Memori Masa Kecil
Bahkan,
sejak masih bayi manusia udah terbiasa dengan hal-hal yang berbau porno,
ga percaya?
Silahkan dibaca deh..
Bayi itu kini telah berusia genap setahun. Lucu, sangat lucu. Pipinya tembem, matanya lebar, senyumnya begitu menggemaskan. Dia dikelilingi oleh empat ibu-ibu muda yang terlihat serius memperhatikannya. Gerak gerik konyol sang bayi mampu memecah tawa diantara para karyawati bank swasta itu.
" Iyyhhh.. Lutuunaaa... " pekik salah seorang diantara mereka, ibu-ibu satu, alias Marini. Dia yang bertubuh paling tambun diantara mereka.
" Iya ihhh, lucuuu, lucuuu, lucu bangeeet... " kali ini ibu-ibu dua yang bernama Susan ikut memberi pujian pada bayi yang sesungguhnya sama sekali engga perduli dengan berbagai lontaran puja-puji mereka.
" Lucu ya? Lucu ya? Anak siapa dulu dooong.. " ibu-ibu tiga mulai berbangga diri, dia itu Hamidah, ibu kandung sang bayi.
" Iya, lucu... " ibu-ibu empat angkat bicara, " Udah chubby, ganteng, putih, tititnya imut pula.. "
" . . . . . . . "
Mendadak seisi ruangan hening mendengar kata-katanya.
Sedangkan sang bayi masih tetap menggeliat diatas ranjangnya yang mungil dan nyaman sambil senyam-senyum ga jelas. Sesekali menggaruk-garuk titit kecilnya yang tidak tertutup celana, karena memang sekarang adalah jatah si bayi untuk ganti popok.
" Ups.. " ibu-ibu empat menutup mulutnya, menyadari bahwa kata-katanya barusan terlalu tidak senonoh untuk diperdengarkan disana.
" Ma-maksud aku itu, hi-hidungnya.. " ujarnya buru-buru meralat salah kata nya, " Iya, iya.. Hi-hidungnya, i-imut.. "
= = = = =
Ahhh ya, itu tadi sedikit cerita masa kecilku. Ngomong-ngomong soal masa kecil, selain kejadian konyol yang pernah diceritakan oleh ibuku itu, aku pernah mendapat pengalaman konyol lainnya. Kali ini berhubungan dengan anak kecil lain yang berjenis kelamin beda denganku. Aku masih mengingat jelas namanya, Chusnul Alissia.
Sosok anak perempuan yang dulu sangat dekat denganku, dimana ada dirinya, disitu juga ada aku. Chusnul, yang seumuran denganku, sangat lucu, dia adalah anak perempuan paling cantik di kampung. Rumahnya berada tepat berhadapan dengan rumahku. Setiap hari aku selalu bermain dengannya. Mulai dari main barbie, main teddy bear, bola bekel, dakon, atau mainan-mainan anak perempuan lainnya.
Dafuq...
Kami juga beberapa kali mandi bersama-sama. Dia melihat titit imut ku, dan aku melihat semua onderdil dalam nya.
Suatu hari, saat melihat tetangga kami menikah, aku langsung mengajaknya melakukan hal yang sama.
" Chusu (begitu aku memanggilnya saat kecil), nantiii kalo udah gede Chusu mau gaaa nikah ama akuuu.. " ujarku saat itu.
" Iya, tentu mauuu dong Dakochan (begitu dia memanggilku saat kecil karena kelihaianku bermain dakon).. " jawabnya polos.
Sayangnya janji itu mulai digerogoti oleh jurang pemisah bernama waktu, saat ini aku sama sekali engga tau dimana Chusnul Alissia berada.
Sejak usia lima tahun, Chusu pindah ke Makassar. Dan sejak saat itu pula aku sama sekali tidak pernah bertemu dengannya.
Hingga saat ini.
Berkali-kali aku memasukkan keyword berupa Chusnul Alissia di berbagai situs jejaring sosial, berkali-kali pula aku menemukan kegagalan. Tidak ada nama yang cocok. Mungkin saja dia menamai akun jejaring sosialnya dengan nama-nama alay yang saat ini sedang beken.
Bisa jadi Siichusnulmiripalyssasoebandonotralala, atau malah Chusnuladypunkdoyanmakangaram?
Who knows?
Tapi aku masih memegang janjiku dengannya, janji yang saat itu aku ikrarkan, untuk bisa menikahinya disaat kami telah beranjak dewasa kelak. Itulah alasan kenapa hingga kini aku sama sekali belum mencicipi nikmat berpacaran. Hubungan istimewa yang aku jalin dengan para betina hanya mampu bertahan sampai predikat TTM, alias Teman Tapi Mesum.
Masa kecilku memang sungguh menyenangkan. Masa kecil yang sangat bersinar. Masa kecil sebagai bayi primadona di kampung. Bayi yang punya banyak penggemar. Dan aku yakin, bahkan Morgan Smash saat bayi pun masih jauh kalah imut dibanding masa-masa bayi ku.
Masa kecil yang telah lama berlalu, telah lama memudar.
Sama memudarnya seperti wajahku saat ini.
Surabaya siang ini sangat panas. Terik matahari terus menyiksaku, juga menjadikan wajah berminyakku makin engga enak diliat. Hari ini hari terakhir ospek. Hari yang menjadi jembatan bagiku, juga mahasiswa baru lainnya, untuk mulai belajar di kampus ini. Kami masih berbaris rapi ditengah lapangan, dengan ditemani senior-senior sok galak yang terus menatap tajam kearah kami di beberapa titik.
Tugas utama kami siang ini adalah berbaris rapi ala upacara bendera di Istana Negara, sambil mendengar petuah membosankan dari beberapa dosen. Acara yang hanya dijadwalkan berlangsung selama satu jam, namun sudah benar-benar menyiksa kami di menit yang baru memasuki angka empat puluh lima ini.
Untungnya, diantara para senior berwajah disturbing yang mengelilingi kami, ada seorang senior cewek berparas super mempesona. Dialah kak Wanda Adelia. Dia pembimbing kelompok kami, kelompok Serigala, jurusan Teknik Arsitektur. Karena bertugas membimbing kelompok kami, maka kak Wanda pun harus berbaris tepat disamping barisan kami.
Mengutip kata singkat yang biasa diumbar oleh para personil girlband Cherrybelle, sosok Wanda Adelia memang benar-benar istimewa. Mirip sebilah swiss army knife yang komplit dan multifungsi. Saat ini dia berdiri tegak dalam posisi istirahat ditempat, payudaranya berukuran sekitar 36-an, pastinya berapa, jelas aku sama sekali engga tau. Maklum, aku bukanlah pedagang beha. Dengan posisi berdirinya yang begitu tegak, payudara mancung itu terus menantang setiap pejantan yang sempat menemukannya.
Sama seperti para senior galak lainnya, Wanda mengenakan almamater warna merah marum kebanggaan kampus. Dia memadukannya dengan polo shirt warna putih didalam. Tubuh Wanda memiliki tinggi sekitar 170 cm, modal yang bagus, dengan lekuk yang menyerupai gitar Spanyol. So sexy. Dan body-nya yang aduhai itu pun masih disempurnakan oleh wajah oval yang ekstra cantik, bulu mata lentik, serta bibir tipis yang terlihat begitu enak saat dicipok.
Brukkk...
Mendadak, Dimas Herdiono, salah seorang mahasiswa baru lainnya yang masih berada dalam satu kelompok denganku terjatuh. Posisi berdirinya yang berada tepat didepanku membuatku tersentak kaget. Cowok bertubuh kurus ini langsung ambruk mencium paving. Jelas bukan hal yang mengenakkan baginya, mencium kak Wanda pasti lebih nikmat.
Untungnya dia sedang dalam kondisi tidak sadarkan diri saat ini. Berarti dia tidak perlu merasakan secara langsung bagaimana rasa sakit yang muncul akibat mencium paving dengan keras seperti itu.
Tunggu, tunggu, dia engga sadar?
Apa ada seorang sniper yang baru saja menembak kepalanya?
Aku segera memicingkan mata, berusaha melawan cahaya matahari yang memberi efek silau tidak mengenakkan pada pandanganku. Aku harus segera menemukannya, sang penembak, sebelum dia kembali mengirim peluru kedua untuk menyerang kami.
Menyerang kami? Atau jangan-jangan sniper itu mengincarku?
Gawat.
Pasti gara-gara mobil bekas yang kemarin dibelikan ayahku. Sebuah Toyota Corolla tahun 1996 warna hitam. Pasti mobil itu adalah salah satu dari sekian banyak Autobots yang telah mendiami bumi. Berarti penyerang Dimas tadi adalah..
Decepticons...
Plakkk...
Sebuah pukulan keras mendarat di pundak ku, menyadarkanku dari segala lamunan konyol yang baru saja melintas dalam isi kepala ku. Transformers, yah, itu kan hanya judul film yang tadi malam baru saja aku lihat untuk kesekian kali nya. Film yang aku gemari sejak kecil.
" Bambang, ada temennya pingsan kok malah ngelamun.. " ujar kak Wanda, dia tampak khawatir.
Ah ya, lupa..
Namaku adalah Bambang Lesus Soekawi, adik kandung dari Joko Lindu Soekawi alias Jokoli yang legendaris itu (yang pernah baca Dodekatheon pasti tau). Jika kakakku itu adalah produk gagal yang bahkan produsennya pun tidak mau menerima barang retur-nya, maka aku sebaliknya. Seorang Bambang memiliki wajah yang cukup tampan, kulit putih bersih, dan postur tubuh proporsional.
Nama panggilanku adalah Bams. Terinspirasi dari vokalis band Samson yang juga bernama asli Bambang. Nama panggilan itu aku deklarasikan se-segara-mungkin untuk mencegah makin beranak-pinak-nya nama panggilan konyol yang bisa melekat dalam diriku.
" Eh.. "
" Ayo cepetan diberdiriin, trus dibopong ke ruang kesehatan.. " perintahnya.
Herannya, anak-anak lain sama sekali engga perduli dengan kondisi kami bertiga yang kebingungan. Mungkin Decepticons telah mengancam mereka agar tidak membantu kami.
" Eh, i-iya kak.. " jawabku, dengan segera aku membantu Dimas untuk berdiri. Berlagak seperti Kamen Rider yang selalu tampil heroik.
" Bawa nya gimana kak? " tanyaku kemudian.
Kak Wanda langsung celingukan mencari bala bantuan. Salah seorang senior lain bernama Ari menghampiri kami.
" Tandu nya, masih dibawa kelompok Lebah, tadi ada yang pingsan juga.. " ujarnya, benar-benar mengetahui kesulitan kami, " Kamu gendong aja Mbeng (lihat kan, salah satu panggilan konyol yang diciptakan oleh senior kampret se-enak jidat), taroh di punggung kamu, sini aku bantuin.. "
" Oke, gagasan yang sungguh super jenius, membuatku terlihat konyol seperti maho-man sebentar lagi.. "
Mulai saat itu aku kian akrab dengan Wanda, dan juga dengan Dimas. Keberadaan mereka berdua sangat membantu masa-masa awal kuliahku. Wanda sebagai senior sekaligus TTM ku yang baru, sedangkan Dimas adalah sahabat terbaik yang aku punya di kampus. Sedangkan sang pemberi ide konyol, Ari, tetap menjadi manusia paling menyebalkan disana.
Bersambung...
Bahkan,
sejak masih bayi manusia udah terbiasa dengan hal-hal yang berbau porno,
ga percaya?
Silahkan dibaca deh..
Bayi itu kini telah berusia genap setahun. Lucu, sangat lucu. Pipinya tembem, matanya lebar, senyumnya begitu menggemaskan. Dia dikelilingi oleh empat ibu-ibu muda yang terlihat serius memperhatikannya. Gerak gerik konyol sang bayi mampu memecah tawa diantara para karyawati bank swasta itu.
" Iyyhhh.. Lutuunaaa... " pekik salah seorang diantara mereka, ibu-ibu satu, alias Marini. Dia yang bertubuh paling tambun diantara mereka.
" Iya ihhh, lucuuu, lucuuu, lucu bangeeet... " kali ini ibu-ibu dua yang bernama Susan ikut memberi pujian pada bayi yang sesungguhnya sama sekali engga perduli dengan berbagai lontaran puja-puji mereka.
" Lucu ya? Lucu ya? Anak siapa dulu dooong.. " ibu-ibu tiga mulai berbangga diri, dia itu Hamidah, ibu kandung sang bayi.
" Iya, lucu... " ibu-ibu empat angkat bicara, " Udah chubby, ganteng, putih, tititnya imut pula.. "
" . . . . . . . "
Mendadak seisi ruangan hening mendengar kata-katanya.
Sedangkan sang bayi masih tetap menggeliat diatas ranjangnya yang mungil dan nyaman sambil senyam-senyum ga jelas. Sesekali menggaruk-garuk titit kecilnya yang tidak tertutup celana, karena memang sekarang adalah jatah si bayi untuk ganti popok.
" Ups.. " ibu-ibu empat menutup mulutnya, menyadari bahwa kata-katanya barusan terlalu tidak senonoh untuk diperdengarkan disana.
" Ma-maksud aku itu, hi-hidungnya.. " ujarnya buru-buru meralat salah kata nya, " Iya, iya.. Hi-hidungnya, i-imut.. "
= = = = =
Ahhh ya, itu tadi sedikit cerita masa kecilku. Ngomong-ngomong soal masa kecil, selain kejadian konyol yang pernah diceritakan oleh ibuku itu, aku pernah mendapat pengalaman konyol lainnya. Kali ini berhubungan dengan anak kecil lain yang berjenis kelamin beda denganku. Aku masih mengingat jelas namanya, Chusnul Alissia.
Sosok anak perempuan yang dulu sangat dekat denganku, dimana ada dirinya, disitu juga ada aku. Chusnul, yang seumuran denganku, sangat lucu, dia adalah anak perempuan paling cantik di kampung. Rumahnya berada tepat berhadapan dengan rumahku. Setiap hari aku selalu bermain dengannya. Mulai dari main barbie, main teddy bear, bola bekel, dakon, atau mainan-mainan anak perempuan lainnya.
Dafuq...
Kami juga beberapa kali mandi bersama-sama. Dia melihat titit imut ku, dan aku melihat semua onderdil dalam nya.
Suatu hari, saat melihat tetangga kami menikah, aku langsung mengajaknya melakukan hal yang sama.
" Chusu (begitu aku memanggilnya saat kecil), nantiii kalo udah gede Chusu mau gaaa nikah ama akuuu.. " ujarku saat itu.
" Iya, tentu mauuu dong Dakochan (begitu dia memanggilku saat kecil karena kelihaianku bermain dakon).. " jawabnya polos.
Sayangnya janji itu mulai digerogoti oleh jurang pemisah bernama waktu, saat ini aku sama sekali engga tau dimana Chusnul Alissia berada.
Sejak usia lima tahun, Chusu pindah ke Makassar. Dan sejak saat itu pula aku sama sekali tidak pernah bertemu dengannya.
Hingga saat ini.
Berkali-kali aku memasukkan keyword berupa Chusnul Alissia di berbagai situs jejaring sosial, berkali-kali pula aku menemukan kegagalan. Tidak ada nama yang cocok. Mungkin saja dia menamai akun jejaring sosialnya dengan nama-nama alay yang saat ini sedang beken.
Bisa jadi Siichusnulmiripalyssasoebandonotralala, atau malah Chusnuladypunkdoyanmakangaram?
Who knows?
Tapi aku masih memegang janjiku dengannya, janji yang saat itu aku ikrarkan, untuk bisa menikahinya disaat kami telah beranjak dewasa kelak. Itulah alasan kenapa hingga kini aku sama sekali belum mencicipi nikmat berpacaran. Hubungan istimewa yang aku jalin dengan para betina hanya mampu bertahan sampai predikat TTM, alias Teman Tapi Mesum.
Masa kecilku memang sungguh menyenangkan. Masa kecil yang sangat bersinar. Masa kecil sebagai bayi primadona di kampung. Bayi yang punya banyak penggemar. Dan aku yakin, bahkan Morgan Smash saat bayi pun masih jauh kalah imut dibanding masa-masa bayi ku.
Masa kecil yang telah lama berlalu, telah lama memudar.
Sama memudarnya seperti wajahku saat ini.
Surabaya siang ini sangat panas. Terik matahari terus menyiksaku, juga menjadikan wajah berminyakku makin engga enak diliat. Hari ini hari terakhir ospek. Hari yang menjadi jembatan bagiku, juga mahasiswa baru lainnya, untuk mulai belajar di kampus ini. Kami masih berbaris rapi ditengah lapangan, dengan ditemani senior-senior sok galak yang terus menatap tajam kearah kami di beberapa titik.
Tugas utama kami siang ini adalah berbaris rapi ala upacara bendera di Istana Negara, sambil mendengar petuah membosankan dari beberapa dosen. Acara yang hanya dijadwalkan berlangsung selama satu jam, namun sudah benar-benar menyiksa kami di menit yang baru memasuki angka empat puluh lima ini.
Untungnya, diantara para senior berwajah disturbing yang mengelilingi kami, ada seorang senior cewek berparas super mempesona. Dialah kak Wanda Adelia. Dia pembimbing kelompok kami, kelompok Serigala, jurusan Teknik Arsitektur. Karena bertugas membimbing kelompok kami, maka kak Wanda pun harus berbaris tepat disamping barisan kami.
Mengutip kata singkat yang biasa diumbar oleh para personil girlband Cherrybelle, sosok Wanda Adelia memang benar-benar istimewa. Mirip sebilah swiss army knife yang komplit dan multifungsi. Saat ini dia berdiri tegak dalam posisi istirahat ditempat, payudaranya berukuran sekitar 36-an, pastinya berapa, jelas aku sama sekali engga tau. Maklum, aku bukanlah pedagang beha. Dengan posisi berdirinya yang begitu tegak, payudara mancung itu terus menantang setiap pejantan yang sempat menemukannya.
Sama seperti para senior galak lainnya, Wanda mengenakan almamater warna merah marum kebanggaan kampus. Dia memadukannya dengan polo shirt warna putih didalam. Tubuh Wanda memiliki tinggi sekitar 170 cm, modal yang bagus, dengan lekuk yang menyerupai gitar Spanyol. So sexy. Dan body-nya yang aduhai itu pun masih disempurnakan oleh wajah oval yang ekstra cantik, bulu mata lentik, serta bibir tipis yang terlihat begitu enak saat dicipok.
Brukkk...
Mendadak, Dimas Herdiono, salah seorang mahasiswa baru lainnya yang masih berada dalam satu kelompok denganku terjatuh. Posisi berdirinya yang berada tepat didepanku membuatku tersentak kaget. Cowok bertubuh kurus ini langsung ambruk mencium paving. Jelas bukan hal yang mengenakkan baginya, mencium kak Wanda pasti lebih nikmat.
Untungnya dia sedang dalam kondisi tidak sadarkan diri saat ini. Berarti dia tidak perlu merasakan secara langsung bagaimana rasa sakit yang muncul akibat mencium paving dengan keras seperti itu.
Tunggu, tunggu, dia engga sadar?
Apa ada seorang sniper yang baru saja menembak kepalanya?
Aku segera memicingkan mata, berusaha melawan cahaya matahari yang memberi efek silau tidak mengenakkan pada pandanganku. Aku harus segera menemukannya, sang penembak, sebelum dia kembali mengirim peluru kedua untuk menyerang kami.
Menyerang kami? Atau jangan-jangan sniper itu mengincarku?
Gawat.
Pasti gara-gara mobil bekas yang kemarin dibelikan ayahku. Sebuah Toyota Corolla tahun 1996 warna hitam. Pasti mobil itu adalah salah satu dari sekian banyak Autobots yang telah mendiami bumi. Berarti penyerang Dimas tadi adalah..
Decepticons...
Plakkk...
Sebuah pukulan keras mendarat di pundak ku, menyadarkanku dari segala lamunan konyol yang baru saja melintas dalam isi kepala ku. Transformers, yah, itu kan hanya judul film yang tadi malam baru saja aku lihat untuk kesekian kali nya. Film yang aku gemari sejak kecil.
" Bambang, ada temennya pingsan kok malah ngelamun.. " ujar kak Wanda, dia tampak khawatir.
Ah ya, lupa..
Namaku adalah Bambang Lesus Soekawi, adik kandung dari Joko Lindu Soekawi alias Jokoli yang legendaris itu (yang pernah baca Dodekatheon pasti tau). Jika kakakku itu adalah produk gagal yang bahkan produsennya pun tidak mau menerima barang retur-nya, maka aku sebaliknya. Seorang Bambang memiliki wajah yang cukup tampan, kulit putih bersih, dan postur tubuh proporsional.
Nama panggilanku adalah Bams. Terinspirasi dari vokalis band Samson yang juga bernama asli Bambang. Nama panggilan itu aku deklarasikan se-segara-mungkin untuk mencegah makin beranak-pinak-nya nama panggilan konyol yang bisa melekat dalam diriku.
" Eh.. "
" Ayo cepetan diberdiriin, trus dibopong ke ruang kesehatan.. " perintahnya.
Herannya, anak-anak lain sama sekali engga perduli dengan kondisi kami bertiga yang kebingungan. Mungkin Decepticons telah mengancam mereka agar tidak membantu kami.
" Eh, i-iya kak.. " jawabku, dengan segera aku membantu Dimas untuk berdiri. Berlagak seperti Kamen Rider yang selalu tampil heroik.
" Bawa nya gimana kak? " tanyaku kemudian.
Kak Wanda langsung celingukan mencari bala bantuan. Salah seorang senior lain bernama Ari menghampiri kami.
" Tandu nya, masih dibawa kelompok Lebah, tadi ada yang pingsan juga.. " ujarnya, benar-benar mengetahui kesulitan kami, " Kamu gendong aja Mbeng (lihat kan, salah satu panggilan konyol yang diciptakan oleh senior kampret se-enak jidat), taroh di punggung kamu, sini aku bantuin.. "
" Oke, gagasan yang sungguh super jenius, membuatku terlihat konyol seperti maho-man sebentar lagi.. "
Mulai saat itu aku kian akrab dengan Wanda, dan juga dengan Dimas. Keberadaan mereka berdua sangat membantu masa-masa awal kuliahku. Wanda sebagai senior sekaligus TTM ku yang baru, sedangkan Dimas adalah sahabat terbaik yang aku punya di kampus. Sedangkan sang pemberi ide konyol, Ari, tetap menjadi manusia paling menyebalkan disana.
Bersambung...
Comments
Post a Comment