesis lirih, "Oh, Joo... aku udah nggak kuat nih... sekarang yah, sayang?" pintanya.
Karena aku juga sudah tak tahan, maka segera kuputar tubuhku. Kepala kami kembali saling berhadapan. Caroline tersenyum kepadaku. Kukecup bibirnya sambil sedikit berjongkok, kuatur batang penisku yang sudah sangat mengeras untuk mulai mengelus-elus belahan vaginanya yang sudah basah berlendir.
”Tahan ya, kumasukkan sekarang!” bisikku sambil dengan lembut mulai menusukkan penisku ke lubang vaginanya yang ternyata cukup sempit juga.
Srett... masuk seperempat.
"Oh, Joo... enak, sayang, masukkan semua dong!!" desahnya menggelinjang.
Dengan perlahan, kembali aku memajukan penisku, blees... masuk setengahnya.
”Semua, Joo... semua! Penuhi vaginaku dengan penismu...” jeritnya tak tahan.
Dengan sekali dorong, amblaslah semua penisku ke dalam lobang vaginanya yang cukup terasa ketat. Lalu sebelum dia meminta, kulanjutkan dengan mulai memaju-mundurkan pantatku perlahan-lahan, menjadikan kemaluan kami yang sudah saling mengisi dan bertaut erat jadi bergesekan pelan menciptakan rasa nikmat yang amat sangat.
”Auw! Enak, Jo... terus... ughh... terus... tekan yang kuat!” Caroline semakin menggelinjang, tubuh sintalnya bergerak ke kiri dan ke kanan untuk mengimbangi genjotanku.
Segera kupegangi dia, tepat di bagian dada. Kugunakan bulatan payudaranya sebagai tali kekang agar dia tidak lari kemana-mana. Terus kugerakkan pinggulku, maju mundur menyetubuhi dirinya.
Tak lama berselang, badan Caroline tiba-tiba bergetar hebat, menandakan kalau dia akan mencapai orgasme. "Joo... aku mau sampai nih," teriaknya.
"Sebentar, sayang... aku juga mau nyampai," sahutku sambil menggandakan kecepatan pompaan menjadi dua kali lipat.
Tapi Caroline rupanya sudah benar-benar tak tahan, tak lama tubuhnya sudah mengejang kuat. "Ah, Joo... aku... aku... aughhhh!!" teriaknya panjang.
Serr... serr.. kurasakan desiran hangat keluar dari lubang vaginanya.
Aku yang tidak ingin ketinggalan, semakin mempercepat kocokanku. Kuremas-remas juga payudaranya semakin kuat, sambil tak lupa kulumat bibir merahnya penuh nafsu. Hingga akhirnya aku menjerit pelan saat spermaku menyembur deras di dalam lubang vaginanya beberapa detik kemudian.
”Ughh!” Caroline sedikit tersentak saat menerimanya, tapi terlihat senang.
Dengan penis masih tertancap kuat, kukecup kembali bibirnya sambil mengucapkan kata, "Trims ya, enak banget!" kataku jujur.
Ia membalas kecupanku, "Aku juga enak, terimakasih juga." bisiknya mesra.
Beruntunglah diriku bisa bercinta dengan Caroline, kekasih gelap presdir yang cantik dan sexy. Apalagi oral sex-nya begitu dahsyat, yang awalnya tidak pernah kubayangkan.
Setelah tuntas, akupun ngacir sambil membawa secuil kain 36B miliknya, sengaja kuminta sebagai suvenir.
***
Beberapa minggu kemudian, kejadian itu terulang kembali.
"Saya Bejo, Mbak... di sini panas ya?" kataku begitu ia menghambur ke balkon, takut dipergoki istri pak presdir yang tiba-tiba datang.
"Iya, nggak ada AC." jawabnya malu.
“Dan nggak banyak urusan juga,” tambahku.
Tanpa babibu, puncak birahi segera kami daki. Dalam balkon sempit berukuran 2x3 m itu, dua makhluk berlainan jenis itu memadu kasih. Keduanya bertindihan dengan tubuh bugil, yang lelaki di atas sementara perempuannya di bawah. Bibir mereka berpagutan erat.
“Ahh… Jo!” rintih Caroline saat tanganku terus meremas-remas bongkahan susunya, sementara penisku terus menyodok kemaluannya dengan bertubi-tubi.
Caroline menggoyang pinggulnya, nafasnya terdengar semakin memburu, apalagi saat tubuhnya kumiringkan. Sambil meremas susunya dari belakang, kucium lehernya, kugigit-gigit punggungnya, sementara batang penisku terus menusuk, mengaduk-ngaduk lubang vaginanya hingga tak berbentuk.
"Aduh, Lin..." teriakku. Memang dengan posisi seperti itu menjadikan lubang Caroline jadi lebih sempit, aku jadi merasa lebih enak, juga lebih nikmat.
Bertahan dalam posisi seperti itu, akupun menumpahkan spermaku tak lama kemudian. Caroline menyambutnya dengan sedikit menghentakkan tubuhnya, ia ikut mendesah nikmat, "Joo… aduh... enak banget!" rintihnya parau karena juga ikut orgasme. Cairan kami saling berkumpul dan bercampur menjadi satu.
Tuntaslah aku menerabas selingkuhan presdir untuk yang kedua kalinya, lalu kembali aku sita kain 36B-nya sebagai kenang-kenangan.
***
Begitulah, beberapa kali kami mengulanginya, tentunya tanpa sengaja dan sepengetahuan presdir. Akibatnya, koleksi 36B-ku jadi banyak. Laci lemariku penuh oleh bh seksi Caroline.
Aku sering mengaguminya saat malam, sesaat sebelum tidur. Beberapa kali juga kugunakan sebagai bahan onani kalau lama tak berjumpa dengannya. Eh, apesnya... hari ini aku kepergok sama Wak Haji. Nah lho...
Siapa Wak Haji? Dia adalah pemilik tempat kos dimana aku tinggal setelah diusir oleh istri.
"Kamu tuh ngoleksi perabot cewek, kelainan, ya? Pantesan diusir sama istri." kata Wak Haji. "Tapi udahlah. Nggak usah kuatir. Saya punya kenalan, ahli terapi. Dia pasti bisa ngatasi penyakitmu."
Tanpa ba-bi-bu, malam itu juga aku digeret sama Wak Haji untuk menemui dokter kenalannya.
Di tempat terapi, seorang perawat menyambut kami. "Lagi renovasi, jadi prakteknya di bilik, di taman belakang. Mari..." kata si perawat menerangkan.
Segera kuikuti perawat cantik itu, sementara Wak Haji nunggu di rumah utama.
"Oh, bukan di situ, Mas! Itu tempat Pak dokter, suami Ibu.” kata si perawat saat aku mau berbelok ke kiri. ”Kalau ruang periksa Ibu ada di sebelah kanan. Mari sini, silakan masuk." Perawat itu mempersilakan dengan ramah.
Ih, jadi gemes deh. Pengen kucupit pipinya. Tapi kan, aku disini untuk terapi.... jadi, sabar-sabar!
Setelah masuk dan duduk setengah berbaring di kursi santai yang disediakan, sang perawat pun menutup gordennya, lalu pergi memanggil bu dokter. ”Pasien sudah siap, dok!” serunya.
Selang sebentar, terdengar suara lembut menyapaku. ”Selamat siang, Mas... perlu konsultasi dengan saya, ya?”
Lho, kok suara itu? Aku bingung, tapi juga senang.
Tanpa perlu membuka gorden, akupun menyahut, "Saya Bejo, Bu dokter... di sini panas ya?" sapaku.
"Iya, di sini nggak ada AC... HAH?! KOK KAMU LAGI?!!!" suara si bu dokter yang familiar itu pun tertahan, takut kedengaran oleh suaminya yang ada di bilik periksa ruang sebelah.
Benar, dia adalah Caroline, kekasih gelap presdir yang sering tidur denganku. Ternyata dia seorang dokter.
Ya udah... karena sudah telanjur ketemu, klasik lagi deh urusannya. Tanpa menyia-nyiakan waktu, kupagut bibirnya begitu mesra sambil lidahku menjelajahi seluruh rongga mulutnya yang mulai terbuka. Tak lupa tanganku juga meraba disana-sini.
”Ahh... Jo!” Caroline mendesah saat kuusap-usap buah dadanya yang besar dan sangat menggairahkan itu, matanya merem melek menahan gejolak birahi.
Kuangkat tubuhnya ke dalam kamar kemudian pintu aku kunci. Sedikit demi sedikit kupreteli pakaiannya hingga ia tinggal mengenakan bh dan celana dalam saja. Tubuhnya kelihatan makin indah saja setelah beberapa hari tak ketemu. Lekas aku menggumulinya tanpa membuang banyak waktu.
Tanpa kusuruh, Caroline melepas dalemannya. Ia memang lebih suka telanjang kalau berada bersamaku. Akupun begitu, segera kulepas semua pakaianku. Kami segera berpelukan dan bergumul kembali seolah-olah telah 200 tahun tak ketemu, layaknya Adam dan Hawa saja.
Dengan rakus mulutku menghisap putingnya yang sebelah kiri, sementara yang kanan kuremas-remas hingga jadi mengeras. Tanganku juga menelusur ke bawah untuk menjelajahi hutan belantaranya yang sepertinya makin rimbun saja.
Caroline membalas dengan menghampiri kemaluanku. Ia memutar tubuhnya agar kami bisa berposisi 69. Kamipun saling menghisap dan menjilat selama kurang lebih 20 menit, setelah itu barulah kuminta ia untuk bersiap-siap.
"Kumasukkan sekarang ya, udah nggak tahan nih." bisikku sambil menciumi bibirnya.
”Lakukan, Jo... aku juga kangen sama kontolmu!” balasnya tanpa ragu. Semakin dia berkata kotor, berarti semakin dia terangsang. Itu kupelajari setelah beberapa kali ngentot dengannya.
Dengan kaki sedikit kurenggangkan, perlahan kumasukkan penisku ke dalam sumur kenikmatannya yang masih sempit. Aku goyang ke kiri dan ke kanan agar lebih nikmat.
"Ahh... yang cepat, Joo... enak... terus!!" rintih Caroline.
Wah, gawat nih. Kalau dia terus ngoceh kencang seperti ini, bisa-bisa dipergoki sama suaminya. Maka segera kusumpal mulutnya dengan ciuman. ”Jangan keras-keras, nanti dipergoki sama suamimu!” bisikku di telinganya.
"Habis enak sih, belum pernah aku ngerasakan yang seperti ini dengan suamiku." balasnya ikut berbisik.
Aku mulai menggoyang; awalnya lambat, tapi lama-lama jadi bertambah cepat, namun tetap kuusahakan hati-hati agar Caroline tidak kesakitan. Aku tidak ingin dia teriak-teriak. Cukup mendesah dan merintih-rintih saja, itu lebih aman buat kami.
Dengan tusukan pelan namun sangat dalam, terus kugenjot pantatku menyetubuhi kemaluannya. Caroline mengimbangi dengan menggoyang pinggulnya maju mundur seiring ayunanku. Hingga beberapa menit kemudian dia tiba-tiba memelukku erat dan menjerit tertahan.
"Joo... aku keluar! Arghh!” dari dalam liang rahimnya memancar air cinta yang amat banyak, membasahi sprei. Dia orgasme.
"Aku tinggal sedikit lagi, tahan ya!" kataku.
Dengan liangnya yang semakin becek, tusukanku pun jadi semakin menggila. Cairan Caroline sampai muncrat-muncrat karena saking kerasnya aku memompa. Dia mengaduh, namun tidak kuhiraukan. Aku sudah merasa nikmat, tanggung kalau harus berhenti sekarang.
Penisku juga semakin menggembung dan berkedut-kedut liar, tanda kalau lahar panas yang terkandung di dalamnya akan segera meledak keluar. Caroline yang tahu akan hal itu, akhirnya pasrah dengan segala kelakuanku. Ia biarkan aku menggenjot tubuh sintalnya sesuka hati hingga aku orgasme tak lama kemudian.
"Lin, aku keluar..." rintihku lirih di telinganya.
Caroline membalas dengan mencium bibirku mesra.
Kami berpelukan erat untuk beberapa saat, dan saling berpagutan sebagai tanda akhir permainan nikmat ini.
***
"Gimana konsultasinya, sip kan?" Wak Haji menyapa saat aku kembali ke ruang utama. Dia tidak memperhatikan tubuhku yang sedikit lemas.
"Oke banget, Wak. Si dokternya nggak banyak omong sih, tapi kayaknya nggak apa-apa kok, nggak ada kelainan. Buktinya... ini saya malah diberi tambahan koleksi." kataku sambil menunjukkan property berukuran 36B koleksi terbaruku, fresh from the oven.
Wak Haji melongo.
Sementara itu, rencanaku untuk rujuk dengan Sari jadi bubar karena aku disibukkan hobi baru; berburu kain bekas pakai milik si dokter cantik, Caroline.
Comments
Post a Comment