Skip to main content

[4] Bukan Endless Love

Burung Walet dan Sarangnya

Sarang burung apa yang paling mahal saat ini?
Sarang burung walet? atau..
Sarang burung punya kamu?
No comment..​



Kedua anak kecil itu bermain bersama, berlarian lucu ditengah taman yang didominasi hijau dedaunan. Seorang anak laki-laki, juga seorang anak perempuan. Mereka terus saling bergurau, beberapa kali saling mencubit, tertawa bersama. Sepi, taman itu sangat sepi. Hanya ada mereka berdua, dan juga aku.


Eh, a-aku? Kenapa aku berada disini?


Terakhir kali yang aku ingat adalah saat tubuh kurusku terhempas berguling-guling diatas jalanan beraspal yang sedikit basah. Menjadikanku mirip sepotong sosis yang digulung kedalam adonan tepung yang telah mengeras. Sebuah mobil putih, Honda Brio, menabrakku saat aku hendak menepi guna mengenakan jas hujan laknat bergambar Dora The Explorer yang tahun lalu menjadi satu-satunya hadiah ulang tahun darinya, dari Jokoli, kakak kandungku.

Benar-benar kakak yang baik hati, hingga rela menghadiahkan adik kesayangannya ini dengan sesuatu yang kalian mesti bilang wow gitu. Ciyus. Iya, ini ciyus loh.


Back to the topic, lalu dimana ini? Dimana aku saat ini? Kenapa aku berada di taman ini? Bukankah aku seharusnya berada disalah satu bangsal rumah sakit terdekat? Ya, atau kemungkinan terburuk, didalam kamar mayat.


Oke, kita sisihkan opsi terakhir, aku masih belum mau mati, atau memikirkan hal-hal semacam itu, hutangku masih terlalu menumpuk. Hutang ke pedagang bakso, siomay, nasi goreng, sampai-sampai aku juga hutang ke bik Inah, penjual pecel yang seksi bin semok disamping kosanku, atau pak Wakidin, tetangga polisi yang pernah menilangku gara-gara aku berkendara dengan helm terbalik.

Taman ini, terasa sangat asing bagiku, aku belum pernah kesini sebelumnya. Apa ini surga?

Please deh, mana mungkin cowok dengan kadar dosa cukup tinggi sepertiku ini bisa langsung menuju surga. Setidaknya aku harus mencicipi pedih siksa api neraka terlebih dulu.


Anak-anak itu masih saja sibuk berlarian, mereka terlihat begitu bergembira.

Ah, mungkin aku bisa menanyai mereka tentang dimana aku berada saat ini. Baru saja melangkahkan satu kaki kiriku kedepan, sepasang tangan lembut menggenggam lenganku erat-erat, menghentingkan langkahku, seakan menghalangiku untuk menuju kesana. Lembut, sangat lembut, halus, dan juga dingin. Lengan itu terasa sungguh dingin, membuatku merinding engga karuan setelah sentuhannya. Siapa, siapa, lengan siapa.

Aku berusaha menoleh, tapi tidak ada daya untuk itu. Leherku, tidak, tidak hanya leherku, tapi seluruh tubuhku terasa kaku. Seakan membeku setelah menerima sentuhan dingin tangan itu. Meski tubuhku mendadak berubah kaku menjadi seperti patung selamat datang yang siap menyapa para pengendara kendaraan bermotor ketika baru saja melintas melewati gapura pemisah antar kota, lima panca indera milikku masih berfungsi normal.


Aku bisa mendengar gurauan lucu anak-anak kecil yang masih berlarian disana, dibagian tengah taman. Aku bisa melihat mereka dengan jelas, bahkan lebih jelas daripada daya pandangku biasanya.

" Dakochaaan, aku capeekkk.. " sang anak perempuan berhenti mengejar anak laki-laki, peluh keringat mulai membasahi keningnya, nafasnya sedikit tersengal.

" Hahahah, iya, iya, maaf Chusuuu.. " kali ini sang anak laki-laki menghampiri anak perempuan tadi, menemaninya duduk ditengah rumput hijau yang asri.


Tunggu, Dakochan? Bukankah itu nama panggilan yang diberikan Chusnul Alissia padaku. Dan, Chusu? Itu sebutan konyol yang aku berikan padanya sebagai balasan.

Dakochan? Chusu?


Jangan-jangan anak perempuan itu Chusnul? Chusnul Alissia? Dan anak laki-laki itu, aku?

" Eh, a-aku.. "


Bukankah aku berada disini. Bukankah aku ini adalah aku. Lalu kenapa ada aku disana? Kenapa ada aku yang lainnya dalam versi chibi.


Tangan yang sejak tadi menahanku kini mencengkeram lenganku makin erat. Beberapa detik kemudian berpindah tempat, tidak lagi menggenggam lenganku, tapi kini tangan itu mencengkeram erat-erat tititku. Bams Junior mengerang kesakitan, cengkeramannya kian kuat, semakin kuat.

Anehnya, titit kesayanganku itu justru makin menegak, padahal bukan rangsangan kenikmatan yang didapatnya, melainkan rasa sakit, rasa sakit yang begitu menyiksa. Ingin rasanya aku berontak, tetap tidak bisa, tubuhku masih tetap kaku. Nafas dingin terasa menusuk-nusuk leherku. Hembusan nafas dari sosok yang sejak tadi berada dibelakangku, sosok yang terus menyiksa Bams Junior.


Dingin, sangat dingin, hembusan nafasnya terasa terus mendekat. Entah apa tujuannya, jangan-jangan dia ini Vampire, atau Zombie yang bersiap menggigit leherku?

" Jangan cari aku lagi.. " bisiknya, suara seorang wanita, suara yang lirih, seakan menyimpan banyak pedih.

" Jangan cari aku lagi.. " dia mengulangi kata-katanya barusan.

" Selamat tinggal.. "


Hangat, mendadak segala rasa dingin itu musnah seiring dengan berakhirnya ucap pendeknya barusan. Aku kembali memiliki daya untuk bergerak. Dan yang aku lakukan pertama kali adalah mencari sosok itu. Aku menoleh kebelakang, samar-samar tampak sosok perempuan cantik yang sedang tersenyum kearahku. Sosok yang sangat asing. Sosok itu terus memudar, hilang, hilang, terus menghilang, berganti sosok lain yang lebih aku kenal. Dia..


= = = = =​

" Wanda? " tanyaku, sebelah alisku sedikit terangkat.

Mata ini masih menyipit seakan engga mau terbuka, berat, terasa berat, belum terbiasa dengan rangsangan cahaya setelah beberapa saat sebelumnya aku engga sadar diri.


Ga sadar diri? Ah ya, pasti gara-gara tabrakan itu..


" Nga-ngapain kamu pake baju putih-putih ala perawat kayak gitu? "

" Emang lagi ada acara cosplay ya? "

Wanda hanya tersenyum menanggapi rentetan pertanyaan konyol dariku. Pasti, pasti ini masih kelanjutan mimpi panjangku. Aku berharap rentetan kejadian aneh ini semua benar-benar hanya mimpi, begitu juga saat-saat mengerikan pertemuanku dengan Chusnul Alissia imitasi, alias si penjahat kelamin, Chusnul Amiruddin.


Masalahnya, bokongku terasa sedikit nyeri. Jadi sepertinya kejadian itu bukanlah sebuah mimpi.


" Wanda? Bukan mas, aku ini saudara kembarnya Wanda, namaku Windi.. " jawabnya, senyum merekah pada bibir seksinya.

Tunggu-tunggu, ada yang aneh, aku segera berusaha mencerna kata-katanya barusan, " Bukan mas, aku ini saudara kembarnya Wanda, namaku Windi.. ", terus mengulanginya, terus mencoba mencari maknanya. Entah kenapa otakku berjalan sedikit lebih lambat dari biasanya. Efek trauma pasca keperjakaan bokongku direnggut secara paksa sepertinya.


" Eh, Windi? " tanyaku keheranan.

Seingatku, dua kali aku berkunjung kerumah Wanda, sama sekali tidak ada tanda-tanda bahwa dia memiliki saudara kandung, apalagi seorang twins seperti ini.


" Hehehe, iya, Windi Adelina.. Jadi mas ini kenal Wanda ya.. " ucapnya sambil mulai memeriksa tekanan darah dan suhu tubuhku.

" Wanda itu saudara kembar aku mas, orang tua kami bercerai lima tahun yang lalu, Wanda ikut papah, dan aku ikut mamah.. " jelasnya, nada suaranya terdengar manja.

" Wanda kuliah di jurusan teknik arsitektur, aku coba masuk ke akper.. Hihihi.. "


Aku mulai memperhatikan baik-baik sosok perempuan cantik itu. Paras wajahnya memang sama persis dengan Wanda, namun banyak perbedaan yang bisa menjadi pembenaran untuk kata-katanya barusan.

Tubuh perempuan ini lebih berisi ketimbang milik Wanda, membuatnya terlihat lebih seksi menggoda. Payudaranya lebih besar, tinggi badannya juga sedikit diatas Wanda. Rambut keduanya sama-sama panjang, sama-sama lurus, dan sama-sama hitam, namun poni milik Windi lebih panjang, berhias jepit disisi kirinya, aksesoris yang sama sekali tidak pernah dikenakan Wanda.


" Oohhh, iya, iya.. " aku manggut-manggut mengerti, " Maaf mbak, maaf, jadi salah orang, hehehe.. "

" Gapapa mas.. "


Aku memandangi sekitar. Rumah sakit, ya, ini pasti rumah sakit. Dan syukurlah aku tidak berada didalam kamar mayat saat ini. Berarti aku sungguh masih hidup.


Kamar ini berukuran cukup luas. Dominan dengan cat warna putih berhias garis panjang biru muda sebagai pemisah antara sisi dinding yang polos dengan sedikit bagian yang dilapis keramik. Bersih, terlihat jelas ini bukan rumah sakit murahan, dan seingatku rumah sakit ini berjarak lumayan jauh dari seputaran hotel laknat tempat aku mendapat double musibah, diperkosa Chusnul Amiruddin, dan tertabrak. Ada sebuah televisi berukuran layar 40 inchi disalah satu sudut ruangan. Aku bukanlah satu-satunya pesakitan yang berada dalam kamar ini. Ada dua orang lainnya.


" Yang diujung kiri itu Opa Gangga.. " jelas Windi, seakan bisa membaca pikiranku akan rasa penasaran pada pasien lainnya didalam ruangan ini.

" Bapak tua itu udah ada disini sejak seminggu yang lalu.. " tambahnya, " Beberapa ototnya sobek.. "

" Eh, sobek? " tanyaku.

" Iya, gara-gara dia ngefans berat sama PSY, penyanyi cowok korea yang rada gedut itu.. "

" Trus apa hubungannya? "

" Nah, itu dia masalahnya, Opa Gangga pingin bisa jago joget Gangnam Style.. " Windi menatap iba pada sosok pria paruh baya yang sedang ditemani oleh dua orang remaja laki-laki berdandan ala boyband Korea itu, " Dia berlatih cukup keras, nyaris lebih dari sepuluh jam setiap hari.. "

Ada juga kasus seperti itu ternyata. Kakeknya fans berat PSY, cucunya pun rasanya juga sesama K-Pop addict, lucu..


" Kemudian yang ditengah ini Budhe Marinem.. " Windi kembali melanjutkan penjelasannya.

" Kali ini kasusnya apa? " selorohku.

" Rahangnya.. " jawab Windi, " Dia terobsesi sama musik rap, Eminem lovers.. "

" Kebanyakan latihan nge-rap? "

" Ho'oh.. "

Oke, jadi mereka ini dua manusia yang sama-sama cedera gara-gara ulah konyol mereka sendiri..


" Dan yang disini ini kakek Bambang.. " ledek Windi sambil mentowel pipiku genit, " Penggemar berat Dora the Explorer.. "

" Mas udah boleh pulang hari ini. Sebenernya sih masnya ini cuma luka ringan, cuma sama penabraknya mas malah dibawa kesini. Semua biaya rumah sakit udah dibayarin seratus persen sama dia mas.. " papar Windi, " Jadi ijin buat mas pulang tinggal nunggu mas sadar aja kok.. "


" E-eh, gitu ya? "

" Iyaaa mas.. "


" Ummm, yang nabrak aku, siapa Win? Kenapa dia ga mau nunggu aku sadar dulu? Emang aku pingsan berapa lama? " aku mencoba mencari tau kebenaran dari beberapa hal yang sejak tadi mengganjalku.

" Cuman pingsan selama beberapa jam aja kok, mungkin sekitar empat jam.. "

" Yang nabrak mas ini seorang perempuan, cantik lho mas perempuan itu.. Tapi, dia minta pihak rumah sakit ngerahasiain identitasnya.. "

" Mas mau mandi sekarang? Nanti Windi bantu, tangan masnya pasti masih sakit.. "


Sebelum mengiyakan tawaran menggiurkan dari Windi barusan, aku mencoba menggerakkan sepasang tangan dan kakiku, memang masih terasa sangat sakit. Aku mengangguk, aku menerima tawarannya. Bukankah seharusnya ada perawat laki-laki yang biasa mendapat jatah tugas untuk ini? Aku tidak perduli, aku trauma berurusan dengan pejantan, apalagi untuk urusan-urusan krusial seperti ini.


" Dibantuin apa nanti sama kamu? Suster? " tanyaku memastikan.

" Jangan dipanggil suster, cukup Windi aja mas. Nanti aku mandiin, tapi, ssstt, jangan bilang siapa-siapa ya.. " bisikknya, yang langsung aku iyakan dengan menutup bibirku rapat-rapat.

" Sebenernya engga boleh, tapi ini pengecualian buat kamu. Mas mau ga? Atau Windi panggil perawat cowok aja? "

Aku menggeleng keras.


Windi menuntunku dengan telaten, pelan-pelan menuju kedalam satu-satunya kamar mandi yang berada didalam kamar. Kebetulan kamar mandi itu berada tepat disebelah ranjangku, hingga kami tidak perlu berjalan terlalu jauh. Sementara Opa Gangga dan Budhe Marinem, serta pembesuk mereka, masih asik menikmati tayangan pencarian bakat penyanyi cilik di televisi yang berada di ujung satunya, mereka tidak sempat melihat kami memasuki kamar mandi.

Setibanya didalam kamar mandi yang ukurannya dua kali lebih besar dari kamar mandi kosanku itu, Windi segera mengunci pintu. Dia mengenakan seragam putih-putih khas perawat. Jangan mengahrap kostum perawat yang berlebihan seperti pada sesi pemotretan Gravure Idol di Jepang, Windi hanya mengenakan seragam kemeja putih berlengan panjang plus celana panjang berbahan kain dengan warna serupa. Sederhana, namun cukup menggoda karena pakaian yang dikenakan Windi sangatlah ketat. Membuat lekuk tubuhnya terekspos jelas.


" Hey mas, tau ga, kalo anak kembar itu selalu punya feeling yang kuat satu sama yang lainnya.. "

" Eh? "

" Aku ngerasa kalo mas ini punya hubungan khusus sama Wanda.. " ujarnya, " Dan mas udah pernah ngelakuin itu sama Wanda kan? "

Aku mengangguk pelan, kaget setengah mati kala mendengar itu semua, bagaimana dia bisa tau? Ternyata memang sepasang anak kembar bisa saling mengerti hingga titik yang tidak dapat dijelaskan oleh nalar manusia sekalipun.


Windi menyisingkan lengan bajunya, menyingkap celana panjangnya, kemudian berjalan mendekatiku. Dia menatapku sayu, berusaha menggodaku dengan wajah cantiknya.

" Kalo gitu, lakuin itu juga sama aku mas.. " pintanya, " Aku pingin ngerasain yang pernah Wanda rasain juga.. "

Belum aku menjawab, Windi langsung menyergap bibirku, menciuminya dengan lair. Bibir kotor ini, bibir yang sama dengan bibir yang pernah diciumi oleh seorang Chusnul Amiruddin, bibir yang juga pernah merasakan bibir saudari kembarnya, Wanda, sahabat ibu kandungku, tante Linda, juga beberapa perempuan lainnya.


" Emmmhh.. "

Aku mulai membalas ciumannya, meremas-remas payudaranya yang lebih besar dibanding milik Wanda dari balik seragam perawatnya. Kenyal, terasa sangat kenyal. Membuatku teringat payudara imitasi milik Chusnul Amiruddin. Ingatan itu menggerakkan tanganku untuk berselancar menuju kebagian bawah tubuh wanda. Aku melepas pengait celananya, menurunkan risletingnya, kemudian sedikit memelorotkan celana panjang putih yang dikenakannya.

Tangan kananku menyusup kedalam celana dalamnya, mencari-cari sesuatu disana yang bisa melegakan pikiranku saat ini. Rambut-rambut halus, tidak banyak, dan celah, sebuah celah sempit, akhirnya aku menemukannya. Celah itu mulai membasah, cairan kewanitaannya mulai membasahi bagian sensitifnya itu.

Lega, aku benar-benar lega dengan keberadaan vagina sempit disana.


Bibir kami masih saling berpagutan, saling mengulum. Rasa ciuman ini sebenarnya tidak jauh berbeda dengan ciuman yang diberikan oleh Chusnul Amiruddin sebelum tabrakan tadi mengantarku kesini, namun jelas memiliki sensasi yang berbeda, karena pasangan ciumanku kali ini benar-benar seorang perempuan tulen. Aku bisa menjaminnya, karena kini jari-jemari tangan kananku yang masih sedikit terasa nyeri terus bergerilya disana, dibagian paling sensitif Windi. Menggosok-gosoknya pelan, beberapa kali menyusup, mencari clitorisnya, menggerak-gerakkan jari tengahku disana.

" Ummmhh, en-enak mas.. I-iya bener, disitu, di-situ te-terus.. " Windi mulai meneracau.


Bams Junior pun mulai bereaksi, mulai menegak. Kini tangan kiriku berusaha membuka kancing kemeja yang dikenakan Windi. Sementara tangan kananku memelorot celana dalam pink berenda yang dikenakannya.


Tempat ini adalah tempat umum, rumah sakit. Aku harus cepat-cepat melakukannya, seks kilat. Gapapa kan, asal bisa memuaskan hasrat bercinta yang sebelumnya gagal total akibat ulah Chusnul Amruddin sialan. Iya, harus cepat, sebelum orang-orang mulai menyadari keberadaan kami disini, sebelum ada orang yang..

Dok.. Dokk... Dokkk....

Mengetuk pintu..


" Windiii, cepetan keluar!!! " seseorang berteriak dari luar setelah beberapa kali mengetuk pintu kamar mandi.

" Iyaaa kak Len.. Sebentar, udah mau selesai kok, aku ngebantuin pasien cuci muka. Tadi ada kecoa disini, hiiiyyyyy... " bohong Windi, dia merapikan kembali pakaiannya yang sedikit acak-acakan akibat ulahku.


" Aduh mas, sorry.. " bisik Windi, " Dia ini senior dikampus, kak Leny Santania. pasti nyari aku gara-gara kelamaan disini, orangnya galak mas.. "

" Lain kali dilanjut ya.. "

" I-iya.. " jawabku pasrah, langsung diikuti gerakan Bams Junior yang menunduk lesu.


= = = = =​

Hingga kini aku masih bertanya-tanya siapakah sosok bidadari yang menabrakku tempo hari. Meski hanya sekilas menatap wajahnya saat itu, aku masih bisa jelas mengingatnya hingga detik ini. Cantik, sangat cantik. Jauh melebihi kecantikan si kembar Wanda dan Windi, tante Linda, customer service hotel sialan, Anin, atau perempuan lain yang pernah aku kenal selama ini.

Kenapa dia tidak meminta maaf padaku? Kenapa dia tidak berani menemuiku? Kenapa dia meminta pihak rumah sakit untuk merahasiakan identitasnya?

Dan anehnya, dia telah membayar lunas seluruh biaya rumah sakit. Mungkin dia takut aku menuntut lebih banyak kepadanya. Iya, mungkin saja. Atau jangan-jangan dia penabrak berbikini yang kini terjebak didalam satu ruangan kecil penuh polisi-polisi mupeng? Engga, engga, engga mungkin, seingatku dia berpakaian lengkap kok.


" Mbeeeng semangaaat!!! " teriak Wanda dari pinggir lapangan, membuyarkan segala lamunanku.


Hari ini ada pertandingan penting untuk team futsal kampus, sebuah partai final. Iya, final kejuaraan futsal tingkat mahasiswa se-Surabaya, dimana aku menjadi penjaga gawang utama di team kampusku. Kami harus berhadapan dengan team juara bertahan, yang kebetulan adalah team futsal dari kampus tempat kakak kandungku, Jokoli, mengambil studi yang sama denganku. Kami memang sama-sama memutuskan untuk menjadi mahasiswa Teknik Arsitektur. Berusaha merintis jalan menjadi duo racun, eh, duo Soekawi, yang memiliki bisnis konstruktor raksasa di Surabaya, meski mengawalinya dari kampus yang berbeda.


Aku harus berhenti memikirkan perempuan cantik pengendara Honda Brio yang menabrakku. Setidaknya untuk sementara waktu sampai pertandingan ini selesai.


Wuuussssshhh..

Pemain nomor sepuluh team kampus Jokoli melakukan sepakan kearah gawang, aku beringsut melompat, berusaha untuk menepisnya. Bereaksi seperti kiper ganteng Pescara, Mattia Perin, saat melakukan penyelamat gemilang, dan..


Krakkk..

Sepakan pemain yang paling banyak mendapat support perempuan-perempuan disekitar lapangan itu membentur mistar gawang. Luar biasa, sejak tadi penampilannya sangat gemilang. Berbanding terbalik dengan kakakku yang harus puas duduk di bench pemain cadangan. Jokoli memang tidak terlalu hebat dalam sepakbola, namun dia memiliki lari yang sangat kencang, satu-satunya kelebihan yang bisa diandalkannya.


Bukan tanpa alasan, karena sejak kecil dia selalu menjadi target utama Hugo, anjing Chihuahua mini berotak mesum milik tetangga kami yang gemar menjilati titit anak-anak kecil disekitaran daerah kekuasaannya. Kecepatan berlari Jokoli didapatnya dari aksi kejar-mengejarnya dengan Hugo setiap kali dia berangkat dan pulang dari sekolah.

Entah kenapa nasibnya sungguh sangat malang, bahkan sejak kecil. Kemalangan yang membawa berkah, karena kecepatan lari Jokoli kini bisa disetarakan dengan pelari pemecah rekor, Usain Bolt.

Iya, jika Usain berlari mengenakan sepatu hak tinggi.


" Ve-ra-no, Ve-ra-no, Ve-ra-no.. "

Teriakan suporter team Jokoli kian menggila setelah aksi luar biasa Verano barusan, dialah sang pemain bernomor punggung sepuluh dari team lawan, team Jokoli. Seseorang yang paling banyak mendapat atensi para penonton, termasuk suporter kami sendiri. Khususnya para kaum hawa yang dibuatnya terus memekik histeris meneriakkan namanya. Ada yang berjingkat-jingkat kegirangan, menari-nari asal-asalan, hingga ada juga yang membawa boneka voodoo bertuliskan Verano untuk kemudian menusuk-nusuknya dengan jarum tepat dibagian dada boneka itu.

Hadeeeh, udah tahun 2013 masih juga percaya hal-hal begituan..


Dari salah satu tribun yang berseberangan dengan tempat duduk Wanda, ada seorang mahasiswi cantik yang terus mengamatinya, Ribka, dia pasti Ribka Stefanie, perempuan yang menolak cinta Jokoli mentah-mentah. Perempuan cantik bertubuh mungil dengan payudara ukuran ekstra yang sering diceritakan olehnya.

Verano kembali menguasai bola. Satu, dua, tiga pemain sukses dilewatinya. Kini dia tinggal berhadapan dengan Dimas, dan aku. Dengan beberapa gerakan, dia sukses mengecoh Dimas, melakukan sepakan keras lagi, dan..


Brakkk..

Tubuhku terlempar masuk kedalam gawang. Sakit, sakit, sangat sakit. Bola hasil sepakan kerasnya itu malah mengenai kepalaku. Aku kurang fokus kali ini, terlalu banyak yang aku pikirkan, ditambah lagi penonton-penonton cantik disekitar lapangan yang terus menggoda hasrat Bams Junior. Untungnya, bola belum melewati garis gawang, Dimas segera melakukan clearance, penyelamatan bersih, tepat beberapa detik sebelum Verano tiba untuk menyambar bola.

Selamat, gawang kami selamat dari kebobolan. Penonton kian riuh, kali ini meneriakkan nama Dimas keras-keras. Dan aku masih terjebak disini, terjerat jala gawang. Mirip ikan tongkol engga berdaya saat tertangkap jaring-jaring pengais nafkah milik para nelayan.


Wuuussssshhh..

Belum juga bangkit, Verano kembali menerima bola dan segera melepaskan sepakan keras kearah gawang. Sepakan keras yang sekarang berkekuatan dua kali lipat lebih powerfull dibanding sepakan yang tadi mengenai kepalaku. Meluncur deras kearah gawang, sukses melewati hadangan Dimas dan pemain lain dari team kami. Terus melaju, melaju makin mendekati gawang kami.


" Astaga.. " ujarku lirih, pasrah, saat bola itu terus menerjang kearahku, lebih tepatnya kearah..

Tititku!!!!!


Iya, benar-benar kearah Bams Junior!!!


Aku berusaha melepaskan diri dari jeratan jala gawang, namun lengan dan kakiku masih tersangkut. Sementara mataku sedikit berkunang-kunang, kepalaku pun sedikit terasa pusing akibat efek sepakan pertama tadi. Tidak bisa, aku tidak bisa menghindarinya. Laju bola yang deras itu bersiap menghantam K.O Bams Junior.

" Kenapa, kenapa, oooh kenapa.. "

" Kenapa aku terus mendapat nasib malang seperti ini.. "


" Aaarrrgggghhhhh!!! "


" Emmaaakk tolllooonnnnnggg!!!!! "



Bersambung...

Comments

Popular posts from this blog

Pertukaran dua sahabat

Aku irwansyah, salah seorang artis yang cukup terkenal di ibukota, beberapa judul film telah aku bintangi, aku bersahabat baik dengan raffi ahmad yang juga seorang artis popular di negeri ini, aku sudah menikah dengan zaskia sungkar namun rumah tangga kami belum di karunia anak, sedangkan sahabatku raffi ahmad juga telah menikah dengan nagita slavina dan telah memiliki seorang putra.

(Bonus Part 2) Pesta di Akhir Pekan

Bonus Chapter: Eksekusi Dinda (Part 2: Main Course) Dinda Fitriani Anjani kecil yang masih duduk di bangku SMP terbangun menjelang tengah malam. Tadi siang dia bekerja keras menjadi pagar ayu di pernikahan kakak perempuannya, dan juga membantu keluarganya di resepsi ala rumahan yang tanpa EO dan berlangsung sampai sore. Sehingga selepas maghrib Dinda tidur begitu saja setelah membersihkan make-up dan berganti baju. Terlewat makan malam, gadis cilik itu sekarang bangun dengan perut lapar.

(Episode 11) Pesta di Akhir Pekan : Akhir Dari Akhir Pekan

“Hayu atuh kalo mau diterusin…” “Pindah aja yuk, jangan di sini” saran Asep sambil berdiri “Lho, kenapa emangnya?” “Yah, biar tenang aja hehe” Dinda akhirnya ikut berdiri menuruti saran Asep. Sebenarnya tujuan Asep biar yang lain tidak ada yang mengganggu mereka. Percuma dong sudah susah payah membuat Irma tepar dalam gelombang birahi kalau tiba-tiba ada yang lain ikut nimbrung. “Kita nyari kamar aja yuk” Asep memegang tangan Dinda dan mulai berjalan menjauhi yang lain “Di kamar atas aja yuk, kasurnya gede sama pemandangannya bagus” usul Dinda “Wah boleh juga tuh”