Skip to main content

Senggol Sana Senggol Sini (3)

Hari yang cerah. Meskipun matahari telah condong ke barat, namun cahayanya yang keemasan masih terus menyepuh pucuk-pucuk tanaman di halaman depan rumahku sehingga tampak begitu indah. Sementara itu angin semilir yang lembut bertiup ke segala penjuru di sekitarku.
Aku duduk di teras menikmati kesendirian. Di pangkuanku tergeletak sebuah novel misteri yang sejak aku duduk di tempat itu belum sekali pun sempat kubaca. Mataku lebih banyak melayang ke sekeliling. Ke halaman yang selalu rapi karena terawat dengan baik. Lalu ke langit yang cerah penuh warna keemasan, dan juga ke jalan dan ke mana pun mataku berlabuh. Damai rasanya.

Kompleks tempat aku tinggal termasuk daerah yang tenang karena jumlah rumahnya tidak terlalu banyak. Hanya sekitar tiga ratusan rumah saja. Di jalan depan rumahku yang bukan jalan utama, hanya sesekali mobil atau motor yang melintas. Yang sering lewat di jalan itu adalah anak-anak tanggung dengan sepeda mereka yang baru, atau dengan bersepatu roda. Mereka meluncur di jalan sekelompok demi sekelompok.
Terkadang pula, lewat ibu-ibu muda dengan anak-anak mereka yang masih kecil-kecil. Sementara itu di kejauhan kudengar teriakan-teriakan gembira anak-anak yang pasti sedang bermain di taman, tak jauh di ujung jalan.
Kesendirian itu kunikmati apa adanya meski tak seorang pun yang menemani. Berta istriku, sedang bepergian untuk urusan pekerjaan, mungkin baru nanti malam pulang.
Tak ingin terlalu lama melamun, niatku membaca muncul kembali. Buku yang sejak tadi berada di atas pangkuan, kuambil. Tetapi sebelum tanganku sempat membuka-buka halamannya, suara seseorang terdengar menyapa diriku.
"Apa kabar, Gun!"
Aku mengangkat wajah. Di tangga menuju ke teras rumah, aku melihat Maya, salah satu teman arisan Berta, berdiri tegak. Sebuah tas besar berada dalam pelukannya. Entah kapan dia memasuki halaman rumah, aku tak tahu. Mendengar suara pintu pagar dibuka pun, tidak. Tahu-tahu saja dia sudah ada di dekatku.
Karena aku diam saja, Maya menegurku lagi. "Hmm, boleh aku masuk?” Dia meletakkan tas kecil yang semula berada di dalam pelukannya ke lantai teras dekat kakinya.
"I-iya. Mari, silakan," aku mempersilahkannya untuk masuk rumah dan segera membuatkannya minuman dingin.
“Aku kemarin sudah telepon sama Berta kalau mau datang ke sini,”
Maya ini sebenarnya seumuranku, orangnya tinggi langsing dengan kulit putih. Pakaiannya selalu modis, dan menurutku, si Krisna beruntung mendapatkan istri secantik dia. Tapi sayang Krisna sekarang dibutakan oleh pihak ketiga. Ada perempuan lain di bahtera rumah tangga mereka. Info itu kudapatkan dari istriku yang sudah seminggu ini menjadi tempat curhat Maya.
“Kamu tadi naik apa?” aku bertanya.
“Naik taksi.” jawabnya. “Aku sudah tak kuat di rumah, Gun. Krisna tambah jarang pulang sekarang.”
“Ah, kasihan kamu, May. Krisna memang keterlaluan.”
“Sudahlah, Gun. Tak ada gunanya disesali. Anak-anak untuk sementara kutitipkan kepada Eyangnya. Aku ingin menenangkan diri dulu.”
“Iya. Aku bisa mengerti kok,”
“Maaf kalau kedatanganku merepotkan,”
“Ah, enggak kok,” Aku memandangnya dengan sangat iba. “Sudah, jangan dipikirkan. Berta lagi ada acara di luar kota, mungkin baru pulang nanti malam.”
Maya mengangguk. Kami bertemu pandang, aku sadari betul matanya tampak sangat capek dan sayu. Padahal wajahnya manis, mungkin lebih manis dari istriku. Memang benar-benar keterlaluan suaminya. Aku juga bukan lelaki baik-baik, tetapi menelantarkan anak istri jelas tidak ada di dalam kamusku.
Sebenarnya Maya ini pintar berdandan dan merawat diri. Dulu pas pertama kali bertemu, waktu aku menikah Berta, dia nampak segar dan energik. Tapi sekarang benar-benar berbalik 180 derajat, dia terlihat capek dan layu. Aku sadar, bebannya pasti sangat berat.
“Eh, kamu mandi aja dulu. Aku siapkan makanan. Kebetulan aku tadi sudah beli nasi Padang; cuma seporsi sih, tapi cukup kok buat kita berdua.” kataku, berusaha seriang mungkin.
“Sudah, Gun. Jangan repot-repot.” jawabnya.
“Atau kita makan di luar aja?” aku menawarkan.
“Tidak usah.” dia menolak. “Nanti biar aku yang masak. Ada kan bahan-bahannya?”
“Nggak tahu juga sih. Tapi biasanya Berta selalu menjaga kulkas selalu penuh.”
“Ya nanti biar aku cari sendiri.”
Aku tersenyum. “Kubantu masak ya? Sehabis makan, kamu istirahat aja. Gara-gara capek, kecantikanmu jadi menghilang.” kataku menggoda.
“Ah, kamu,” dia hanya tersenyum simpul.
“Nah, gitu dong. Senyum sedikit, kan tambah manis.”
Maya tersipu malu di depanku, cantik sekali.
“Jangan lesu terus, May. Nanti cepat tua lho.” godaku lebih lanjut. “Santai saja, semua pasti ada jalannya.”
Maya mengangguk. “Iya, Gun.”
Aku bangkit untuk mengambilkannya handuk. Kuberikan kepadanya. “Eh, katanya tadi mau menginap, tapi kok nggak bawa tas? Maksudku, baju ganti dan sebagainya,”
Wajah cantiknya kembali tersaput mendung. “Sebenarnya dari rumah tadi aku bawa koper, tapi pas mau naik taksi ke sini, cuma tas kecil ini yang kubawa, kopernya ketinggalan di rumah Eyang.”
“Hah?” Aku bengong. Pernyataannya benar-benar menegaskan bahwa pikirannya lagi kacau dan tidak fokus. “Tak apa, May. Kamu bisa pakai baju-bajunya Berta, banyak tuh di lemari. Dia pasti nggak keberatan.”
“Eh, i-iya. Terima kasih, Gun.” jawabnya dengan wajah kosong dan mata sayu yang kehilangan minat akan hidup. Benar-benar kasihan.
“Mungkin memang agak kekecilan, badan kamu kan lebih...” ucapanku terputus.
“Lebih apa? lebih gendut?” sahutnya.
“Bukan.” Aku menggeleng. “Bukan gendut. Tapi lebih sintal. Montok. Dan bahenol!”
Dia tersenyum mendengar ocehanku. “Nggak ada Berta, kamu berani bilang begitu.”
“Ya iyalah, May.” aku nyengir. “Jangan bilang-bilang ya, nanti aku bisa disuruh tidur di teras.”
Maya tertawa, tampak bisa menerima candaanku. “Kalau ternyata nggak ada yang muat, gimana?”
Aku terdiam sejenak. “Pakai sarung, selimut, atau apalah. Asalkan jangan telanjang, karena di rumah ini cuma ada kita berdua. Aku takut nggak bisa nahan diri.” lanjutku menggodanya.
Dia kembali tersenyum sambil tersipu-sipu. Tak lama dia pun masuk ke kamar mandi. Istriku datang tak lama kemudian.
Kami isi malam itu dengan mengobrol bersama Maya. Kudengarkan ceritanya yang pilu sambil tak bosan-bosan kutatap wajah cantiknya. Berta sama sekali tidak tahu kalau sambil berbincang, pikiranku sibuk mengembara kemana-mana, mencoba membayangkan apa yang akan terjadi selama Maya menginap di rumah ini. Sonya yang tahu kalau Maya datang, ikut mampir ke rumah.
“Aku tidak begitu saja memutuskan datang ke sini,” Maya berkata. “Melainkan melalui perjuangan batin yang tidak mudah. Sebelumnya hampir setiap malam kuhabiskan di dalam kamar dengan deraian air mata. Rumah tanggaku bersama Krisna telah berakhir dengan cara yang sangat menyakitkan.”
“Masih belum, May.” Sonya berkata. “Kau masih bisa memperbaikinya. Aku sudah pernah merasakannya juga.”
“Tapi, rasanya luka hati ini tak kunjung sembuh, mbak. Sampai-sampai aku nyaris putus asa.”
“Waktu yang akan mengusap luka-luka itu, May. Dan juga menyembuhkannya. Kau hanya harus bersabar.”
“Aku sudah cukup bersabar, mbak!” Maya menangis. “Tapi Krisna terus mengkhianatiku. Bahkan dia lebih memilih tidur dengan pelacurnya daripada menunggui anak kami yang lagi sakit!”
Sonya menarik napas panjang. Dan sebelum Maya semakin tenggelam ke dalam kesedihan, cepat-cepat tangannya terulur untuk memeluk, “Yah, mungkin memang lebih baik kamu di sini dulu. Tenangkan hatimu yang tak lagi menyimpan bunga-bunga kehidupan yang indah dan berseri.”
Maya menangis. Sonya menangis. Bahkan Berta juga sesenggukan. Hanya aku yang tidak—karena sibuk menatap kecantikan dan kemolekan tubuh ketiga perempuan di depanku ini. Dasar lelaki kadal berhati batu!
Sonya pulang tak lama kemudian. Kuantar kepergiannya. Di depan pintu, sempat kuremas sebentar bulatan payudaranya sebelum ia menepisnya. “Awas lho, Gun! Maya itu lagi berduka, jangan kau tambah lagi masalahnya!” Sonya mengancam.
“Beres, Mbak. Malah, aku berniat untuk menghiburnya!”
Sonya mendelik, dan aku cuma tertawa.
Bulan bergeser dan angin berhembus dingin. Malam beranjak semakin larut. Maya kupersilakan tidur di kamar belakang yang selama ini kosong. Sedangkan istriku sudah siap di atas ranjang, menungguku yang sedang berganti baju.
“Ayo,” dia merengek. Pakaiannya sudah berceceran di lantai, memperlihatkan tubuh mulusnya yang sudah hampir telanjang. Heran, ngebet sekali dia malam ini.
“Sabar, Sayang!” Tak jadi mengambil piyama, aku ikut naik ke atas ranjang. Kutindih dia—foreplay sebentar—lalu mulai kugenjot tubuhnya dengan penuh semangat.
Berta tampak sangat suka. Dia merintih-rintih dan meraung-raung, keras sekali. Aku sampai harus membungkam mulutnya dengan ciuman. “Sst... ada Maya tuh di sebelah.”
“Biarin!”
“Eh, nanti dikira kita ngiming-ngiming.” Dari bibir, mulutku bergeser ke dada. Kucucup puting Berta yang lancip seperti ujung pensil secara bergantian. “Bayangkan, dia lagi sakit hati. Malah kita kasih suara seperti ini.”
Istriku akhirnya terdiam.
Terus kugenjot tubuh sintalnya, dan tak lama, kami pun orgasme bersama-sama. Berta berusaha keras menahan desahannya saat cairannya menyembur keluar, sedangkan aku dengan penuh nikmat menumpahkan sperma ke liang memek istriku yang berdenyut-denyut kencang.
“Terima kasih. Oohh nikmatnya! Aku puas sekali!” Berta mencium bibirku.
Kubalas dengan memagutnya mesra. Yang tidak ia tahu adalah, selama persetubuhan tadi, bukan dia yang kulihat. Tetapi, aku membayangkan perempuan lain. Penghuni kamar sebelah.
Keesokan harinya, Berta berangkat kerja seperti biasanya. Aku juga sudah siap-siap pergi ke kantor. Di dapur, kulihat Maya sedang sibuk mengaduk-aduk telur orak-arik sebagai lauk sarapan. Dia mengenakan daster tidur hijau milik istriku yang sedikit kekecilan, dengan leher lebar dan panjang hanya selutut. Rambutnya basah karena habis keramas—lho, kok keramas? Itu juga menjadi pertanyaanku.
Aku jadi sedikit tercengang. Pandanganku turun ke dadanya yang... bener ukurannya segitu? Lumayan besar juga. Karena baju tidurnya terbuat dari bahan sutra yang tipis, bisa kulihat tonjolan putingnya yang mencuat samar di atas dada. Lalu ke pinggulnya. Lebar dan montok. Tidak ada siluet CD di sana, yang berarti...
Masa sih Maya tidak memakai sepotong baju dalam pun di balik daster tipis itu? aku bertanya dalam hati, sambil sibuk menelan ludah.
Di dalam otak mesumku langsung terjadi pertempuran. Si malaikat bilang, “Jangan! Dia sahabat istrimu sendiri!”
“Memangnya kenapa?” si Iblis membantah. “Sonya saja sudah kamu tiduri, kenapa tidak dengan Maya?!”
“Ingat, Gun!” si Malaikat berusaha. “Ini dosa! Kamu sudah punya istri! Dan Maya sedang bermasalah!”
“Justru itu,” Iblis tertawa. “Ayo kita manfaatkan! Lihat, bajunya tipis seperti itu. Tidak pakai daleman, lagi! Apa bukan menantang itu namanya?!”
Aku kembali menelan ludah. “Mungkin karena daleman istrimu tidak ada yang pas,” begitu si Malaikat berteriak. Tapi langsung dipotong oleh musuhnya.
“Ah, banyak alasan!” si Iblis mendengus. “Ayo, hajar aja, Bro! Tunggu apa lagi? kesempatan ini hanya datang sekali. Jangan disia-siakan!” rayunya kepadaku, yang kutanggapi dengan mengangguk singkat.
“Tapi nanti saja, soalnya aku harus ke kantor sekarang!”
Si Malaikat tersenyum senang, merasa menang meski hanya sementara. Sedangkan si Iblis melotot, dengan seringai licik ditujukan kepadaku.

***

Sorenya, sehabis menyerahkan file hasil rapat yang sudah kurevisi kepada Anna, teman satu ruangan, aku pun pulang. Tiba di rumah, basa-basi aku berbincang sejenak dengan Maya dan Berta yang duduk-duduk di teras depan. Kupandangi dua perempuan cantik itu sepuas hati, baru setelah itu beranjak ke dalam.
Malamnya, aku terbangun dengan perut keroncongan. Tidak bisa tidur, aku pun pergi ke dapur untuk mendapatkan sedikit makanan. Sinar lampu menyusup dari celah gorden ketika aku perlahan-lahan bangkit dari tempat tidur. AC di jendela yang berdengung berisik membuat Berta terus terlelap.
Tubuh istriku itu masih telanjang setelah kugempur sengit hampir selama dua jam. Layar di hapeku menunjukkan pukul sebelas dalam kilau biru elektrik buram. Sebenarnya aku masih kepengen lagi karena tubuh Berta memang bikin nagih, tapi teringat kalau dia harus bekerja besok, maka terpaksa kuurungkan niatku.
Dengan penis kembali ngaceng, aku tertatih-tatih melangkah melintasi ruang teve, lalu berbelok ke kiri menuju kamar mandi. Kelar dari situ, kuseret langkahku ke dapur dan berhenti di depan kulkas. Aku menguak pintunya dan menekuri rak-rak kosong, sadar bahwa makanan ternyata tidak muncul secara ajaib dari lelehan es dalam freezer dan kerangka-kerangka penyok yang mengambang di dasar laci sayur. Lampu sengaja tetap kubiarkan menyala redup karena aku tidak ingin membangunkan siapa pun.
Yang tersedia untuk menyelamatkanku dari bencana kelaparan cuma setengah wadah jelly, sebotol air mineral, roti tawar utuh berlapis jamur biru, sebonggol selada layu, serta sekotak kepingan coklat. Tanpa menimbang-nimbang lagi, segera kusantap coklat dan jelly, berikutnya kututup dengan menuangkan air ke dalam gelas.
Di saat aku mau meneguknya, saat itulah aku mendengar seseorang berjalan di ruang tengah. Tak sempat bersembunyi, sambil mendesah, kutatap Maya yang keluar dari dalam kamar. Sepertinya dia mau pergi ke kamar mandi.
“Oh, kamu Gun! Kukira siapa!” dia berkata, kaget.
"Maaf, aku hanya haus dan ingin minum.” Dalam keremangan, bisa kulihat dia yang hanya mengenakan daster pendek serta rambut terurai indah sepunggung. Agak pangling juga jadinya.
“Masih ada, kan? Tadi kayaknya tinggal sedikit.” Maya berjalan mendekat, membuat lampu kulkas bisa menyinari sebagian tubuhnya.
Aku langsung terpana, mendelik sekaligus juga tak percaya. Daster yang ia kenakan tak bisa menutupi tonjolan buah dadanya yang... Wow, padat sekali! Aku benar-benar kagum dibuatnya. Apalagi Maya nampaknya juga tak keberatan tubuhnya kuperhatikan, bahkan dia terlihat senang—kalau tak mau disebut bangga. Mungkin karena sekarang kami cuma berdua hingga dia jadi bersikap berani.
“Ada apa, Gun? Ada yang salah dengan tubuhku?” tanyanya sambil membusungkan dada, membuat fantasiku yang mulai berkembang jadi makin melambung lagi.
Gelagapan, aku pun menjawab, “K-kamu kelihatan c-cantik, May.”
Dia tersenyum. “Aku sudah pernah melahirkan, Gun. Istrimu tuh yang cantik, belum pernah hamil.”
“I-iya, Berta memang cantik. Tapi kamu tak kalah menarik.” kataku berani.
"Terima kasih, Gun. Aku baru bangun, belum sempat berdandan.” katanya sambil menyeringai.
“Justru kalau begini, kamu malah terlihat menggoda.”
“Kamu tergoda melihatku?” tanyanya kaget, sambil matanya melirik tonjolan penis di selangkanganku. Mengetahui kalau aku sudah ngaceng, dia buru-buru berpaling dan berkata, “Sebaiknya aku balik ke tempat tidur sekarang."
“Eh, i-iya. Maaf,” aku kecewa karena kehilangan pemandangan indah, sekaligus juga malu karena telah berbuat kurang ajar kepada dirinya. Untung Maya tidak marah dan mudah-mudahan tidak mengadukannya kepada Berta.
Namun saat aku hendak menutup pintu kulkas, Maya tiba-tiba berhenti. “Emm... airnya masih ada, nggak?” dia bertanya.
“Tinggal sedikit, kamu mau?”
Dia berbalik dan kembali mendekatiku. “Kalau misalnya aku meminta, kamu mau memberikan?” tanyanya berbisik.
“Tentu saja,” kuberikan botol kepadanya.
Dia menggeleng. “Bukan itu yang aku maksud!”
“Hah?!” Aku mendelik. Dan sebelum sempat berpikir, Maya sudah menarik tubuhku  lebih dekat. “M-May...” hanya itu yang bisa kukatakan.
“Kamu suka dengan tubuhku, Gun?” tanyanya lirih.
“Kamu cantik, May. Siapa yang bisa menolak tubuh seseksi ini?” kataku sambil melingkarkan tangan, memeluknya.
“Bagaimana dengan Berta?”
“Sst... jangan sebut namanya. Tubuhmu yang kuinginkan saat ini.”
“Tapi ini nggak benar, Gun. Kita sudah sama-sama menikah!”
“Iya, lalu kenapa kamu berbalik?" aku berbisik sambil mulai membelai daerah pinggulnya ke bawah, lalu naik ke atas menuju tonjolan buah dadanya.
"Ahh... Gun! Kamu bikin tubuhku merinding!” katanya sambil pura-pura mendorong.
"Kamu duluan yang bikin aku ngaceng." bisikku lagi seraya terus menggerakkan  tangan. Gagal di atas, aku kembali  ke bawah. Dengan gemas kuelus-elus pantatnya yang  halus, yang...
“Kamu nggak pakai celana dalam?” tanyaku kaget.
Dia hanya tersenyum malu dan membiarkanku terus meremas-remas, bahkan dia juga diam saat aku mulai menempatkan jari ke seluruh tubuhnya dengan mengelus dan membelai-belai ringan.
"Kamu nggak puas ya sama Berta?” tanyanya dengan suara berat, kepalanya bersandar di bahuku.
Kuelus-elus punggungnya dan menjawab, “Puas kok. Selain cantik, tubuh Berta juga montok banget.”
“Lalu, kenapa kami masih mau sama aku?”
“Lagi kepengen aja. Nggak ada kucing yang bakal menolak kalau disodori daging, May.” jawabku diplomatis.
Dia tertawa. “Betapa beruntungnya kamu, Gun!”
Aku sedikit terdiam mendengar kata-katanya. “Apa maksudmu?” Kupandangi wajah cantiknya yang kali ini tampil polos.
“Iya, kamu dapat melampiaskan nafsu kapan pun. Sesukamu. Ada Berta yang siap melayani.”
“Lho, bukankah kamu juga punya...” Aku langsung terdiam begitu mengerti apa yang dia maksud. “Maafkan aku, May. Aku turut menyesal.” Kupeluk dia dan kuelus rambutnya penuh rasa sayang, “Kalau boleh, aku ingin menggantikan tempat Krisna di hatimu.”
Maya memandang mataku. “Sungguh, Gun?”
Aku mengangguk yakin, “Mulai sekarang, aku yang akan memuaskan kamu.” Pelan kukecup bibirnya dan kupagut lembut.
“Hhh, Gun!” Maya mendesah, dan dia bertanya begitu ciuman kami terlepas, “Tapi, bagaimana jika Berta tahu?”
“Ya kita harus pintar-pintar menjaga rahasia, jangan sampai dia tahu.”
“Ohh, Gun... kamu memang pengertian sekali. Terima kasih!”
Aku mengangguk. “Jadi, boleh aku merasakan tubuhmu sekarang?”
“Lakukan, Gun!” dia menyahut cepat. “Nikmati tubuhku sesukamu! Bikin aku puas!”
Selesai dia bicara, kembali kubawa bibirku ke bibirnya untuk memberinya ciuman lembut sebagai awalan. Kami saling merangkul sementara bibir kami terkunci rapat, memagut dan melumat rindu satu sama lain tanpa pernah berniat untuk berhenti.
“Ohh, apakah ini benar-benar terjadi?” Rasanya tak percaya bisa merangkul tubuh indah Maya dan menciumi bibirnya seperti ini kalau melihat kesehariannya yang sendu dan kalem. Bahkan dalam mimpi pun aku tak pernah membayangkannya.
Tapi ini memang terjadi. Bibirnya mulai membuka saat aku menjulurkan lidah ke dalam mulutnya yang halus dan lembut. Kami saling menghisap rakus, sampai air liur kami bercampur menjadi satu, sementara lengannya membungkus erat di leherku, meminta agar terus dimanja dan dibelai mesra.
Penisku kian mengeras, dan begitu merasakannya, Maya menciumku dengan lebih bersemangat. Lidah kami saling membelit dan bergumul penuh nafsu. Aku menggeser tubuhku sehingga tanganku bisa meraih bajunya. Lewat bawah, aku perlahan-lahan mulai bergerak melewati perutnya dan naik ke bra hitam yang ia kenakan. Payudaranya terasa empuk dan lembut saat tertangkup di genggaman tangan. Dan saat kuremas, erangan langsung keluar dari mulutnya.
"Uhhh... mmmm... Gun!” dia memanggil, yang kutanggapi dengan menyelipkan tanganku di balik bra dan mulai bermain dengan putingnya. Masih tetap berciuman, Maya semakin kuat dalam mengerang, yang langsung membuat penisku berubah menjadi semakin panjang dan kaku.
Saat bibir kami terpisah, dia melompat ke atas meja dapur dengan badan gemetar. Mukanya sudah memerah dan tatapan matanya meminta. Aku segera melepas kaus dan membuangnya ke samping. Kubantu juga Maya melepas daster pendeknya. Aku hanya menurunkannya ke bawah, membiarkannya teronggok di perut. Tak berkedip kuperhatikan tonjolan buah dadanya yang masih berbalut beha. Benda itu nampak indah dan bulat sekali. Ukurannya yang lumayan besar juga kian membuatku tak ingin berpaling.
Aku menunduk dan menciumnya sekali lagi sambil tanganku merayap ke belakang untuk melepas kaitan bra. Kusentak dengan cepat dan payudara Maya langsung meloncat keluar begitu kulempar beha itu ke bawah meja.
"Indah. Dadamu benar-benar indah, May!” aku berbisik nanar. Takjub kupandangi bulatan payudaranya yang kini terekspos jelas itu. Melihatnya telanjang untuk yang pertama kali sungguh membuatku kehilangan kata-kata.
Selain bulat, payudara Maya juga mulus sekali, serasi dengan kulitnya yang sehalus beludru. Tanpa beha, benda itu memang kelihatan sedikit melorot. Tapi kesan yang kutangkap tetaplah indah, lezat, dan sangat menggairahkan. Dilengkapi puting kemerahan yang menunjuk runcing ke depan, jadilah payudara itu benar-benar memenuhi fantasiku.
Kami saling merangkul dan mencium lagi. Kakinya melilit di pinggangku saat kutekan tubuh bagian atasnya yang telanjang, hingga bisa kurasakan kehangatan serta kehalusan kulitnya. Tanganku merambat untuk memegangi payudaranya dan mulai memijit-mijit lembut sambil tak lupa memilin-milin putingnya saat kami mengerang bersama-sama.
Kulepaskan ciuman untuk perlahan-lahan beralih ke lehernya, lalu ke pundaknya, dan terus turun hingga ke payudara. Berawal dari belahannya yang curam, ciumanku merambat menuju kedua putingnya. Bergantian kuhisap benda mungil yang sudah terasa mengeras itu dan kugigit-gigit pelan sampai kudengar erangan lain keluar dari mulut Maya.
“Ssshhh... pelan-pelan, Gun. Geli.” desisnya dengan badan menggelinjang. Tangannya memegangi belakang kepalaku, mencoba menahan agar aku tak menghisap terlalu kuat.
Aku terus menjilati putingnya yang terasa begitu menggemaskan sambil tanganku memijat-mijat bulatan payudaranya di saat yang sama. Aku berpindah-pindah dari satu puting ke puting yang lain, sampai kedua-duanya basah oleh air liurku, dan selama itu pula tanganku terus meremas-remas gemas.
“Guunnn!” Maya kembali merintih, tubuh sintalnya menggeliat di atas meja makan, bersandar  penuh kenikmatan di sana. Tangannya menggapai celana pendekku dan dengan dibantu oleh betisnya, dia  menariknya turun pelan-pelan tanpa kusadari.
“Hhh... May!” Aku menggeliat ketika penisku meluncur keluar dan langsung ia tangkap dengan lembut. Rasanya penisku jadi semakin kaku saat dia mulai membelainya pelan. Hangat terasa ketika tangannya bergerak naik dan turun di sepanjang batangku.
“Terus, May. Enak!” erangku tertahan.
“Tunggu sampai kamu merasakan ini," Dia berkata dengan lidah mulai menyentuh ujung penisku. Terus memegang dan mengocoknya pelan, dia mulai menjilat. Dimulai dari ujung, lalu bergerak turun di sisi kanan, kemudian sisi kiri, dan selanjutnya membelit di pangkal, sampai akhirnya semua batangku tuntas menjadi basah oleh air liurnya
“Kamu suka?” tanya Maya dengan ujung penisku masih berada di depan bibirnya.
“Ughhh...” aku mengerang menjawab pertanyaannya. Cuma dijilat, tapi sudah sanggup membuatku merintih gugup. Apalagi kalau diemut dan dihisap rakus, bisa-bisa aku langsung meledak nanti.
Maya kembali menempatkan penisku ke dalam mulutnya. Tangan kanannya mengocok, sementara lidahnya bergerak di sepanjang batangku. Bisa kudengar suaranya saat menyeruput rakus, juga lelehan air liurnya yang mengalir di sepanjang batangku. Sensasinya sungguh luar biasa, kontolku terasa semakin ngaceng dan bergetar hebat. Dan Maya masih belum berhenti.
“Kamu suka, Gun? Kamu suka?!” tanyanya mengintimidasi.
Aku tidak sanggup untuk menjawab. Bahkan sekedar membuka mulut saja, aku kesulitan. Wajahku memerah, sementara napasku menjadi semakin cepat. Kupegang erat kepalanya, dan saat ia menelan untuk yang entah keberapa kali, lekas kutarik dia ke atas. Aku tidak mau keluar sebelum mencicipi tubuh indahnya.
Penisku terlepas dengan bunyi plop lembut. Air liur bercampur dengan cairan precum nampak menetes dari ujungnya yang tumpul, yang awalnya berwarna hitam, tapi kini sudah berubah menjadi kemerahan. Terengah-engah, kudorong tubuh montok Maya ke atas meja dapur. Kududukkan dia di sana.
“Gunn!” desisnya parau ketika celana dalamnya mulai kutarik pelan. Tak berkedip aku menatap kedua pahanya yang masih nampak kencang dan putih mulus, juga belahan mungil kemerahan yang muncul berikutnya begitu aku selesai menelanjanginya.
Vagina Maya terlihat benar-benar basah, dengan rambut keriting halus tumbuh di bagian atasnya yang menggembung. Lipatannya tipis dan masih nampak utuh, tanda kalau benda itu jarang sekali digunakan. Lorongnya yang berwarna merah sudah berkedut-kedut ringan, seperti bisa bernapas dan memanggilku agar segera mencicipinya.
Sambil mencium bibir tipis Maya, kembali tanganku menggerayangi bulatan dadanya dan meremas-remasnya ringan. Putingnya kupilin-pilin sambil sesekali kutarik-tarik gemas. Maya mendesah dan balik merangkul tubuhku. Didorongnya aku agar mulai turun ke bawah.
“Kamu mau dijilat?” tanyaku polos.
Tidak menjawab, Maya malah membuka kedua pahanya lebih lebar. Sebuah tanda bahwa memang itulah yang ia inginkan. Tersenyum mengiyakan, lekas kuturunkan ciumanku. Dengan tangan masih berpegangan di tonjolan buah dadanya yang bulat, kusisir kedua pahanya dengan bibirku. Lidahku sesekali juga melesat kesana kemari, membelai permukaannya yang terasa begitu halus dan mulus.
“Aghhh, Gun!” Maya menggelinjang, dan mendorong kepalaku agar lekas ke tengah. Dia juga memutar-mutar pinggulnya, entah ingin menggoda atau memang benar-benar kegelian.
Kini mulutku hanya berada seinci dari belahan memeknya, begitu dekatnya hingga setiap pori serta semburat warna yang menghias di sana bisa kulihat dengan begitu jelas. Aku tidak  percaya ini terjadi. Setelah vagina hangat Sonya, kini vagina Maya yang bisa kucicipi.
Aku mulai dengan mencium klitorisnya, dan Maya langsung mengerang lembut penuh kenikmatan. “Aghhh... Gun!” desisnya tertahan.
Sambil terus menjilat, kucoba juga merangsangnya dengan menggunakan jari. Pelan kubelai belahannya yang terasa lengket, lalu kutusuk perlahan-lahan saat Maya menggelinjang semakin hebat. Tubuhnya melengkung ke belakang sambil menekan kepalaku kuat-kuat. Dia juga menyodorkan pinggulnya ke depan, lalu menggerakkannya naik turun hingga tanpa perlu banyak usaha, lidahku sudah menggesek klitorisnya secara bertubi-tubi.
Akibatnya tentu sudah bisa ditebak. Tubuh Maya langsung bergetar hebat. Dia merintih tak terkendali saat lidahku terus bergerak cepat di atas klitorisnya. Benda mungil itu mengejang, dan kalau bisa bersuara mungkin akan menjerit, sementara posisinya yang tadi tersembunyi kini perlahan muncul ke permukaan dan menggantung indah seperti biji kecil.
“Gun, ahhhhh!" Maya mengerang dengan gerakan pinggul kian bertambah kencang. Namun tepat sebelum dia meledak, Maya mendorong jauh kepalaku dan tiba-tiba menarik tubuhku agar berdiri.
"Masukkan, Gun! Aku sudah nggak tahan!" pintanya saat kami sudah berhadapan.
“Kamu yakin?” tanyaku sambil kembali meremas-remas bongkahan payudaranya. Tanganku seperti tak ingin lepas dari situ, padahal rasanya masih lebih mantab punya Berta. Namun entah kenapa benda itu bisa membuatku ketagihan, aku juga tak tahu.
Kembali kami berpelukan, dan tentunya berciuman, sebelum kemudian pelan-pelan mulai kutempatkan penisku di depan liang vaginanya. Baru menempel sedikit tapi rasanya sudah nikmat sekali. Kugesek-gesekkan ke atas dan ke bawah, dan Maya pun langsung menggeliat ketika permukaan memeknya yang basah kusundul-sundul pelan.
“Kumasukkan ya, May?” tanyaku sambil bernapas berat.
“Lakukan, Gun! Ssshhh... aku sudah siap,” bisiknya sambil memegangi penisku.
Dengan bimbingannya, aku mulai mendorong perlahan. Sedikit terasa sulit ketika mencoba menembus untuk kali yang pertama. Tapi aku tidak ingin menyerah. Kembali kucoba, dan kali ini lumayan tembus dengan bantuan lorong vagina Maya yang sudah begitu basah.
"Ahhhhhh! Guunn!" dia berteriak dan langsung memelukku.
Segera kulumat bibirnya agar jeritan itu tidak berlanjut, bisa gawat kalau istriku sampai mendengarnya. Kami berpelukan sejenak dengan alat kelamin kami saling bertaut erat. Penisku terasa nyaman saat berdiam di dalam lorong kewanitaannya. Rasa hangat, sempit, dan sedikit lengket bercampur baur di sana, dengan diselingi kedutan-kedutan kecil yang memijat halus, membuatku mengerang duluan padahal belum bergoyang.
“Gun?” Maya memanggil.
Aku yang berdiam di pundaknya segera mendongak. “Iya, May?” Kupandang matanya yang menatap sayu.
Dia melirik ke bawah, ke arah alat kelamin kami yang saling bertemu dan bersemayam nikmat. Tanpa perlu berkata, aku tahu apa yang ia inginkan. Pelan aku pun mulai memompa. Kuayun pinggulku maju mundur, mendorong penisku keluar masuk di kedalaman memeknya yang menjepit kuat. Rasanya sungguh berbeda dengan milik istriku. Kalau memek Berta cenderung kesat karena baru-baru ini saja bertemu kontol, milik Maya malah seperti menghisap rakus karena rindu akan kehadiran benda panjang itu.
Aku terus menggesek-gesek, sesekali juga kutusuk kuat-kuat. Maya yang rasa dahaganya terpenuhi, merintih semakin berat dan dalam. Aku membungkuk ke depan dan meraih tonjolan payudaranya. Sambil meremas-remas, mulai kuayunkan pinggulku lebih cepat. Kugunakan payudaranya sebagai pegangan. Aku bisa mendengar kulit kami saling menampar bersama-sama, menciptakan suara kecipak merdu di malam yang hening itu.
"K-kontolmu enak, Gun! Uhhh..." Maya mengerang.
Kucium bibirnya dan terus kutusuk lubangnya cepat dan lebih cepat lagi, bahkan sampai tubuh Maya terhentak-hentak liar. Rambutnya yang panjang meriap kemana-mana dan dia bernapas terengah-engah. Aku berhenti sebentar untuk mengangkat kedua kakinya ke atas bahuku. Dengan posisi seperti ini, memek Maya jadi lebih terbuka dan lebih ketat lagi dalam menjepit.
“Ughh,” Kami menggelinjang bersama-sama dengan mulutku kembali nangkring di ujung putingnya. Sambil menjilat-jilat pelan, aku kembali menggoyang.
“Kamu suka, Gun?” Maya bertanya.
Kuanggukkan kepala sebagai jawaban. Bau tubuhnya terasa menggiurkan, begitu juga dengan rasa putingnya yang terselip diantara gigi-gigiku. Memeknya kian menggigit kuat, sementara kulitnya yang menggesek lembut terasa licin dan basah akibat dari keringat kami yang bercampur menjadi satu.
Aku terus mendorong, keras dan cepat, sampai Maya terengah-engah dan mengeluarkan erangan lain yang lebih kuat. Persetubuhan kami menjadi sedikit lebih kasar sekarang, namun tetap kuusahakan erangan Maya tidak sampai terdengar hingga ke kamar. Cukuplah kami membuat berisik di dapur tanpa perlu membangunkan Berta.
Sambil memompa, aku tak henti-henti mempermainkan payudara Maya. Juga biji klitorisnya yang terasa kian menegang kaku. Aku tak bisa memungkiri bahwa tubuh Maya memang begitu nikmat, begitu menggoda, begitu indah, hingga rasanya tak bosan-bosan untuk terus menyetubuhinya. Berta memang selalu sanggup membuatku bergairah, tapi ada sesuatu pada diri Maya yang  membuatku sangat bernafsu. Seperti juga aku bernafsu saat melihat tubuh molek Sonya, Anna, Nadia dan beberapa wanita lain yang ada di sekitarku.
Mungkin ini adalah kodrat lelaki, yang melihat rumput tetangga lebih hijau daripada milik sendiri. Padahal sudah punya istri cantik, tapi aku masih saja bernafsu melihat tubuh perempuan lain. Apalagi kalau ternyata perempuan itu mau diajak tidur seperti Maya sekarang, mana bisa aku menolak?
"Aku hampir sampai, Gun!" Maya berkata dengan payudara bergoyang-goyang akibat tusukanku.
"Iya. Aku juga, May!" kubisikkan balik sambil mendorong lebih keras dari sebelumnya.
"Ahh... t-terus, Gun! J-jangan berhenti! Aku enak! Kontolmu enak!” rintihnya saat orgasme itu mulai datang.
Terasa kontolku seperti  diguyur oleh cairan hangat yang cukup deras, geli saat membentur ujung penisku. Lalu menyelimuti seluruh batang hingga kontolku bagai direndam dalam jepitan daging yang cukup basah. Beberapa ada yang menetes keluar, menyelinap di antara celah-celah alat kelamin kami yang masih bertaut erat.
“Hhh...” aku melenguh. Sambil menciumi bibir Maya, kunikmati himpitan  memeknya yang kini jadi becek sekali. Tubuh Maya masih terhentak-hentak pelan dengan mata tertutup rapat.
“May?” aku memanggil. Pelan mulai kembali kugerakkan batang penisku.
Dia membuka mata dan tersenyum. “Kamu belum ya?” tanyanya penuh pengertian.
“Sudah hampir,” kujawab sambil menghisap lembut kedua puting susunya.
Maya menggelinjang dan mengusap-usap rambutku. “Kamu kuat, Gun. Aku merasa nikmat, puas sekali!” bisiknya dengan pinggul ikut bergerak mengimbangi tusukanku.
"Ughh..." aku mengerang dan mencium bibirnya. “Keluar dimana? Di luar apa di dalam?”
"Terserah, di dalam juga nggak apa-apa.” balasnya, lalu tiba-tiba menguatkan jepitan dinding memeknya untuk mencekik erat batangku yang masih meluncur keluar masuk.
Dihimpit seperti itu kontan membuatku kaget, “Aghh... May!” merintih keenakan, aku pun langsung meledak saat itu juga. Spermaku menyembur di kedalaman liang vaginanya. Membuatnya jadi tambah lengket dan lebih basah lagi.
"Gun! Uhhhh...” Maya mengerang dengan tubuh bergetar, terlihat menikmati guyuran pejuhku yang terus mengalir pelan.
Setelah tetes terakhir berlalu, kami masih berdiam diri dengan terus saling memeluk dan mencium mesra. Kuraba-raba bulatan payudaranya sambil tetap kubiarkan penisku tertanam di belahan memeknya. Sampai akhirnya benda itu melemas dan terlepas dengan sendirinya begitu balik ke ukuran semula.
"Mmmmm..." Maya mengerang ketika aku menarik pinggul. Matanya melirik batang penisku yang nampak mengkilat basah dengan pejuh masih menetes-netes dari ujungnya yang tumpul.
Memek Maya juga tak kalah basah. Selain berubah warna menjadi kemerahan, belahannya juga nampak kian melebar luas. Ada selarik cairan putih kental yang mengalir pelan dari celah lorong sempit itu. Maya mengoreknya dengan jari dan mengoleskan ke kain dasternya yang menumpuk di pinggang.
“Banyak sekali pejuhmu, Gun!” ucapnya sambil berusaha bangkit berdiri.
"Aku tidak percaya bisa melakukan ini sama kamu, May." aku berkata.
"Jangan beritahu siapa pun, Gun.” sahut Maya. “Biarkan ini menjadi rahasia kita berdua.”
“Pasti, May. Bisakah kita melakukan ini lagi?" aku berkata.
"Entahlah, Gun. Aku nggak tahu.” jawabnya ragu.
“Kenapa?”
“Kamu tahu, kita sudah sama-sama menikah. Seharusnya kita nggak boleh berbuat seperti ini.”
“Tapi sekarang kita melakukannya, May! Dan aku yakin kamu suka.”
Dia terdiam sejenak sebelum menjawab, “Yah, aku memang suka. Tapi berbahaya kalau kita sering melakukannya. Aku tak ingin Berta menjadi curiga.”
“Yah, aku mengerti.” Kutarik tubuhnya lebih dekat, lalu kucium bibirnya yang tipis menggemaskan itu. “Tapi aku pengen mengulanginya lagi.”
Maya memelukku. Dia masih duduk di meja makan dengan kaki mengangkang, sementara aku berdiri setengah telanjang di depannya. Sambil tersenyum dia mengatakan, "Yah, kita lihat saja nanti."
Dengan ucapannya itu, kami pun berpisah. Aku kembali ke kamar dan meringkuk di sebelah Berta yang masih terlelap, sementara Maya masuk ke kamar tamu yang terletak di depan. Kucoba memejamkan mata, namun tidak bisa. Benakku dipenuhi oleh berbagai macam hal. Aku memikirkan apa yang barusan kulakukan dengan Maya. Rasa bimbang, takut, dan juga senang bercampur menjadi satu.
Berselingkuh dengan Maya memang nikmat, tapi apakah risikonya sepadan dengan rasa nikmat itu? Bagaimana kalau nanti Berta tahu? Aku bingung, dan benar-benar tak tahu harus bersikap apa dan bagaimana.

Comments

Popular posts from this blog

Pertukaran dua sahabat

Aku irwansyah, salah seorang artis yang cukup terkenal di ibukota, beberapa judul film telah aku bintangi, aku bersahabat baik dengan raffi ahmad yang juga seorang artis popular di negeri ini, aku sudah menikah dengan zaskia sungkar namun rumah tangga kami belum di karunia anak, sedangkan sahabatku raffi ahmad juga telah menikah dengan nagita slavina dan telah memiliki seorang putra.

(Bonus Part 2) Pesta di Akhir Pekan

Bonus Chapter: Eksekusi Dinda (Part 2: Main Course) Dinda Fitriani Anjani kecil yang masih duduk di bangku SMP terbangun menjelang tengah malam. Tadi siang dia bekerja keras menjadi pagar ayu di pernikahan kakak perempuannya, dan juga membantu keluarganya di resepsi ala rumahan yang tanpa EO dan berlangsung sampai sore. Sehingga selepas maghrib Dinda tidur begitu saja setelah membersihkan make-up dan berganti baju. Terlewat makan malam, gadis cilik itu sekarang bangun dengan perut lapar.

(Episode 11) Pesta di Akhir Pekan : Akhir Dari Akhir Pekan

“Hayu atuh kalo mau diterusin…” “Pindah aja yuk, jangan di sini” saran Asep sambil berdiri “Lho, kenapa emangnya?” “Yah, biar tenang aja hehe” Dinda akhirnya ikut berdiri menuruti saran Asep. Sebenarnya tujuan Asep biar yang lain tidak ada yang mengganggu mereka. Percuma dong sudah susah payah membuat Irma tepar dalam gelombang birahi kalau tiba-tiba ada yang lain ikut nimbrung. “Kita nyari kamar aja yuk” Asep memegang tangan Dinda dan mulai berjalan menjauhi yang lain “Di kamar atas aja yuk, kasurnya gede sama pemandangannya bagus” usul Dinda “Wah boleh juga tuh”