Setelah kejadian itu, entah kenapa aku semakin terobsesi kepada Ani. Aku tidak mengerti perasaan dalam hatiku ini. Yang pasti ini bukan cinta, karena perasaan ini tidak sama ketika aku beru pertama kali jatuh cinta kepada istriku, dan sampai sekarangpun, aku tidak merasakan perasaan yang sama dengan perasaanku kepada Ani. Tetapi maaf, kawan. Ini juga bukan tentang birahi, karena setelah kejadian itu, aku tidak dalam kondisi yang menjadi ketagihan. Parahnya lagi, ini perasaan ini bukan hanya kepada Ani, tetapi kepada Kak Umi dan Mia. Aku jadi tertarik untuk mencoba menaklukkan kedua iparku ini di ranjang, sekaligus aku penasaran akan aksi dan reaksi mereka ketika mereka bermain denganku. Mungkin sebahagian dari kalian menilaku sebagai orang yang maruk, rakus, atau apalah. Tetapi ini adalah tentang hasrat, dan sepertinya hasrat ini harus dituntaskan.
Aku menatap lekat-lekat surat tugas yang terpampang di mejaku. Tiga hari kedepan aku harus mengikuti sebuah Diklat di Ibukota provinsi. Sebenarnya diklat apapun yang biasa dilakukan menjelang akhir tahun kemungkinan besar hanya bertujuan untuk menghabiskan anggaran pemerintah pusat. Persoalan hasilnya sesuai sasaran atau tidak, nanti dulu. Sebagai seorang PNS tentu aku harus mengikuti penugasan yang telah diberikan kepadaku. Berarti aku masih punya dua malam untuk ‘menghajar’ kelamin istriku sebelum aku berpuasa selama seminggu. Kualihkan pandanganku pada angka-angka dan tabel di dalam monitor desktop di mejaku. Laporan dan laporan. Seperti itulah seterusnya. Tetapi aku bersyukur dengan pekerjaanku, karena aku sadar banyak orang yang tidak beruntung mendapatkan kesempatan yang sama denganku. Ku simpan file itu dalam foldernya lalu ku tutup aplikasinya. Mungkin sebaiknya aku buka-buka instagram dulu di desktop buat ngecek timeline.
Salah satu hobbiku adalah fotografi meskipun sangat jarang dilakukan. Terakhir kali hunting bareng komunitas mungkin sudah sekitar enam bulanan dan kini kamera DSLR ku hanya terdiam di dalam cabinet di rumah. Ku buka timeline instagramku dan melihat beberapa postingan dari fotografer favoritku. Kadang-kadang aku kagum dengan cara mereka mengatur komposisi pengambilan gambar. Kombinasi eksposure yang menakjubkan. Ku putar scroll mouse ke bawah, hingga aku menemukan postingan foto Ani.
Dia tampak sangat cantik dan modis duduk di sebuah bangku kayu dengan latar belakang pantai dan suasana sore yang elegan. Dengan pose memiringkan sedikit kepalanya ke kiri, Ani sangat cantik ketika melemparkan senyumnya menghadap lensa yang menangkap gambarnya waktu itu. Matanya dihiasi kacamata hitam sangat kontras dengan kulitnya yang putih. Jilbabnya tampak sedikit berkibar menyiratkan tanda bahwa ketika foto itu diambil, angin sore sedang bertiup.
“Ketika kita terlihat sangat rupawan di mata orang, ingatlah bahwa itu bukan karena kelebihan kita, melainkan hanya karena aib kita disembunyikan oleh Tuhan. ~ngutip kata-kata seorang motivator~”
Aku tersenyum membaca caption itu karena akulah yang pernah mengucapkan kata-kata itu padanya ketika dulu dia pernah curhat kepadaku masalah tetangga lamanya di kontrakan sebelum ia dan suaminya pindah membangun rumah di tempat lain. Kembali terbayang ingatan seminggu yang lalu ketika sampai siang Ani terkapar di dalam kamarku, hingga Arni yang datang jam 7 pagi di rumah menyangka kalau kakaknya sedang sakit. Kami meninggalkannya di rumah waktu itu dan kembali sibuk dengan persiapan perkawinan.
Kami tidak bisa mencegah rasa canggung yang mengendalikan setiap aktifitas fisik kami setelah kejadian itu. Ani terlihat agak menjaga jarak denganku, begitupun aku. Pada saat selesai resepsi pernikahan, seluruh keluarga berkumpul berbagi cerita di rumah mertua. Pada saat itu jujur aku tidak berani menatap matanya dan aku yakin diapun begitu. Bahkan ketika semua kembali normal, Ani dan suaminya akan kembali ke kota domisili mereka, Ani hanya bersalaman denganku, tanpa ada kata-kata pamit. Tidak seperti yang sudah-sudah, kali ini Ani hanya pamit dengan sebuah senyum ketika tanganku menjabat tangannya.
Aku tidak mengerti makna senyuman itu.
“Kamar 221, Pak.” Ucap resepsionis cantik itu sambil menyerahkan kartu kunci kamar padaku sekaligus mengkonfirmasi kalau akulah peserta terakhir tang check ini di hotel ini.
“Terima kasih, Mbak.” Ucapku segera menuju kamar di lantai dua.
Aku jadi penasaran, baigaimana dengan teman sekamarku. Seperti apa rupanya, apa jabatannya, dari mana asalnya, dan lain sebagainya. Memang sudah menjadi kebiasaan di lingkup kedinasan bahwa Pelatihan yang dilaksanakan di hotel, pesertanya dipesankan kamar yang double bed, bahkan biasa pernah aku mengikuti pelatihan yang kondisinya harus bertiga satu kamar.
“Cklek….”
aku memasuki kamarku yang masih gelap. Itu artinya slot kunci di dekat pintu masuk masih belum diisi kartu kunci. Entah apa istilah kerennya. Kamarpun menjadi terang seketika slot kunci itu ku isi. Tetapi aku heran, kalau aku adalah peserta terakhir yang dikonfirmasi, lalu mengapa kamar ini masih kosong? Hmm…. Sepertinya ini harus dikonfirmasi ulang. Ku letakkan travel bag ku di dalam lemari dan menghubungi resepsionis.
“Halo selamat siang, dengan resepsionis di sini, ada yang bisa kami bantu?” ujar suara merdu yang terdengar di ujung telefon kamar begitu lancer mengalir.
“ini dengan kamar 221, Mbak” ucapku.
“Iya, Pak? Ada yang bisa kami bantu?”
“Begini, mbak. Saya tadi dikonfirmasi adalah peserta terakhir yang check ini, betul?”
“Betul sekali, pak”
“kalau begitu, teman sekamar saya kok nggak ada, ya?”
“Oh.. maaf, pak. Memang list tamu yang diserahkan oleh Hotel G*** memang hanya seperti itu, Pak. Artinya Bapak hanya sendiri di kamar itu.”
“Ohhh… Ya suda kalau begitu. Terima kasih, Mbak”
“Kembali….”
Sekedar infor saja, sebenarnya tempat Diklat yang kuikuti adalah di Hotel G*** sedangkan ini adalah Hotel E***. Pihak panitia dan managemen Hotel G*** rupanya kurang koordinasi karena jumlah kamar di Hotel G*** tidak cukup menampung jumlah peserta. Alhasil, beberapa peserta yang terlambat registerasi dipindahkan akomodasinya ke Hotel E*** yang berjarak tidak jauh. Di Hotel E*** sendiri tampaknya juga ada pelatihan untuk PNS yang bekerja sebagai guru karena sewaktu check in, aku banyak melihat guru-guru yang sedang bersiap mengikuti pelatihan di hotel ini.
Aku ternyata sendirian di kamar ini. Entah apakah aku harus senang atau apa. Aku hanya berharap seandainya istri dan anakku bisa ikut, pasti akan ada yang menemaniku di kamar ini. Tapi sudahlah. Toh aku akan sibuk dengan tugas-tugas selama pelatihan jadi kesendirian ini tidak terlalu menggangguku.
Waktu di dinding kamar menunjukkan Pukul 19.25 ketika resepsionis menelfon dan memberitahukan bahwa jemputan ke Hotel G*** untuk pembukaan pelatihan telah siap di depan. Aku pun langsung mengiyakan dan segera menuju ke mobil jemputan. Pembukaan berlangsung monoton seperti biasa, dilanjutkan dengan pembahasan regulasi pemerintah tentang beberapa kebijakan yang berkaitan dengan institusiku. Tentunya tidak terlalu menarik untuk harus ku ceritakan di sini. Pukul 22.30 jemputan kembali membawaku ke hotel untuk istirahat.
Setibanya di hotel, aku memilih untuk duduk-duduk di café sambil menikmati free akses wifi untuk melihat lihat timeline di BBM sambil menimati secangkit cappuccino hangat dan alunan musik lembut. Kembali mataku tertuju ke DP Ani di BBM yang sangat cantik. Posenya yang tersenyum tetapi menatap ke samping seperti model professional. Dia seperti seorang model, bukan seorang guru.
Dasar Kampungan
Itu status BBMnya. Aku tidak mengerti apa maksudnya, hingga kuputuskan untuk mengomentari statusnya.
Kenapa, Ni. Ini status kok kaya’ lagi BT
Kirim. Ku tatap layar ponsel pintarku. Petunjuknya menandakan Ani telah membaca statusku, tetapi sepertinya dia enggan membalas. Memang sejak kejadian itu, Ani seperti menghindariku. Beberapa kali ku kirimi BBM taupun WA tetapi dia tidak pernah membalasnya. Inilah yang membuatku menjadi serba salah. Ya sudahlah. Ku masukkan ponselku ke dalam saku celana, dan kembali menatap ke jalanan ibukota provinsi yang masih enggan beristirahat.
“Drrrttt”
Ponsel pintarku bergetar pertanda ada notifikasi yang masuk. Ketika ku buka, ternyata BBM dari Ani. Entah apa harus senang atau apa, ku rasakan darahku berdesir.
Ini, nih….Ibu guru sekamarku. Masa’ dia ngajakin anak-anaknya yang kuliah di sini buat nginep di kamar, jdinya kan rame gimana, gitu.
Aku segera membalasnya.
Wah….korupsi tingkat dasar, tuh. Wajarlah, mungkin orang kampung seperti saya. kapan lagi ginap di hotel, gitu
Iya. Menjengkelkan banget. Mau marah tapi gak enak. Mau di diemin malah makan ati sendiri.
Emangnya ada pelatihan, Ya?
Iya. Diklat pengembangan Kurikulum dan Media pembelajaran
Ohh….sama donk kita. Aku juga lagi pelatihan di Hotel G***
Kalau aku di Hotel E***
What...??? Ani ada di hotel ini? Apakah aku senang? Aku tentu saja senang. Darahku menggelegak dan andrenalinku sepertinya naik. Ani ada di salah satu kamar di hotel ini, dan dia tidak betah di kamarnya. Sedangkan aku dalam posisi yang sendirian di kamarku. Segaris senyum iblis pun mengambang di bibirku. Ku tatap layar ponselku sekali lagi untuk memastikan kalau aku tidak salah baca. Dan memang benar. Ani ada di hotel ini.
Aku ada di Café samping lobby.... di Hotel E***. Aku juga nginap di sini kok. Kamar di Hotel G*** penuh semua. Jadinya aku dipindah ke sini.
Tanda D segera berganti R di layar BBMku, tetapi sepertinya tidak ada tanda kalau Ani akan membalas chatku. Ku tunggu sedikit lebih lama, tetapi sepertinya masih tidak ada getaran atau tanda apapun. Hhmmm…. Entah apa dia sudah tidur atau memang tidak mau menghiraukan pesanku. Tapi aku yakin Ani tidak bisa tidur bila kondisi kamarnya berisik seperti itu. Ah, sudahlah. Aku menhela nafas dalam-dalam. Sepertinya harapanku memang harus ku kubur dalam-dalam untuk kembali memadu birahi dengan Ani malam ini.
“Kang…..”
Aku terlonjak dan menoleh. Di belakangku Ani mampak sangat cantik malam ini. Dia mengenakan piyama yang sama dengan waktu itu dibalut oleh jaket berbahan jeans dan jilbab warna krem yang lembut. Dia tersenyum dan kemudian duduk di depanku. Ah, Ani. Entah mengapa lapar mataku tak habis-habisnya memandang keindahan Tuhan yang di titipkan padanya.
“Ni…..?” ujarku masih seakan tidak percaya. Seperti ada rindu menahun yang terpuaskan, lebih tepatnya rindu akan hasrat yang lain. Ani tersenyum dan memesan kopi panas. Kami lalu terdiam dalam lamunan masing-masing. Ani menatap keramaian jalan ibukota profinsi sedangkan aku sibuk memperhatikan kakak iparku ini. Sebenarnya Arni, istriku masih lebih cantik dari Ani. Hanya saja Ani memiliki sex appeal yang lebih besar dari Arni.
“Kamu agak kurusan ya, Kang” kata Ani sambil menatapku. Aku hanya tersenyum. Entah kenapa suasana ini justru sangat canggung. Seolah aku tidak memiliki keuatan untuk lebih mencairkan suasana.
“Gimana kabarnya Arni?” tanyanya.
“Arni Baik, Aku juga baik….” Kataku.
“Ah….gak nanya”
“Sapa tau aja nyari info, gitu”
“Gak butuh deh kayaknya” kata Ani sambil menyeruput kopinya. Aku memanyunkan bibirku.
“Eh…jadi gimana sama si ibu itu?”
Ani menghela nafas.
“Iya, nih….malah tadi ke resepsionis katanya semua kamar udah penuh gitu…..”
Senyum iblisku mengembang. Aku dan Ani sama-sama dalam penugasan dinas, dan secara kebetulan aku dan Ani kini sehotel. Malam ini, kebetulan lagi Ani tidak betah di kamarnya dan kebetulan aku hanya sendirian di kamarku. Ani menuju resepsionis untuk memesan kamar kosong dan kebetulan lagi, seluruh kamar di hotel ini telah penuh. Entah mengapa semua kebetulan ini terasa sangat menguntungkanku. Ah, otakku hampir meledak karena perasaan senang yang menggelegar di dada.
“Ah….masa sih penuh semua, Ni”
“Iya…..gak percayaan amat sih” Ani menjadi sewot menatapku. dia menyandarkan punggungnya di sandaran kursi. dan kembali menyibukkan dirinya dengan ponsel pintarnya.
“Kamarku masih kosong, kok Ni.” Kataku. Dia manatapku seolah gak percaya. Lalu dia tersenyum mengejek.
“Yeee….. pasti pikiran kamu udah gak jernih lagi, ya? Mana ada peserta pelatihan tidur sendirian di kamar double bed. Kamu pasti ada maunya lagi, kan?”
“Serius, Ni. Jadi ceritanya gini. Tadi waktu chechk in di sana, ternyata over kapasitas. Trus berapa peserta dipindahkan akomodasinya ke sini. Dasar aku check in nya telat, ternyata cuman sendiri aja”
Ani terdiam. Sepertinya dia sedang meneliti celah kebohongan di wajahku, tetapi ku yakin dia tidak akan mendaptkannya. Lalu kemudian di kembali menyeruput kopinya. Kami kembali terdiam menikmati alunan musik lembut dari band pengiring. Udah pukul 23.08 malam. Ani sudah mulai menguap. Ku hidup nafas panjang, dan ku beranikan untuk mengucapkan ini.
“Ayo, Ni. Kamu ikut ke kamarku aja. Aku juga udah ngantuk….”
Ani tertegun menatapku yang sedang bangkit. Lebih baik ku tinggalkan dia dengan fikiran dan pertimbangannya. Ketika memasuki lift, kembali ku pandang Ani di café. Dia tidak lagi memandangku melainkan kembali memandang jalan ibukota provinsi yang masih ramai. Aku tidak tau apa yang sedang berkecamuk di kepalanya, tetapi aku hanya berharap dia mau datang ke kamarku. Aku berusaha agar tidak dalam posisi memaksanya, tetapi aku sangat berharap dia mau menerima tawaranku.
Sesampainya di kamar, ku rebahkan tubuhku di kasur sambil menonton televisi. Siaran langsung Liga Premier Inggris berlangsung sangat seru, tetapi kini otakku tidak menikmati siaran itu. Pikiranku masih melayang-layang tentang pertemuan kami tadi, serta segala kebetulan yang kami alami, hingga kemudian aku dikejutkan dengan getar di ponselku.
“Drrttt……” sebuah notifikasi chat BBM. Kubuka BBM ku dan inilah chat yang ku tunggu.
Kamar nomer berapa?
Segera ku balas dengan cepat.
Nomer 221 di lantai dua.
Ku kirimkan balasan dengan hati berdebar kencang. Ku tunggu ketukan dipintu itu dan rasanya lama sekali. Semenit serasa sejam. Serasa sesak di dada. Hingga akhirnya suara ketukan yang kunanti terdengar juga. Pelan dan konstan.
“Tok…tok…”
Segera tanpa membuang banyak waktu aku mnuju ke pintu dan membukanya. Tampak lah Ani di depan pintu dengan wajahnya yang syahdu. Hasrat dalam diriku menginginkan aku segera menarik dan memeluknya, tetapu justru yang terjadi adalah kami malah berdiri mematung dan saling menatap satu dengan yang lain. Tetapi tatapan matanya yang sayu dan nafasnya yang mulai berat mengisyaratkan kalau sebenarnya dia telah siap untuk menerima sesuatu yang lain.
Ku dekatkan wajahku ke wajahnya dengan gerakan yang sangat lambat. Kepalanya sedikit mendongak mensejajarkan bibirnya dengan bibirku ketika bibirku sudah mendekat, namun ku hentikan sejenak gerakanku, hingga kemudian ku lihat Ani mulai meredupkan matanya.
Cup…..
Sebuah kecupan ringan kudaratkan di bibirnya yang ranum. Matanya terpejam dan bibirnya terbuka. Nafasnya yang berat menandakan libidonya telah naik. Kuulang lagi kegiatanku. Ku kecup beberapa kali bibirnya dengan intensitas semakin liar, hingga akhirnya jadilah kami saling melumat dengan buas di depan pintu kamar.
“Mhhpppphhhh…..ssllrrppp……”
Suara dari rongga mulut yang berpadu dengan liur dan permain lidah memenuhi lorong hotel ini. Ku Tarik Ani perlahan masuk kamar dan menutup pintu tanpa melepaskan lumatanku. Kedua tanganku memegang samping kepalanya sedangkan Ani merangkul pinggangku dengan erat.
“Ccrrppp….slrrullppppp…..hhmmppppphhhh…..”
Tidak ada rasa bosan dan lelah melumat bibir kakak iparku yang sebenarnya lebih muda dariku ini meskipun telah sebelumnya kulakukan itu. Tanganku mulai turun dari kepalanya dan mulai menggerayangi setiap inci tubuhnya yang masih terbalut jaket jeans. Ani juga sangat bernafsu melumat bibirku. Terkadang lidahku dikulum dan disedot sehingga rasanya seperti tertarik keluar. Aku tidak tau apakah kata-kata yang kuungkapkan sudah menggambarkan situasi panas saat ini.
“Mppppp……..aahhhhh……” Ani menghela napas panjang ketika ku lepaskan ciumanku. Aku tersenyum padanya dan kubuat senyumku semanis mungkin.
“Aku kangen kamu, Ni” kataku sambil menggenggam tangannya.
“Aku juga, Kang.” Katanya. Lalu perlahan ku tuntun dia untuk duduk di pinggiran ranjang. Dia hadapan Ani yang sedang duduk, ku buka semua pakaianku dan kutelanjangi diriku di depannya. Ku lihat dia menatapku dengan tatapan dalamnya yang memabukkanku. Ketika semuanya telah lepas, ku hampiri Ani yang duduk lalu kami berciuman kembali. Aku yang berdiri agak membungkuk sedangkan Ani mendongakkan wajahnya ke atas. Kami kembali saling melumat, memilin dan menggigit. Tanganku menyelusup di balik jaketnya dan membelai kedua gundukan dada yang menggemaskanku sedankan tangan kanannya juga sudah menggenggam senjataku yang telah tegang masksimal.
“Sshhhh….Kanggghhh….udahhh…..kerasss bangettttnihhh…..” katanya sembari mengocok pelan senjataku. Aku hanya berdiri terdiam menikmati kocokannya. Gerakannya yang kaku dan kasar sepertinya memberitahukanku kalau dia tidak terbiasa melakukannya. Ku perhatikan dengan saksama ekspresi Ani ketika mengocok senjataku. Kagum dan melongo, mungkin begitu. Hingga sepertinya gerakan tangannya sudah mulai halus dan lancar. Nikmatnya pun sudah mulai maksimal.
“Ni…..kamu pintarrhhhh……..Jadi tambahh nafsuhhhh sama kamu….” Ujarku sambil menggelitiki belakang telinganya pelan dengan membuat gerakan seperti menggaruk tapi dengan sangat lembut.
“Shhhh…..ihhhhh….Kanggghhhhh…….” Ani menggerak-gerakkan kepalanya sambil tetap mengocok barangku. Ingin sekali ku tuntun mulutnya untuk mengulum penisku, tetapi aku takut justru akan merusak suasana hingga ku biarkan saja ia menikmati mainan barunya.
“Kangghhhh….basahh nihhh……”ujarnya semakin bernafsu. Dengan gemas Ani menggenggam erat senjataku hingga urat-uratnya menonjol keluar. Wow….aku sendiri kagum melihat senjataku dalam genggaman tangannya yang mungil. Ku perhatikan wajahnya, sepertinya dia mulai penasaran untuk merasakan batangku di dalam mulutnya. Dan benar saja apa yang ku duga.
Cup……
Ani mencium kecil kepalanya lalu ia menatapku dengan tersenyum. Secara fisik memang tidak berasa, tetapi sensasinya itu membuat hasrat kenikmatanku menjadi berkali lipat. Ani yang kurindukan, mencium batangku dengan masih mengenakan jilbabnya. Merinding sekujur permukaan kulitku.
“Ani….kamu nakall……”
Hap…..akhirnya masuk juga senjataku ke dalam mulutnya yang mungil dan seksi itu. Ohhh…nikmatnya tak terkira. Pada awalnya Ani hanya mendiamkannya saja lalu kemudian ia memainkan kepalanya seperti mengemut permen.
“Niiiihhhhh……mantapppphhh Niiii…..” ujarku membelai kepalanya yang masih berbalut jilbab itu. Rupanya desahku seakan memberinya tenaga tambahan sehingga Ani mulai memaju mundurkan mulutnya. Gesekan lidah dan sedotannya itu membuat tubuhku memanas. Aku sangat gemas melihat tingkah wanita cantik ini. Ani terlihat sangat menikmatinya.
“Hinganga, Hang…..?” tanyanya sambil tetap mengulum senjataku.
“Mantap, NI….Ohhhhh…..” ujarku sambil memberinya jempol. Ani hanya tersenyum lalu kembali melanjutkan kegiatannya. Kalau lama-lama seperti ini pertahananku bisa jebol rupanya. Ini harus dihentikan.
Ku tuntun Ani untuk melepas senjataku dari mulutnya dan ku berdirikan menghadapku. Ku peluk dia dengan lembut dan ku belai seluruh permukaan punggungnya. Aku lalu membuka jilbabnya dan dia memmantuku. Rambutnya sedikit lebih panjang dari waktu itu, tetapi tetap lembut dan wangi. Aku tidak tahan lagi, dan ku dekatkan kembali bibirku dengan bibirnya. Kami kembali berciuman dengan ganas. Ku lumat kembali bibirnya yang penuh dengan liurnya dan cairan semenku.
“Sllrrpphhh….Hooowwhhh……” kami mendesah dalam panasnya ciuman kami seolah ada dahaga hebat yang membutuhkan pemuasan tuntas. Sensasi menjilat bibir Ani yang masih berbalut lipstick tidak mempengaruhi gairahku sama sekali. Tanganku menggerayangi tubuhnya di balik pakaian lengkapnya sedangkan tangannya terus mengocok senjataku dengan gemas.
Perlahan ku buka kancing Ani sambil masih tetap melumat bibirnya. Ani mengerti lalu melanjutkan dengan membuka jaketnya hingga tubuh bagian atasnya hanya menyisakan BH putih saja yang membalut gundukan mungil payudaranya. Ku lepaskan ciumanku lalu ku tatap matanya. Kami saling tersenyum dan kali ini senyumannya agak nakal.
“Ni….Kalo Papanya Faqih yang buka bh kamu biasanya bagaimana?” tanyaku.
“Gaak pernah. Aku terus yang bukain” katanya.
“Wah….rugi tuh….coba lihat ini…..” kataku sambil meraih kancing bhnya. Dan….hap….cukup butuh waktu sedetik kancing bhnya sudah terlepas.
“Wahhh….” Ani melongo menatapku seakan tidak percaya. Dia tersenyum dan geleng-geleng kepala. Ku lepaskan bh nya dan ku lemparkan ke atas ranjang.
“Biasalah, bukain bhnya Arni kalo kita lagi kebelet main dadakan hehehe…..” jawabku. Sambil kembali meraba susunya yang ranum. Ani mendesah pelan.
“Sshhhh…..uuhhhhh…..” desahnya sambil membelai rambutku dengan lembut. Ku rendahkan wajahku hingga bibirku sejajar dengan putting kanannya.
Cup…… ku kecup lembut putingnya.
“Oohhhh…..” Ani terpancing. Tangannya meremas rambutku. Ku tebarkan jilatanku mengelilingi areolanya dan sesekali memilin putingnya. Desahan Ani berubah menjadi erangan. Aku menyusu dengan penuh nafsu sedangkan tangan kananku memainkan putting kirinya dengan gemas. Jariku menyentil-sentil putingnya disamakan temponya dengan permainan lidahku.
“Oouwhhhh…oouuwwhhhh…..Kaaanggghhhh……. jilatinnnn laggiiiihhhhh…….iyaaa….gituhhhh…..” racaunya. Dengan semangat tinggi ku ganti dada kanannya yang kini kulahap dengan rakusnya. Ku sedot putingnya dengan lahap. Ani sangat menikmati permainanku hingga tangannya tidak lagi meremas rambut tetapi memeluk kepalaku. Aku semakin bersemangat.
“Kaangggg……..Mauhhh nihhhh…….Aaaaawwwhhhhh……” Ani menjerit kecil lalu jatuh bersimpuh di lantai membuat kulumanku terlepas. Dia orgasme rupanya.
“Hi..hi…hi…aku dapethhhh kanggghhhh……” Ucap Ani cekikikan menatapku. Ku angkat tubuhnya dan ku baringkan di ranjang. Ku tatap jam, sudah pukul 01.18. hhmm….sepertinya harus begadang lagi sepanjang malm. Ani terbaring terlentang pasrah menunggu untuk aksi selanjutnya. Aku menaiki ranjang dan memposisikan diriku di sampingnya. Ku buka pahanya agak lebar dan dia menurut saja. Ku raba gundukan bukit di selangkangannya dengan lembut.
“HHmmmmm……ssshhhhh…..Kangghh…..kamu pintar bangetthhh…..” pujinya di sela desah beratnya. Aku tersanjung mendengar pujiannya. Ku Tarik perlahan celana piyamanya sekalian dengan celana dalamnya. Ani mengangkat pantatnya untuk membantu memudahkanku melapaskannya. Tak butuh waktu lama untuk membuatnya kini telah bugil di hadapanku.
“Wowhhh….Ni….Tubuhmu bener-bener…..” pujiku.
“Jangan gitu ah, Kang….Ani malu….” Ujarnya tersenyum.
“Kaukah itu, Ani….” Candaku menirukan suara khas bang Haji. Ani tertawa cekikikan melihat tingkahku. Ku posisikan diriku di sela pahanya. Mataku terpana menatap vagina yang mulus merekah basah mengkilap. Lidahku kelu untuk menggambarkannya dalam bentuk kata. Rambutnya sepertinya baru selesai dicukur habis sekitar tiga hari lalu. Belahannya begitu menggodaku. Klitoris yang mengintip di bagian atas belahan itu sangat indah.
“Kaanggg…..” Ani merajuk menyadarkanku dari lamunan panjang akan kekagumanku. Ku belai kedua pahanya dengan lembut.
“Sshhhh….ihhhhh…..kaangggghhh…..” Ani kembali meracau apalagi ketika rabaanku menyusuri betis kirinya, daerah sensitifnya. Ku lihat celah itu bergerak menyempit dan mengeluarkan lender bening. Ohh….betapa indah tubuhmu, Ani. Aku tidak tahan lagi. Kudekatkan bibirku di celah itu, dan ku kecup perlahan.
“Aahhhh….Kanggghhh…….” Ani menggeser pantatnya. Sepertinya dia terjut dengan aksiku. “Jangan ahhh…kanggg…….Ani maluuu……” ucap Ani pelan sambil menutup celahnya dengan kedua tangannya.
Aku tersenyum dan menyingkirkan tangannya.
“Emang sama Papanya Faqih gak pernah?” tanyaku. ANi mengangguk lemah. Aku kembali tengkurap di celah selangkangannya. Ku kecup celah basah itu pelan. Ku jilat perlahan. Rasanya gurih tak terlukiskan. Ani melenguh.
“Shhhhh….ooooouuuwwwhhhhhhh……..” dia menggelinjang hebat tapi aku tidak peduli. Ku lumat bibir bawah itu seperti ketika kulumat bibir atasnya.
“Kaaannggghhhh……..Aahhh….ahhhh….aaauauuuhhhwwww…….”
Tubuh Ani terlonjak-lonjak menggoyang ranjang tempat kami memadu syahwat. Ku angkat kedua kakinya di bahuku agar mulutku bebas mengeksplorasi daerah itu. Ku jilat klitorisnya dan sesekali menusuk masuk dengan lidahku lalu menngobok-obok liangnya. Ani semakin kelojotan tidak karuan menerima perlakuanku.
“Ahh….Ahhh….Kanggg…….Brengghhhsseekkkkhhh kammuuuhh……” Racau Ani. Ku rasakan panggulnya menegang menjepit kepalaku. Sepertinya dia akan orgasme lagi. Semakin semangat ku jilat celah basah itu sesekali mencucup klitorisnya. Entah bagaimana basahnya wajahku sekarang. Aroma kewanitaan Ani ternyata menjadi sumber tenagaku. Aku bertekad Ani harus mendapatkan orgasme melalui gaya ini. Kedua tanganku menjulur ke atas merain buah dadanya. Ku pelintir kedua putingya itu. Tak ku sangka Ani berteriak kencang.
“Kyyyaaaaawwwhhhhh…..Aaahhhhhh……..Shhhhooooohhhhhh”
Ani menggeliat tegang. Tubuhnya terangkat seperti sedang kayang. Kepalku di jepitnya dengan erat. Kakinya bergetar. Orgasme yang luar biasa. Hingga beberapa saat kemudian tubuhnya jatuh ke ranjang dalam kondisi sudah lemas. Kakinya kembali terkangkang hingga kepalaku bebas dari himpitannya. Ku perhatikan cairan putih kental merembes pelan keluar dari celah itu. Indah sekali. Ku alihkan pandanganku ke wajahnya yang cantik. Matanya terpejam dan alisnya mengkerut. Mulutnya menganga masih mengeluarkan desahan pelan. Pantatnya bergoyang-goyang pelan. Sepertinya orgasme ini begitu dinikmatinya. Tetapi aku tidak akan memberinya waktu istirahat.
Ku kangkangkan kakinya yang sudah lunglai dan segara ku jepit klitorisnya dengan jempol dan telunjuk kiriku. Ani yang lemah terlonjak. Ia kembali menjerit tertahan.
“Kaangghhhhh……Tolongghhhhh….udahhhhhh……”
Tidak. Aku tidak akan mengabulkannya. Ku jilat lagi klitoris yang ku jepit itu, sambil sesekali ku getarkan lidahku keiri dan ke kanan dengan cepat. Ani semakin kelojotan. Ia mendesah, lebih tepatnya merintih. Ia kini mengemis padaku, tapi maaf, aku tidak akan mengbulkannya.
“Kaangggghhhh……Kammuhhh jahaathhhh….akkuwhhh….bencchiiiiihhh……Oooouuwwwhhhhh……” Ani meracau dengan liar. Apalagi ketika dua jariku mulai masuk dan mengorek liang surgawinya bekerjasama dengan jilatanku pada klitorisnya. Tubuh ani semakin bergetar. Sisa orgasme dahsyat yang menerpanya semakin memberikan efek nikmat bagi tubuhnya yang sedang ku lecehkan.
“Kangghhhh…..tolooongghhh……akuhhhh….ggaakkk…..Kua….aaaaawwwhhh…..”
Ani menjerit dan berteriak kecil ketika kukocokkan jari-jariku keluar masuk vaginanya. Kecipak lender yang terus merembes keluar membasahi jari-jariku dan merembes ke telapak tanganku. Sementara Ani semakin terguncang. Dia menggelinjang karena perlakuan ini, tetapi ku kuatkan konsentrasiku untuk mempertahankan ritme kocokan jariku di selangkangannya. Bibir vaginanya membengkak dan semakin becek, tetapi gurih ku rasakan. Aku terus menjilati klitorisnya sambil mengocok celah yang lembab dan becek itu.
“Brengghhhsekkk kamuhhh….Kanggghhh……Akku…..benccciiihhhhhh kammuuu….”
Ani meracau dan gelinjangnya semakin kuat. Tubuhnya kembali bergetar dan mengejang. Sepertinya dia akan menjemput orgasme ketiganya malam ini. Ku pertahankan kecepatan kocokanku dan kini ku gigit kecil klitorisnya, untuk memancing orgasmenya keluar. Dan benar dugaanku, tubuhnya kembali terlonjak dengan hebat, kepalanya bergerak tidak karuan. Ani kembali orgasme.
“Aaaaakkkhhhhh…….Oooouuuwwhhhhhh……….Kaaanggghhhhh…..Dapppettt lagiiihhhh……”
“Serrrr……”
Ku cabut jariku seiring squirtnya menyirami mukaku. Wow…..ini adalah pengalaman pertama yang luar biasa. Barusan kali ini wajahku terkena kencing perempuan dewasa dan ini rasanya sulit digambarkan. Ku lihat Ani seperti terkena penyakit ayan. Dia mengejang untuk beberapa saat dan terus mengeluarkan racauan. Matanya terpejam dan bibirnya terus menganga. Sepertinya dia tidak sadar kalau liurnya meleleh dari sudut bibirnya.
Aku bangga.
“Kangg…..aku pipis lagi, ya?” Tanya Ani lemah. Aku bangkit dan tersenyum padanya.
“Iya. Di mukaku lagi. Nih…” Kataku tersenyum sambil menunjuk mukaku. Ani tersenyum memelas manja.
“Maaffhh……” ucapnya pelan dan suaranya dimanjakan. Aku mengangguk. “Kangg….Maaf, sepertinya aku udah gak kuat lagi……” lanjutnya. Aku tersenyum padanya. “Maaf, yah…..” ucapnya lagi. Aku mengangguk.
Aku mengalah. Meskipun aku merasa ada yang menggantung, toh kepuasan hatiku telah tercapai. Aku telah kembali membuatnya mengeluarkan ekspresi termahal seorang perempuan. Aku mengecup keningnya lalu segera bangkit meninggalkannya yang terkapar lemas. Ku langkahkan kakiku ke toilet dan ku cuci mukaku di wastafel lalu kuhampiri dia dan berbaring di sampingnya. Ani membuka matanya sambil tersenyum dan memelukku dengan hangat. Kembali kami berciuman dengan penuh gairah. Entah mengapa berciuman dengan Ani tidak membuatku bosan.
Kalian jangan salah, aku tidak pernah bosan berciuman dengan istriku Arni. Hanya saja salah satu kelemahan Arni adalah ciuman yang panas sudah harus berakhir dengan klimaks. Bedanya dengan Ani, kami bisa berciuman dengan panas lalu melepasnya kembali untuk ‘kegiatan’ lain.
Kami melepaskan ciuman hangat kami setelah merasa kehabisan nafas. Aku memeluk tubuh telanjang Ani. Ani menyandarkan kepalanya di dadaku dan sesekali mempermainkan putingku dengan jarinya. Untuk beberapa saat kami kembali terdiam.
“Kang….?” Ani memecah kesunyian.
“Ya?”
“Kamu Jahat. Aku benci sama kamu…..” ucapnya pelan. Aku mendengar isak darinya. Ku belai rambutnya dengan lembut dan Ani semakin mengeratkan pelukannya.
“Kamu udah bikin aku kaya’ gini, Kang…..Kamu jahat banget….aku benci…..hiksss….hiksss…..” ucapnya sambil memukul pelan dadaku. Aku terdiam. Senjataku yang tadi tegang kini telah mulai mengendur. Sepertinya malam ini dia tidak perlu bekerja. Bercinta seperti ini saja sudah membuatku sangat puas.
Tangisan Ani semakin terdengar…. Pilu dan menyakitkan. Aku menjadi salah tingkah dalam pelukannya tapi dia tidak menarik dirinya dari pelukanku.
“Aku cinta banget sama Papanya Faqih, Kang…..Aku benci sama kamu…..” ucapnya pelan.
“AKu benci caramu cium aku. Aku benci caramu menyusuku. Aku benci caramu bikin Aku orgasme berkali-kali. Aku benciii….”Isaknya memukul-mukul dadaku belan. “Aku benci saat ini, Kang….keadaan ini, ketelanjangan kita… Sumpah aku benci banget….” Lanjutnya masih terisak. Aku terdiam mencoba menganalisa ucapannya. Dia membenci situasi ini, tapi dia begitu menikmatinya. Aku tidak mengerti. Tetapi aku tetap terdiam hingga kemudian tangisnya perlahan mereda. Dia kembali memelukku erat. Kakinya di silangkan di kakiku hingga bisa ku rasakan pahaku menjadi basah ketika bersentuhan dengan vaginanya.
“Aku benci, Kang….kenapa harus kamu yang bisa bikin aku melayang nikmat kaya’ gini….kenapa bukan papanya Faqih aja….” Lanjutnya dengan suara yang sudah terdengar stabil. Kembali ku kecup kepalanya.
“Emangnya papanya Faqih gak perkasa, ya….?” Tanyaku. Ani mengangkat kepalanya dan mempelototiku sepertinya dia tidak senang dengan pertanyaanku.
“Enak saja, kamu kang….. Papanya Faqih itu perkasa…..dia juga bisa bikin aku orgasme dua tiga kali……cuman mainnya aja yang polos…. Kalo sama kamu variasinya banyak…..dan kamu juga sabar. Kamu gak malu menyusu di dadaku. Papanya Faqih hanya menyusu sekali ketika asinya Faqih gak lancar. Setelah konsul di dokter, papanya Faqih yang disuruh nyusu dulu. Itu aja” ucapnya.
“Pantas aja Arni nyusuinnnya lancar. Abisnya aku dari malam pertama udah ambil jatah minimal sejam sehari ngenyotnya, hehehehe…..” ucapku agak nakal. Ani mencubit lenganku gemas.
“Kamu juga gak malu main oral sama aku. Sama kamu yang pertama, lho, Kang…. Papanya Faqih pernah mau jilatin punyaku tapi ku larang. Aku malu. Eh…giliran sama kamu malah sampe digigit segala.”
“Ohhh….jadi GR dehh hehehehe…..” Ujarku. Kami kembali terdiam. Hanya nafas kami dan detak jam yang terdengar.
“Kang…..”
“Ng”
“Gimana nih…kamu kan belum tuntas” tanyanya.
“Gak Pa pa, kok. bener deh….”
“Tapi aku dak enak sama kamu. Udah dibikin keluar tiga kali tapi belum sempat ngebales kamu.”
“Gak pa-pa, kok. Kalo emang jodoh, pasti bakalan ada waktu lagi, kok. Nyante aja”
“Iya….Makasih ya, Kang……”
“Iya, Ni……”
“Met bobo, Kang…..”
“Met bobo juga, Kakak Iparku”
“Iya, adik iparku yang mesum, nakal, cab…..”
“Udaahhhh….udah jam dua lho ini.”
“Iya hehehe….”
Cup…..sekali lagi bibirnya mendarat di keningku, dan lampu tidurpun dimatikan.
Aku membuka mataku seiring sensasi geli-geli nikmat di daerah selangkanganku semakin nyata. Ani yang semalam tertidur dalam pelukanku kini tidak kudapati lagi. Ku sapukan pandanganku ke seluruh isi kamar hotel, hingga ku dapati Ani telah berada di sela kakiku dengan pemandangan yang langsung mengisi tenagaku. Ani sedang sibuk mengulum senjataku yang seiring bangunku juga sudah mulai menegang maksimal. Aku tidak percaya Ani melakukan ini, tetapi Mau tidak mau inilah kenyataannya.
“Niii…..Kamu nakall…..” ucapku diantara desah. Ku tatap jam telah menunjukkan pukul 04.23 berarti kami hanya tidur sekitaran dua jam saja. Ani menatapku sambil tersenyum tanpa sedikitpun mengendurkan permainannya. Wow…..rupanya Ani memiliki sisi-sisi binal ang selama ini tertidur, tetapi pada pagi ini, sisi kebinalan itu telah terpancing.
“Kamu udah bangun, Kang…..?” Tanya Ani setelah melepaskan senjataku dari mulutnya. Bibirnya yang seksi belepotan liur dan semenku. Luar biasa. Ani lalu menaikiku dan mengangkangkan kakinya. “Buat bayar hutang semalam…..” bisiknya sambil menggigit bibir bawahnya.
Perlahan Ani memposisikan batangku dengan celahnya yang sudah sangat becek. Aku tidak tahu sejak kapan Ani terbangun dan memulai pekerjaannya, dan aku tidak peduli. Yang ku tahu hanyalah sekarang batangku itu mulai tertelan perlahan ketika Ani menurunkan pantatnya dengan pelan.
“Uoooowwwwhhh…..Mmmmmm…..Kaanggghhhh…..” Desah Ani perlahan ketika dengan lancarnya dia memasukkanku ke dalamnya.
“Shhhh……hangat, Ni….” Bisikku.
Ani menunggangiku dan menopangkan kedua tangannya di dadaku. Tubuhnya melengkung dan kepalanya tertunduk. Perlahan ia mulai menggoyangkan pinggulnya dengan gerakan memutar. Entah putarannya searah jarum jam atau berlawanankah aku tidak peduli. Nikmat sekali.
“Ihhhh….Kanggghhhh…… Shhhhhhh…..” Ani mendesis dan mendesah. Dia seperti seseorang yang baru saja mengunyah cabai seliter. Liurnya menetes dan itu sangat seksi. Tangannya tidak mau ketinggalan, dia mencubit kedua putingku dengan gemas.
“Ohhh….pelannn Nii….sakitt nihhh…..”
“Bodo’ amathhhh….Ahhhh…..Sapa suruh udahh…..bikin Anii….binal gini…..Ahhhh……” racaunya. Ku belai kedua pahanya yang menjepit panggulku dengan lembut dan sedikit menggaruknya pelan. Ani kelojotan dan gerakannya mulai kacau. “Bangsatthhhhh…kamu….kanghhh….” racau Ani.
“Kamu juga, Niii….hhhh…..”
“Akuhh…..Kenapahhhh Kangghhh……?”
“Kamu binalhhh……Nakalllhhh….”
“Aaaawwwwkhhhhhh……..ooooohhhhhwwwww……”
Ani mengejang-kejang orgasme. Tubuhnya melengkung dan goyangannya menjad patah-patah tidak beraturan. Ku rasakan di dalam sana semakin hangat dan basah.
“Akuuhhhh dappetthhh Kanggghhh……” ujar Ani pelan lalu merebahkan tubuhnya di atas tubuhku. Ku ciumi ubun-ubunya sambil mencoba untuk mengambil alih. Ku goyangkan pantatku naik turun dengan perlahan untuk memberinya kesempatan meresapi orgasmenya. “Duhhh….Kanghhh….. “ racaunya. Ku dekap erat punggungnya lalu mulailah ku sodok dia dari bawah dengan gerakan cepat.
“Kyaaaaaahhhhhhh…..oohhhh….ohhhh….ohhh…..”
Ani menjerit keras ketika ku lancarkan seranganku. Ku atur nafasku dan ku goyangkan pantatku dengan tempo cepat. Lorong yang licin dan lembab itu terasa sangat nikmat ketika aku keluar dan masuk dengan cepat. Ku rasakan ada yang terus merembes keluar dari dalam vagiananya tetapi aku tidak peduli karena yang penting dia harus mendapatkan kenikmatan maksimal dari ini. Udara yang sejuk dari AC sudah mulai dikalahkan oleh peluh kami yang kini mulai menetes.
“Iiiiihhhhh…..Kaanggggghhhh…….”
Ani terus meracau tidak karuan di tengah suara kecipak kelamin yang beradu. Masih ku pertahankan kecepatanku dan ku tingkatkan konsentrasiku. Pola pernafasanku ku atur sedemikian rupa agar Ani bisa kembali orgasme. Hingga akhirnya kembali ku rasakan kedutan di dalam sana semakin kencang. Ani akan segera orgasme, jadi ku kencangkan otot kegelku dan ku tambah kecepatan goyanganku.
“Aaaaakkhhhhhhhh……..Kaanggghhhhh….mauuhhhh lagggiiii…..Iiiiihhhhh…..”
Ani meracau tidak teratur. Tetapi suaranya yang manja justru semakin membangkitkan semangatku. Aku mendengus sambil berkonsentrasi mengolah nafasku dan tetap mempertahankan kecepatanku. Pokoknya Ani harus orgasme lagi. Ani yang sudah sangat pasrah terus merintih menahan kenikmatan yang terus menderanya. Akhirnya keteguhan hatikupun terbayarkan. Ani kembali orgasme.
“Kyaaahhhhhh…..Aaaakkkhhhhhhhh…..Kaaannggghhhh…..dapppetthhhh lagghhiiiihhhh…..”
Ani menjerit menyambut orgasmenya. Ku rasakan banyak sekali basah yang ku rasakan merembes di dalam sana. Ani lalu bangkit melepaskan dekapku dan mencabut senjataku bersamaan dengan squirt yang memancar dari dalam celahnya.
“Seerrrrrr…….”
“Ooouuuuggghhhhhh…..Maaf Kaaangggghhhhhh……..”
Ani ambruk di sampingku sementara selimut dan kasur yang kami tempati sudah mulai lembab. Aku lalu bangkit dan membopong Ani untuk menungging d lantai yang berlapis karpet tebal dan lembut. Ani yang sudah lemas, pasrah menurut apa mauku. Dia pun menungging memperlihatkan lubang pantat dan celah vagina yang bengkak dan becek. Ani yang lemas meletakkan kepalanya di karpet, sehingga posisinya lebih seperti orang yang bersujud. Ku arahkan senjata kebanggaanku ke dalamnya. Tanpa banyak rintangan, senjataku menyelinap masuk dengan perlahan.
“Ohhhhh…..Hangatt Nii…..” Racauku.
“Shhhhh…..Kaangggghhhhh…….manntttahhaaappphh…..” balas Ani tetap dalam posisinya tapi mengangkat pelan jempol kanannya. Pandangaku menyenggol jam dinding, Sudah pukul 05.20-an. Wah, ini harus cepat diselesaikan, karena jadwal yang agak padat hari ini. Ku goyangkan senjataku keluar-masuk dalam tempo sedang, dengan pola empat-satu.
Maaf pemirsa. Pola permainan sex ini adalah istilahku untuk mengistilahkan bentuk “serangan” dalam setiap permainan. Pola empat-satu adalah pola serangan empat kali menusukkan senjata hanya setengahnya dengan lembut lalu dilanjutkan dengan satu kali menghujamkannya dengan keras dan cepat sedalam-dalamnya lalu diulangi lagi dari awal. Pola ini telah terbukti membuat istri saya bisa orgasme dua kali dalam tempo kurang dari sepuluh menit.
“Owwhhhh…..Owwhhhhhh…..Aaaakkkkhhhh……”
Ani menjerit tertahan menghadapi seranganku. Tangannya mencengkram bulu permukaan karpet. Sepertinya dia tidak menyangka aku akan mengatur genjotanku sedemikian rupa, tetapi aku tidak peduli. Kini ku cengkram kedua bongkahan pinggulnya lalu kembali kusodok dia tetapi dengan tempo yang sedikit lebih cepat dengan pola yang biasanya.
“Aohhhh….Awwhhhh….Kaaanggghhhhh…….”
Ani menjerit, lebih tepatnya merintih. Tubuhnya terlonjak-lonjak menerima seranganku. Dan kini sudah mulai ku rasakan pangkal pahaku semakin sensitive dan semakin geli. Rupanya orgasmeku telah mendekat. Aku bisa merasakan senjataku agak membesar hingga Ani menjerit semakin keras dan intens.
“Kaaanggghhh…..Mauuuhhhh…..Lagiiiii…….”
“Aku jugahh…….”
“Diii dalemm ajjjaahhhhh Kaangggghhhh…..Oooohhhhhh……”
Aku menggeram gemas dan orgasmeku semakin mendekat. Ku rebahkan Ani menelungkup tanpa menghentikan goyanganku. Ani menurut dan jadilah Ani menelungkup di bawah tindihanku. Posisi ini membuat celahnya lebih sempit.
“Aaaaakkkkhhhhh……Kaaaanggghhhhhh……”
Ani kejang-kejang. Dia orgasme lagi hingga kejangnya agak mengganggu seranganku, tapi ku coba untuk tidak menghentikan seranganku karena sebentar lagi ku rasakan senjataku akan segera meledak. Dan benar saja, orgasmeku meledak di dalam liang senggamanya.
“Ohhhhhhh…..Aniiiii……….”
Ku tembakkan peluruku entah berapa kali di dalam liangnya dan ku peluk ia dari belakangnya, hingga kemudian aku lemas dan menindihnya.
“Hhooooohhhhhh……..” Ani menghela nafasnya dengan berat. ku posisikan tubuh kami berbaring menyamping tanpa melepas peraduan pelaku senggama kami. Ani kini berbaring miring membelakangiku yang memeluknya. Keringat kami yang bercampur tidak menjadi masalah lagi. Ku rasakan denyutan di dalam sana masih kencang. Untuk beberapa menit kami kembali terdiam hingga nafas kami kembali normal.
“Makasih ya, Ni….. Kamu udah bangunin aku…..”
“Iya, Kang….namanya juga bayar hutang hehehe…..”
“Kamu bayar hutang tapi banyakan kamu orgasmenya” kataku mengacak-acak rambutnya.
“Ihhhh….Akaanggg…..”
“Hehehe….ada yang sewot, rupanya. Mandi, yuk….? Udah telat subuhan nih…”
“Iya, Kang…..”
“Aku cabut ya?”
“Yang pelan ya…..”
“Plop…..cerrrrr….”
“Ahhh….Kang…..banyak nihh....wihhh banjirr....”
“Hehehe….jadi becek, ya?”
“Iyaa....Ihhh….Ayo mandi, Kang. Mau bareng?”
“Mandi sama kamu? Ahh…gak,ah....gak mau. Gak mau nolak hehehehe”
Plak!
Dua bulan sudah pelatihanku selesai ditutup, bersamaan dengan ditutupnya pelatihan yang diikuti Ani. Ah, tidak usah kuceritakan bagaimana serunya pelatihan kami, kawan. Kalian pasti sudah bisa mengira-ngira apa yang terjadi selanjutnya di kamar 221 yang penuh kenangan itu. Ani memindahkan semua barangnya di kamarku, dengan alasan kepada teman sekamarnya bahwa suaminya datang ikut menginap. Jadilah apa yang terjadi, dan terjadilah hal-hal yang kami inginkan. Dan kini dua bulan sudah kenangan itu berlalu.
Aku menatap lekat-lekat surat tugas yang terpampang di mejaku. Tiga hari kedepan aku harus mengikuti sebuah Diklat di Ibukota provinsi. Sebenarnya diklat apapun yang biasa dilakukan menjelang akhir tahun kemungkinan besar hanya bertujuan untuk menghabiskan anggaran pemerintah pusat. Persoalan hasilnya sesuai sasaran atau tidak, nanti dulu. Sebagai seorang PNS tentu aku harus mengikuti penugasan yang telah diberikan kepadaku. Berarti aku masih punya dua malam untuk ‘menghajar’ kelamin istriku sebelum aku berpuasa selama seminggu. Kualihkan pandanganku pada angka-angka dan tabel di dalam monitor desktop di mejaku. Laporan dan laporan. Seperti itulah seterusnya. Tetapi aku bersyukur dengan pekerjaanku, karena aku sadar banyak orang yang tidak beruntung mendapatkan kesempatan yang sama denganku. Ku simpan file itu dalam foldernya lalu ku tutup aplikasinya. Mungkin sebaiknya aku buka-buka instagram dulu di desktop buat ngecek timeline.
Salah satu hobbiku adalah fotografi meskipun sangat jarang dilakukan. Terakhir kali hunting bareng komunitas mungkin sudah sekitar enam bulanan dan kini kamera DSLR ku hanya terdiam di dalam cabinet di rumah. Ku buka timeline instagramku dan melihat beberapa postingan dari fotografer favoritku. Kadang-kadang aku kagum dengan cara mereka mengatur komposisi pengambilan gambar. Kombinasi eksposure yang menakjubkan. Ku putar scroll mouse ke bawah, hingga aku menemukan postingan foto Ani.
Dia tampak sangat cantik dan modis duduk di sebuah bangku kayu dengan latar belakang pantai dan suasana sore yang elegan. Dengan pose memiringkan sedikit kepalanya ke kiri, Ani sangat cantik ketika melemparkan senyumnya menghadap lensa yang menangkap gambarnya waktu itu. Matanya dihiasi kacamata hitam sangat kontras dengan kulitnya yang putih. Jilbabnya tampak sedikit berkibar menyiratkan tanda bahwa ketika foto itu diambil, angin sore sedang bertiup.
“Ketika kita terlihat sangat rupawan di mata orang, ingatlah bahwa itu bukan karena kelebihan kita, melainkan hanya karena aib kita disembunyikan oleh Tuhan. ~ngutip kata-kata seorang motivator~”
Aku tersenyum membaca caption itu karena akulah yang pernah mengucapkan kata-kata itu padanya ketika dulu dia pernah curhat kepadaku masalah tetangga lamanya di kontrakan sebelum ia dan suaminya pindah membangun rumah di tempat lain. Kembali terbayang ingatan seminggu yang lalu ketika sampai siang Ani terkapar di dalam kamarku, hingga Arni yang datang jam 7 pagi di rumah menyangka kalau kakaknya sedang sakit. Kami meninggalkannya di rumah waktu itu dan kembali sibuk dengan persiapan perkawinan.
Kami tidak bisa mencegah rasa canggung yang mengendalikan setiap aktifitas fisik kami setelah kejadian itu. Ani terlihat agak menjaga jarak denganku, begitupun aku. Pada saat selesai resepsi pernikahan, seluruh keluarga berkumpul berbagi cerita di rumah mertua. Pada saat itu jujur aku tidak berani menatap matanya dan aku yakin diapun begitu. Bahkan ketika semua kembali normal, Ani dan suaminya akan kembali ke kota domisili mereka, Ani hanya bersalaman denganku, tanpa ada kata-kata pamit. Tidak seperti yang sudah-sudah, kali ini Ani hanya pamit dengan sebuah senyum ketika tanganku menjabat tangannya.
Aku tidak mengerti makna senyuman itu.
“Kamar 221, Pak.” Ucap resepsionis cantik itu sambil menyerahkan kartu kunci kamar padaku sekaligus mengkonfirmasi kalau akulah peserta terakhir tang check ini di hotel ini.
“Terima kasih, Mbak.” Ucapku segera menuju kamar di lantai dua.
Aku jadi penasaran, baigaimana dengan teman sekamarku. Seperti apa rupanya, apa jabatannya, dari mana asalnya, dan lain sebagainya. Memang sudah menjadi kebiasaan di lingkup kedinasan bahwa Pelatihan yang dilaksanakan di hotel, pesertanya dipesankan kamar yang double bed, bahkan biasa pernah aku mengikuti pelatihan yang kondisinya harus bertiga satu kamar.
“Cklek….”
aku memasuki kamarku yang masih gelap. Itu artinya slot kunci di dekat pintu masuk masih belum diisi kartu kunci. Entah apa istilah kerennya. Kamarpun menjadi terang seketika slot kunci itu ku isi. Tetapi aku heran, kalau aku adalah peserta terakhir yang dikonfirmasi, lalu mengapa kamar ini masih kosong? Hmm…. Sepertinya ini harus dikonfirmasi ulang. Ku letakkan travel bag ku di dalam lemari dan menghubungi resepsionis.
“Halo selamat siang, dengan resepsionis di sini, ada yang bisa kami bantu?” ujar suara merdu yang terdengar di ujung telefon kamar begitu lancer mengalir.
“ini dengan kamar 221, Mbak” ucapku.
“Iya, Pak? Ada yang bisa kami bantu?”
“Begini, mbak. Saya tadi dikonfirmasi adalah peserta terakhir yang check ini, betul?”
“Betul sekali, pak”
“kalau begitu, teman sekamar saya kok nggak ada, ya?”
“Oh.. maaf, pak. Memang list tamu yang diserahkan oleh Hotel G*** memang hanya seperti itu, Pak. Artinya Bapak hanya sendiri di kamar itu.”
“Ohhh… Ya suda kalau begitu. Terima kasih, Mbak”
“Kembali….”
Sekedar infor saja, sebenarnya tempat Diklat yang kuikuti adalah di Hotel G*** sedangkan ini adalah Hotel E***. Pihak panitia dan managemen Hotel G*** rupanya kurang koordinasi karena jumlah kamar di Hotel G*** tidak cukup menampung jumlah peserta. Alhasil, beberapa peserta yang terlambat registerasi dipindahkan akomodasinya ke Hotel E*** yang berjarak tidak jauh. Di Hotel E*** sendiri tampaknya juga ada pelatihan untuk PNS yang bekerja sebagai guru karena sewaktu check in, aku banyak melihat guru-guru yang sedang bersiap mengikuti pelatihan di hotel ini.
Aku ternyata sendirian di kamar ini. Entah apakah aku harus senang atau apa. Aku hanya berharap seandainya istri dan anakku bisa ikut, pasti akan ada yang menemaniku di kamar ini. Tapi sudahlah. Toh aku akan sibuk dengan tugas-tugas selama pelatihan jadi kesendirian ini tidak terlalu menggangguku.
Waktu di dinding kamar menunjukkan Pukul 19.25 ketika resepsionis menelfon dan memberitahukan bahwa jemputan ke Hotel G*** untuk pembukaan pelatihan telah siap di depan. Aku pun langsung mengiyakan dan segera menuju ke mobil jemputan. Pembukaan berlangsung monoton seperti biasa, dilanjutkan dengan pembahasan regulasi pemerintah tentang beberapa kebijakan yang berkaitan dengan institusiku. Tentunya tidak terlalu menarik untuk harus ku ceritakan di sini. Pukul 22.30 jemputan kembali membawaku ke hotel untuk istirahat.
Setibanya di hotel, aku memilih untuk duduk-duduk di café sambil menikmati free akses wifi untuk melihat lihat timeline di BBM sambil menimati secangkit cappuccino hangat dan alunan musik lembut. Kembali mataku tertuju ke DP Ani di BBM yang sangat cantik. Posenya yang tersenyum tetapi menatap ke samping seperti model professional. Dia seperti seorang model, bukan seorang guru.
Dasar Kampungan
Itu status BBMnya. Aku tidak mengerti apa maksudnya, hingga kuputuskan untuk mengomentari statusnya.
Kenapa, Ni. Ini status kok kaya’ lagi BT
Kirim. Ku tatap layar ponsel pintarku. Petunjuknya menandakan Ani telah membaca statusku, tetapi sepertinya dia enggan membalas. Memang sejak kejadian itu, Ani seperti menghindariku. Beberapa kali ku kirimi BBM taupun WA tetapi dia tidak pernah membalasnya. Inilah yang membuatku menjadi serba salah. Ya sudahlah. Ku masukkan ponselku ke dalam saku celana, dan kembali menatap ke jalanan ibukota provinsi yang masih enggan beristirahat.
“Drrrttt”
Ponsel pintarku bergetar pertanda ada notifikasi yang masuk. Ketika ku buka, ternyata BBM dari Ani. Entah apa harus senang atau apa, ku rasakan darahku berdesir.
Ini, nih….Ibu guru sekamarku. Masa’ dia ngajakin anak-anaknya yang kuliah di sini buat nginep di kamar, jdinya kan rame gimana, gitu.
Aku segera membalasnya.
Wah….korupsi tingkat dasar, tuh. Wajarlah, mungkin orang kampung seperti saya. kapan lagi ginap di hotel, gitu
Iya. Menjengkelkan banget. Mau marah tapi gak enak. Mau di diemin malah makan ati sendiri.
Emangnya ada pelatihan, Ya?
Iya. Diklat pengembangan Kurikulum dan Media pembelajaran
Ohh….sama donk kita. Aku juga lagi pelatihan di Hotel G***
Kalau aku di Hotel E***
What...??? Ani ada di hotel ini? Apakah aku senang? Aku tentu saja senang. Darahku menggelegak dan andrenalinku sepertinya naik. Ani ada di salah satu kamar di hotel ini, dan dia tidak betah di kamarnya. Sedangkan aku dalam posisi yang sendirian di kamarku. Segaris senyum iblis pun mengambang di bibirku. Ku tatap layar ponselku sekali lagi untuk memastikan kalau aku tidak salah baca. Dan memang benar. Ani ada di hotel ini.
Aku ada di Café samping lobby.... di Hotel E***. Aku juga nginap di sini kok. Kamar di Hotel G*** penuh semua. Jadinya aku dipindah ke sini.
Tanda D segera berganti R di layar BBMku, tetapi sepertinya tidak ada tanda kalau Ani akan membalas chatku. Ku tunggu sedikit lebih lama, tetapi sepertinya masih tidak ada getaran atau tanda apapun. Hhmmm…. Entah apa dia sudah tidur atau memang tidak mau menghiraukan pesanku. Tapi aku yakin Ani tidak bisa tidur bila kondisi kamarnya berisik seperti itu. Ah, sudahlah. Aku menhela nafas dalam-dalam. Sepertinya harapanku memang harus ku kubur dalam-dalam untuk kembali memadu birahi dengan Ani malam ini.
“Kang…..”
Aku terlonjak dan menoleh. Di belakangku Ani mampak sangat cantik malam ini. Dia mengenakan piyama yang sama dengan waktu itu dibalut oleh jaket berbahan jeans dan jilbab warna krem yang lembut. Dia tersenyum dan kemudian duduk di depanku. Ah, Ani. Entah mengapa lapar mataku tak habis-habisnya memandang keindahan Tuhan yang di titipkan padanya.
“Ni…..?” ujarku masih seakan tidak percaya. Seperti ada rindu menahun yang terpuaskan, lebih tepatnya rindu akan hasrat yang lain. Ani tersenyum dan memesan kopi panas. Kami lalu terdiam dalam lamunan masing-masing. Ani menatap keramaian jalan ibukota profinsi sedangkan aku sibuk memperhatikan kakak iparku ini. Sebenarnya Arni, istriku masih lebih cantik dari Ani. Hanya saja Ani memiliki sex appeal yang lebih besar dari Arni.
“Kamu agak kurusan ya, Kang” kata Ani sambil menatapku. Aku hanya tersenyum. Entah kenapa suasana ini justru sangat canggung. Seolah aku tidak memiliki keuatan untuk lebih mencairkan suasana.
“Gimana kabarnya Arni?” tanyanya.
“Arni Baik, Aku juga baik….” Kataku.
“Ah….gak nanya”
“Sapa tau aja nyari info, gitu”
“Gak butuh deh kayaknya” kata Ani sambil menyeruput kopinya. Aku memanyunkan bibirku.
“Eh…jadi gimana sama si ibu itu?”
Ani menghela nafas.
“Iya, nih….malah tadi ke resepsionis katanya semua kamar udah penuh gitu…..”
Senyum iblisku mengembang. Aku dan Ani sama-sama dalam penugasan dinas, dan secara kebetulan aku dan Ani kini sehotel. Malam ini, kebetulan lagi Ani tidak betah di kamarnya dan kebetulan aku hanya sendirian di kamarku. Ani menuju resepsionis untuk memesan kamar kosong dan kebetulan lagi, seluruh kamar di hotel ini telah penuh. Entah mengapa semua kebetulan ini terasa sangat menguntungkanku. Ah, otakku hampir meledak karena perasaan senang yang menggelegar di dada.
“Ah….masa sih penuh semua, Ni”
“Iya…..gak percayaan amat sih” Ani menjadi sewot menatapku. dia menyandarkan punggungnya di sandaran kursi. dan kembali menyibukkan dirinya dengan ponsel pintarnya.
“Kamarku masih kosong, kok Ni.” Kataku. Dia manatapku seolah gak percaya. Lalu dia tersenyum mengejek.
“Yeee….. pasti pikiran kamu udah gak jernih lagi, ya? Mana ada peserta pelatihan tidur sendirian di kamar double bed. Kamu pasti ada maunya lagi, kan?”
“Serius, Ni. Jadi ceritanya gini. Tadi waktu chechk in di sana, ternyata over kapasitas. Trus berapa peserta dipindahkan akomodasinya ke sini. Dasar aku check in nya telat, ternyata cuman sendiri aja”
Ani terdiam. Sepertinya dia sedang meneliti celah kebohongan di wajahku, tetapi ku yakin dia tidak akan mendaptkannya. Lalu kemudian di kembali menyeruput kopinya. Kami kembali terdiam menikmati alunan musik lembut dari band pengiring. Udah pukul 23.08 malam. Ani sudah mulai menguap. Ku hidup nafas panjang, dan ku beranikan untuk mengucapkan ini.
“Ayo, Ni. Kamu ikut ke kamarku aja. Aku juga udah ngantuk….”
Ani tertegun menatapku yang sedang bangkit. Lebih baik ku tinggalkan dia dengan fikiran dan pertimbangannya. Ketika memasuki lift, kembali ku pandang Ani di café. Dia tidak lagi memandangku melainkan kembali memandang jalan ibukota provinsi yang masih ramai. Aku tidak tau apa yang sedang berkecamuk di kepalanya, tetapi aku hanya berharap dia mau datang ke kamarku. Aku berusaha agar tidak dalam posisi memaksanya, tetapi aku sangat berharap dia mau menerima tawaranku.
Sesampainya di kamar, ku rebahkan tubuhku di kasur sambil menonton televisi. Siaran langsung Liga Premier Inggris berlangsung sangat seru, tetapi kini otakku tidak menikmati siaran itu. Pikiranku masih melayang-layang tentang pertemuan kami tadi, serta segala kebetulan yang kami alami, hingga kemudian aku dikejutkan dengan getar di ponselku.
“Drrttt……” sebuah notifikasi chat BBM. Kubuka BBM ku dan inilah chat yang ku tunggu.
Kamar nomer berapa?
Segera ku balas dengan cepat.
Nomer 221 di lantai dua.
Ku kirimkan balasan dengan hati berdebar kencang. Ku tunggu ketukan dipintu itu dan rasanya lama sekali. Semenit serasa sejam. Serasa sesak di dada. Hingga akhirnya suara ketukan yang kunanti terdengar juga. Pelan dan konstan.
“Tok…tok…”
Segera tanpa membuang banyak waktu aku mnuju ke pintu dan membukanya. Tampak lah Ani di depan pintu dengan wajahnya yang syahdu. Hasrat dalam diriku menginginkan aku segera menarik dan memeluknya, tetapu justru yang terjadi adalah kami malah berdiri mematung dan saling menatap satu dengan yang lain. Tetapi tatapan matanya yang sayu dan nafasnya yang mulai berat mengisyaratkan kalau sebenarnya dia telah siap untuk menerima sesuatu yang lain.
Ku dekatkan wajahku ke wajahnya dengan gerakan yang sangat lambat. Kepalanya sedikit mendongak mensejajarkan bibirnya dengan bibirku ketika bibirku sudah mendekat, namun ku hentikan sejenak gerakanku, hingga kemudian ku lihat Ani mulai meredupkan matanya.
Cup…..
Sebuah kecupan ringan kudaratkan di bibirnya yang ranum. Matanya terpejam dan bibirnya terbuka. Nafasnya yang berat menandakan libidonya telah naik. Kuulang lagi kegiatanku. Ku kecup beberapa kali bibirnya dengan intensitas semakin liar, hingga akhirnya jadilah kami saling melumat dengan buas di depan pintu kamar.
“Mhhpppphhhh…..ssllrrppp……”
Suara dari rongga mulut yang berpadu dengan liur dan permain lidah memenuhi lorong hotel ini. Ku Tarik Ani perlahan masuk kamar dan menutup pintu tanpa melepaskan lumatanku. Kedua tanganku memegang samping kepalanya sedangkan Ani merangkul pinggangku dengan erat.
“Ccrrppp….slrrullppppp…..hhmmppppphhhh…..”
Tidak ada rasa bosan dan lelah melumat bibir kakak iparku yang sebenarnya lebih muda dariku ini meskipun telah sebelumnya kulakukan itu. Tanganku mulai turun dari kepalanya dan mulai menggerayangi setiap inci tubuhnya yang masih terbalut jaket jeans. Ani juga sangat bernafsu melumat bibirku. Terkadang lidahku dikulum dan disedot sehingga rasanya seperti tertarik keluar. Aku tidak tau apakah kata-kata yang kuungkapkan sudah menggambarkan situasi panas saat ini.
“Mppppp……..aahhhhh……” Ani menghela napas panjang ketika ku lepaskan ciumanku. Aku tersenyum padanya dan kubuat senyumku semanis mungkin.
“Aku kangen kamu, Ni” kataku sambil menggenggam tangannya.
“Aku juga, Kang.” Katanya. Lalu perlahan ku tuntun dia untuk duduk di pinggiran ranjang. Dia hadapan Ani yang sedang duduk, ku buka semua pakaianku dan kutelanjangi diriku di depannya. Ku lihat dia menatapku dengan tatapan dalamnya yang memabukkanku. Ketika semuanya telah lepas, ku hampiri Ani yang duduk lalu kami berciuman kembali. Aku yang berdiri agak membungkuk sedangkan Ani mendongakkan wajahnya ke atas. Kami kembali saling melumat, memilin dan menggigit. Tanganku menyelusup di balik jaketnya dan membelai kedua gundukan dada yang menggemaskanku sedankan tangan kanannya juga sudah menggenggam senjataku yang telah tegang masksimal.
“Sshhhh….Kanggghhh….udahhh…..kerasss bangettttnihhh…..” katanya sembari mengocok pelan senjataku. Aku hanya berdiri terdiam menikmati kocokannya. Gerakannya yang kaku dan kasar sepertinya memberitahukanku kalau dia tidak terbiasa melakukannya. Ku perhatikan dengan saksama ekspresi Ani ketika mengocok senjataku. Kagum dan melongo, mungkin begitu. Hingga sepertinya gerakan tangannya sudah mulai halus dan lancar. Nikmatnya pun sudah mulai maksimal.
“Ni…..kamu pintarrhhhh……..Jadi tambahh nafsuhhhh sama kamu….” Ujarku sambil menggelitiki belakang telinganya pelan dengan membuat gerakan seperti menggaruk tapi dengan sangat lembut.
“Shhhh…..ihhhhh….Kanggghhhhh…….” Ani menggerak-gerakkan kepalanya sambil tetap mengocok barangku. Ingin sekali ku tuntun mulutnya untuk mengulum penisku, tetapi aku takut justru akan merusak suasana hingga ku biarkan saja ia menikmati mainan barunya.
“Kangghhhh….basahh nihhh……”ujarnya semakin bernafsu. Dengan gemas Ani menggenggam erat senjataku hingga urat-uratnya menonjol keluar. Wow….aku sendiri kagum melihat senjataku dalam genggaman tangannya yang mungil. Ku perhatikan wajahnya, sepertinya dia mulai penasaran untuk merasakan batangku di dalam mulutnya. Dan benar saja apa yang ku duga.
Cup……
Ani mencium kecil kepalanya lalu ia menatapku dengan tersenyum. Secara fisik memang tidak berasa, tetapi sensasinya itu membuat hasrat kenikmatanku menjadi berkali lipat. Ani yang kurindukan, mencium batangku dengan masih mengenakan jilbabnya. Merinding sekujur permukaan kulitku.
“Ani….kamu nakall……”
Hap…..akhirnya masuk juga senjataku ke dalam mulutnya yang mungil dan seksi itu. Ohhh…nikmatnya tak terkira. Pada awalnya Ani hanya mendiamkannya saja lalu kemudian ia memainkan kepalanya seperti mengemut permen.
“Niiiihhhhh……mantapppphhh Niiii…..” ujarku membelai kepalanya yang masih berbalut jilbab itu. Rupanya desahku seakan memberinya tenaga tambahan sehingga Ani mulai memaju mundurkan mulutnya. Gesekan lidah dan sedotannya itu membuat tubuhku memanas. Aku sangat gemas melihat tingkah wanita cantik ini. Ani terlihat sangat menikmatinya.
“Hinganga, Hang…..?” tanyanya sambil tetap mengulum senjataku.
“Mantap, NI….Ohhhhh…..” ujarku sambil memberinya jempol. Ani hanya tersenyum lalu kembali melanjutkan kegiatannya. Kalau lama-lama seperti ini pertahananku bisa jebol rupanya. Ini harus dihentikan.
Ku tuntun Ani untuk melepas senjataku dari mulutnya dan ku berdirikan menghadapku. Ku peluk dia dengan lembut dan ku belai seluruh permukaan punggungnya. Aku lalu membuka jilbabnya dan dia memmantuku. Rambutnya sedikit lebih panjang dari waktu itu, tetapi tetap lembut dan wangi. Aku tidak tahan lagi, dan ku dekatkan kembali bibirku dengan bibirnya. Kami kembali berciuman dengan ganas. Ku lumat kembali bibirnya yang penuh dengan liurnya dan cairan semenku.
“Sllrrpphhh….Hooowwhhh……” kami mendesah dalam panasnya ciuman kami seolah ada dahaga hebat yang membutuhkan pemuasan tuntas. Sensasi menjilat bibir Ani yang masih berbalut lipstick tidak mempengaruhi gairahku sama sekali. Tanganku menggerayangi tubuhnya di balik pakaian lengkapnya sedangkan tangannya terus mengocok senjataku dengan gemas.
Perlahan ku buka kancing Ani sambil masih tetap melumat bibirnya. Ani mengerti lalu melanjutkan dengan membuka jaketnya hingga tubuh bagian atasnya hanya menyisakan BH putih saja yang membalut gundukan mungil payudaranya. Ku lepaskan ciumanku lalu ku tatap matanya. Kami saling tersenyum dan kali ini senyumannya agak nakal.
“Ni….Kalo Papanya Faqih yang buka bh kamu biasanya bagaimana?” tanyaku.
“Gaak pernah. Aku terus yang bukain” katanya.
“Wah….rugi tuh….coba lihat ini…..” kataku sambil meraih kancing bhnya. Dan….hap….cukup butuh waktu sedetik kancing bhnya sudah terlepas.
“Wahhh….” Ani melongo menatapku seakan tidak percaya. Dia tersenyum dan geleng-geleng kepala. Ku lepaskan bh nya dan ku lemparkan ke atas ranjang.
“Biasalah, bukain bhnya Arni kalo kita lagi kebelet main dadakan hehehe…..” jawabku. Sambil kembali meraba susunya yang ranum. Ani mendesah pelan.
“Sshhhh…..uuhhhhh…..” desahnya sambil membelai rambutku dengan lembut. Ku rendahkan wajahku hingga bibirku sejajar dengan putting kanannya.
Cup…… ku kecup lembut putingnya.
“Oohhhh…..” Ani terpancing. Tangannya meremas rambutku. Ku tebarkan jilatanku mengelilingi areolanya dan sesekali memilin putingnya. Desahan Ani berubah menjadi erangan. Aku menyusu dengan penuh nafsu sedangkan tangan kananku memainkan putting kirinya dengan gemas. Jariku menyentil-sentil putingnya disamakan temponya dengan permainan lidahku.
“Oouwhhhh…oouuwwhhhh…..Kaaanggghhhh……. jilatinnnn laggiiiihhhhh…….iyaaa….gituhhhh…..” racaunya. Dengan semangat tinggi ku ganti dada kanannya yang kini kulahap dengan rakusnya. Ku sedot putingnya dengan lahap. Ani sangat menikmati permainanku hingga tangannya tidak lagi meremas rambut tetapi memeluk kepalaku. Aku semakin bersemangat.
“Kaangggg……..Mauhhh nihhhh…….Aaaaawwwhhhhh……” Ani menjerit kecil lalu jatuh bersimpuh di lantai membuat kulumanku terlepas. Dia orgasme rupanya.
“Hi..hi…hi…aku dapethhhh kanggghhhh……” Ucap Ani cekikikan menatapku. Ku angkat tubuhnya dan ku baringkan di ranjang. Ku tatap jam, sudah pukul 01.18. hhmm….sepertinya harus begadang lagi sepanjang malm. Ani terbaring terlentang pasrah menunggu untuk aksi selanjutnya. Aku menaiki ranjang dan memposisikan diriku di sampingnya. Ku buka pahanya agak lebar dan dia menurut saja. Ku raba gundukan bukit di selangkangannya dengan lembut.
“HHmmmmm……ssshhhhh…..Kangghh…..kamu pintar bangetthhh…..” pujinya di sela desah beratnya. Aku tersanjung mendengar pujiannya. Ku Tarik perlahan celana piyamanya sekalian dengan celana dalamnya. Ani mengangkat pantatnya untuk membantu memudahkanku melapaskannya. Tak butuh waktu lama untuk membuatnya kini telah bugil di hadapanku.
“Wowhhh….Ni….Tubuhmu bener-bener…..” pujiku.
“Jangan gitu ah, Kang….Ani malu….” Ujarnya tersenyum.
“Kaukah itu, Ani….” Candaku menirukan suara khas bang Haji. Ani tertawa cekikikan melihat tingkahku. Ku posisikan diriku di sela pahanya. Mataku terpana menatap vagina yang mulus merekah basah mengkilap. Lidahku kelu untuk menggambarkannya dalam bentuk kata. Rambutnya sepertinya baru selesai dicukur habis sekitar tiga hari lalu. Belahannya begitu menggodaku. Klitoris yang mengintip di bagian atas belahan itu sangat indah.
“Kaanggg…..” Ani merajuk menyadarkanku dari lamunan panjang akan kekagumanku. Ku belai kedua pahanya dengan lembut.
“Sshhhh….ihhhhh…..kaangggghhh…..” Ani kembali meracau apalagi ketika rabaanku menyusuri betis kirinya, daerah sensitifnya. Ku lihat celah itu bergerak menyempit dan mengeluarkan lender bening. Ohh….betapa indah tubuhmu, Ani. Aku tidak tahan lagi. Kudekatkan bibirku di celah itu, dan ku kecup perlahan.
“Aahhhh….Kanggghhh…….” Ani menggeser pantatnya. Sepertinya dia terjut dengan aksiku. “Jangan ahhh…kanggg…….Ani maluuu……” ucap Ani pelan sambil menutup celahnya dengan kedua tangannya.
Aku tersenyum dan menyingkirkan tangannya.
“Emang sama Papanya Faqih gak pernah?” tanyaku. ANi mengangguk lemah. Aku kembali tengkurap di celah selangkangannya. Ku kecup celah basah itu pelan. Ku jilat perlahan. Rasanya gurih tak terlukiskan. Ani melenguh.
“Shhhhh….ooooouuuwwwhhhhhhh……..” dia menggelinjang hebat tapi aku tidak peduli. Ku lumat bibir bawah itu seperti ketika kulumat bibir atasnya.
“Kaaannggghhhh……..Aahhh….ahhhh….aaauauuuhhhwwww…….”
Tubuh Ani terlonjak-lonjak menggoyang ranjang tempat kami memadu syahwat. Ku angkat kedua kakinya di bahuku agar mulutku bebas mengeksplorasi daerah itu. Ku jilat klitorisnya dan sesekali menusuk masuk dengan lidahku lalu menngobok-obok liangnya. Ani semakin kelojotan tidak karuan menerima perlakuanku.
“Ahh….Ahhh….Kanggg…….Brengghhhsseekkkkhhh kammuuuhh……” Racau Ani. Ku rasakan panggulnya menegang menjepit kepalaku. Sepertinya dia akan orgasme lagi. Semakin semangat ku jilat celah basah itu sesekali mencucup klitorisnya. Entah bagaimana basahnya wajahku sekarang. Aroma kewanitaan Ani ternyata menjadi sumber tenagaku. Aku bertekad Ani harus mendapatkan orgasme melalui gaya ini. Kedua tanganku menjulur ke atas merain buah dadanya. Ku pelintir kedua putingya itu. Tak ku sangka Ani berteriak kencang.
“Kyyyaaaaawwwhhhhh…..Aaahhhhhh……..Shhhhooooohhhhhh”
Ani menggeliat tegang. Tubuhnya terangkat seperti sedang kayang. Kepalku di jepitnya dengan erat. Kakinya bergetar. Orgasme yang luar biasa. Hingga beberapa saat kemudian tubuhnya jatuh ke ranjang dalam kondisi sudah lemas. Kakinya kembali terkangkang hingga kepalaku bebas dari himpitannya. Ku perhatikan cairan putih kental merembes pelan keluar dari celah itu. Indah sekali. Ku alihkan pandanganku ke wajahnya yang cantik. Matanya terpejam dan alisnya mengkerut. Mulutnya menganga masih mengeluarkan desahan pelan. Pantatnya bergoyang-goyang pelan. Sepertinya orgasme ini begitu dinikmatinya. Tetapi aku tidak akan memberinya waktu istirahat.
Ku kangkangkan kakinya yang sudah lunglai dan segara ku jepit klitorisnya dengan jempol dan telunjuk kiriku. Ani yang lemah terlonjak. Ia kembali menjerit tertahan.
“Kaangghhhhh……Tolongghhhhh….udahhhhhh……”
Tidak. Aku tidak akan mengabulkannya. Ku jilat lagi klitoris yang ku jepit itu, sambil sesekali ku getarkan lidahku keiri dan ke kanan dengan cepat. Ani semakin kelojotan. Ia mendesah, lebih tepatnya merintih. Ia kini mengemis padaku, tapi maaf, aku tidak akan mengbulkannya.
“Kaangggghhhh……Kammuhhh jahaathhhh….akkuwhhh….bencchiiiiihhh……Oooouuwwwhhhhh……” Ani meracau dengan liar. Apalagi ketika dua jariku mulai masuk dan mengorek liang surgawinya bekerjasama dengan jilatanku pada klitorisnya. Tubuh ani semakin bergetar. Sisa orgasme dahsyat yang menerpanya semakin memberikan efek nikmat bagi tubuhnya yang sedang ku lecehkan.
“Kangghhhh…..tolooongghhh……akuhhhh….ggaakkk…..Kua….aaaaawwwhhh…..”
Ani menjerit dan berteriak kecil ketika kukocokkan jari-jariku keluar masuk vaginanya. Kecipak lender yang terus merembes keluar membasahi jari-jariku dan merembes ke telapak tanganku. Sementara Ani semakin terguncang. Dia menggelinjang karena perlakuan ini, tetapi ku kuatkan konsentrasiku untuk mempertahankan ritme kocokan jariku di selangkangannya. Bibir vaginanya membengkak dan semakin becek, tetapi gurih ku rasakan. Aku terus menjilati klitorisnya sambil mengocok celah yang lembab dan becek itu.
“Brengghhhsekkk kamuhhh….Kanggghhh……Akku…..benccciiihhhhhh kammuuu….”
Ani meracau dan gelinjangnya semakin kuat. Tubuhnya kembali bergetar dan mengejang. Sepertinya dia akan menjemput orgasme ketiganya malam ini. Ku pertahankan kecepatan kocokanku dan kini ku gigit kecil klitorisnya, untuk memancing orgasmenya keluar. Dan benar dugaanku, tubuhnya kembali terlonjak dengan hebat, kepalanya bergerak tidak karuan. Ani kembali orgasme.
“Aaaaakkkhhhhh…….Oooouuuwwhhhhhh……….Kaaanggghhhhh…..Dapppettt lagiiihhhh……”
“Serrrr……”
Ku cabut jariku seiring squirtnya menyirami mukaku. Wow…..ini adalah pengalaman pertama yang luar biasa. Barusan kali ini wajahku terkena kencing perempuan dewasa dan ini rasanya sulit digambarkan. Ku lihat Ani seperti terkena penyakit ayan. Dia mengejang untuk beberapa saat dan terus mengeluarkan racauan. Matanya terpejam dan bibirnya terus menganga. Sepertinya dia tidak sadar kalau liurnya meleleh dari sudut bibirnya.
Aku bangga.
“Kangg…..aku pipis lagi, ya?” Tanya Ani lemah. Aku bangkit dan tersenyum padanya.
“Iya. Di mukaku lagi. Nih…” Kataku tersenyum sambil menunjuk mukaku. Ani tersenyum memelas manja.
“Maaffhh……” ucapnya pelan dan suaranya dimanjakan. Aku mengangguk. “Kangg….Maaf, sepertinya aku udah gak kuat lagi……” lanjutnya. Aku tersenyum padanya. “Maaf, yah…..” ucapnya lagi. Aku mengangguk.
Aku mengalah. Meskipun aku merasa ada yang menggantung, toh kepuasan hatiku telah tercapai. Aku telah kembali membuatnya mengeluarkan ekspresi termahal seorang perempuan. Aku mengecup keningnya lalu segera bangkit meninggalkannya yang terkapar lemas. Ku langkahkan kakiku ke toilet dan ku cuci mukaku di wastafel lalu kuhampiri dia dan berbaring di sampingnya. Ani membuka matanya sambil tersenyum dan memelukku dengan hangat. Kembali kami berciuman dengan penuh gairah. Entah mengapa berciuman dengan Ani tidak membuatku bosan.
Kalian jangan salah, aku tidak pernah bosan berciuman dengan istriku Arni. Hanya saja salah satu kelemahan Arni adalah ciuman yang panas sudah harus berakhir dengan klimaks. Bedanya dengan Ani, kami bisa berciuman dengan panas lalu melepasnya kembali untuk ‘kegiatan’ lain.
Kami melepaskan ciuman hangat kami setelah merasa kehabisan nafas. Aku memeluk tubuh telanjang Ani. Ani menyandarkan kepalanya di dadaku dan sesekali mempermainkan putingku dengan jarinya. Untuk beberapa saat kami kembali terdiam.
“Kang….?” Ani memecah kesunyian.
“Ya?”
“Kamu Jahat. Aku benci sama kamu…..” ucapnya pelan. Aku mendengar isak darinya. Ku belai rambutnya dengan lembut dan Ani semakin mengeratkan pelukannya.
“Kamu udah bikin aku kaya’ gini, Kang…..Kamu jahat banget….aku benci…..hiksss….hiksss…..” ucapnya sambil memukul pelan dadaku. Aku terdiam. Senjataku yang tadi tegang kini telah mulai mengendur. Sepertinya malam ini dia tidak perlu bekerja. Bercinta seperti ini saja sudah membuatku sangat puas.
Tangisan Ani semakin terdengar…. Pilu dan menyakitkan. Aku menjadi salah tingkah dalam pelukannya tapi dia tidak menarik dirinya dari pelukanku.
“Aku cinta banget sama Papanya Faqih, Kang…..Aku benci sama kamu…..” ucapnya pelan.
“AKu benci caramu cium aku. Aku benci caramu menyusuku. Aku benci caramu bikin Aku orgasme berkali-kali. Aku benciii….”Isaknya memukul-mukul dadaku belan. “Aku benci saat ini, Kang….keadaan ini, ketelanjangan kita… Sumpah aku benci banget….” Lanjutnya masih terisak. Aku terdiam mencoba menganalisa ucapannya. Dia membenci situasi ini, tapi dia begitu menikmatinya. Aku tidak mengerti. Tetapi aku tetap terdiam hingga kemudian tangisnya perlahan mereda. Dia kembali memelukku erat. Kakinya di silangkan di kakiku hingga bisa ku rasakan pahaku menjadi basah ketika bersentuhan dengan vaginanya.
“Aku benci, Kang….kenapa harus kamu yang bisa bikin aku melayang nikmat kaya’ gini….kenapa bukan papanya Faqih aja….” Lanjutnya dengan suara yang sudah terdengar stabil. Kembali ku kecup kepalanya.
“Emangnya papanya Faqih gak perkasa, ya….?” Tanyaku. Ani mengangkat kepalanya dan mempelototiku sepertinya dia tidak senang dengan pertanyaanku.
“Enak saja, kamu kang….. Papanya Faqih itu perkasa…..dia juga bisa bikin aku orgasme dua tiga kali……cuman mainnya aja yang polos…. Kalo sama kamu variasinya banyak…..dan kamu juga sabar. Kamu gak malu menyusu di dadaku. Papanya Faqih hanya menyusu sekali ketika asinya Faqih gak lancar. Setelah konsul di dokter, papanya Faqih yang disuruh nyusu dulu. Itu aja” ucapnya.
“Pantas aja Arni nyusuinnnya lancar. Abisnya aku dari malam pertama udah ambil jatah minimal sejam sehari ngenyotnya, hehehehe…..” ucapku agak nakal. Ani mencubit lenganku gemas.
“Kamu juga gak malu main oral sama aku. Sama kamu yang pertama, lho, Kang…. Papanya Faqih pernah mau jilatin punyaku tapi ku larang. Aku malu. Eh…giliran sama kamu malah sampe digigit segala.”
“Ohhh….jadi GR dehh hehehehe…..” Ujarku. Kami kembali terdiam. Hanya nafas kami dan detak jam yang terdengar.
“Kang…..”
“Ng”
“Gimana nih…kamu kan belum tuntas” tanyanya.
“Gak Pa pa, kok. bener deh….”
“Tapi aku dak enak sama kamu. Udah dibikin keluar tiga kali tapi belum sempat ngebales kamu.”
“Gak pa-pa, kok. Kalo emang jodoh, pasti bakalan ada waktu lagi, kok. Nyante aja”
“Iya….Makasih ya, Kang……”
“Iya, Ni……”
“Met bobo, Kang…..”
“Met bobo juga, Kakak Iparku”
“Iya, adik iparku yang mesum, nakal, cab…..”
“Udaahhhh….udah jam dua lho ini.”
“Iya hehehe….”
Cup…..sekali lagi bibirnya mendarat di keningku, dan lampu tidurpun dimatikan.
Aku membuka mataku seiring sensasi geli-geli nikmat di daerah selangkanganku semakin nyata. Ani yang semalam tertidur dalam pelukanku kini tidak kudapati lagi. Ku sapukan pandanganku ke seluruh isi kamar hotel, hingga ku dapati Ani telah berada di sela kakiku dengan pemandangan yang langsung mengisi tenagaku. Ani sedang sibuk mengulum senjataku yang seiring bangunku juga sudah mulai menegang maksimal. Aku tidak percaya Ani melakukan ini, tetapi Mau tidak mau inilah kenyataannya.
“Niii…..Kamu nakall…..” ucapku diantara desah. Ku tatap jam telah menunjukkan pukul 04.23 berarti kami hanya tidur sekitaran dua jam saja. Ani menatapku sambil tersenyum tanpa sedikitpun mengendurkan permainannya. Wow…..rupanya Ani memiliki sisi-sisi binal ang selama ini tertidur, tetapi pada pagi ini, sisi kebinalan itu telah terpancing.
“Kamu udah bangun, Kang…..?” Tanya Ani setelah melepaskan senjataku dari mulutnya. Bibirnya yang seksi belepotan liur dan semenku. Luar biasa. Ani lalu menaikiku dan mengangkangkan kakinya. “Buat bayar hutang semalam…..” bisiknya sambil menggigit bibir bawahnya.
Perlahan Ani memposisikan batangku dengan celahnya yang sudah sangat becek. Aku tidak tahu sejak kapan Ani terbangun dan memulai pekerjaannya, dan aku tidak peduli. Yang ku tahu hanyalah sekarang batangku itu mulai tertelan perlahan ketika Ani menurunkan pantatnya dengan pelan.
“Uoooowwwwhhh…..Mmmmmm…..Kaanggghhhh…..” Desah Ani perlahan ketika dengan lancarnya dia memasukkanku ke dalamnya.
“Shhhh……hangat, Ni….” Bisikku.
Ani menunggangiku dan menopangkan kedua tangannya di dadaku. Tubuhnya melengkung dan kepalanya tertunduk. Perlahan ia mulai menggoyangkan pinggulnya dengan gerakan memutar. Entah putarannya searah jarum jam atau berlawanankah aku tidak peduli. Nikmat sekali.
“Ihhhh….Kanggghhhh…… Shhhhhhh…..” Ani mendesis dan mendesah. Dia seperti seseorang yang baru saja mengunyah cabai seliter. Liurnya menetes dan itu sangat seksi. Tangannya tidak mau ketinggalan, dia mencubit kedua putingku dengan gemas.
“Ohhh….pelannn Nii….sakitt nihhh…..”
“Bodo’ amathhhh….Ahhhh…..Sapa suruh udahh…..bikin Anii….binal gini…..Ahhhh……” racaunya. Ku belai kedua pahanya yang menjepit panggulku dengan lembut dan sedikit menggaruknya pelan. Ani kelojotan dan gerakannya mulai kacau. “Bangsatthhhhh…kamu….kanghhh….” racau Ani.
“Kamu juga, Niii….hhhh…..”
“Akuhh…..Kenapahhhh Kangghhh……?”
“Kamu binalhhh……Nakalllhhh….”
“Aaaawwwwkhhhhhh……..ooooohhhhhwwwww……”
Ani mengejang-kejang orgasme. Tubuhnya melengkung dan goyangannya menjad patah-patah tidak beraturan. Ku rasakan di dalam sana semakin hangat dan basah.
“Akuuhhhh dappetthhh Kanggghhh……” ujar Ani pelan lalu merebahkan tubuhnya di atas tubuhku. Ku ciumi ubun-ubunya sambil mencoba untuk mengambil alih. Ku goyangkan pantatku naik turun dengan perlahan untuk memberinya kesempatan meresapi orgasmenya. “Duhhh….Kanghhh….. “ racaunya. Ku dekap erat punggungnya lalu mulailah ku sodok dia dari bawah dengan gerakan cepat.
“Kyaaaaaahhhhhhh…..oohhhh….ohhhh….ohhh…..”
Ani menjerit keras ketika ku lancarkan seranganku. Ku atur nafasku dan ku goyangkan pantatku dengan tempo cepat. Lorong yang licin dan lembab itu terasa sangat nikmat ketika aku keluar dan masuk dengan cepat. Ku rasakan ada yang terus merembes keluar dari dalam vagiananya tetapi aku tidak peduli karena yang penting dia harus mendapatkan kenikmatan maksimal dari ini. Udara yang sejuk dari AC sudah mulai dikalahkan oleh peluh kami yang kini mulai menetes.
“Iiiiihhhhh…..Kaanggggghhhh…….”
Ani terus meracau tidak karuan di tengah suara kecipak kelamin yang beradu. Masih ku pertahankan kecepatanku dan ku tingkatkan konsentrasiku. Pola pernafasanku ku atur sedemikian rupa agar Ani bisa kembali orgasme. Hingga akhirnya kembali ku rasakan kedutan di dalam sana semakin kencang. Ani akan segera orgasme, jadi ku kencangkan otot kegelku dan ku tambah kecepatan goyanganku.
“Aaaaakkhhhhhhhh……..Kaanggghhhhh….mauuhhhh lagggiiii…..Iiiiihhhhh…..”
Ani meracau tidak teratur. Tetapi suaranya yang manja justru semakin membangkitkan semangatku. Aku mendengus sambil berkonsentrasi mengolah nafasku dan tetap mempertahankan kecepatanku. Pokoknya Ani harus orgasme lagi. Ani yang sudah sangat pasrah terus merintih menahan kenikmatan yang terus menderanya. Akhirnya keteguhan hatikupun terbayarkan. Ani kembali orgasme.
“Kyaaahhhhhh…..Aaaakkkhhhhhhhh…..Kaaannggghhhh…..dapppetthhhh lagghhiiiihhhh…..”
Ani menjerit menyambut orgasmenya. Ku rasakan banyak sekali basah yang ku rasakan merembes di dalam sana. Ani lalu bangkit melepaskan dekapku dan mencabut senjataku bersamaan dengan squirt yang memancar dari dalam celahnya.
“Seerrrrrr…….”
“Ooouuuuggghhhhhh…..Maaf Kaaangggghhhhhh……..”
Ani ambruk di sampingku sementara selimut dan kasur yang kami tempati sudah mulai lembab. Aku lalu bangkit dan membopong Ani untuk menungging d lantai yang berlapis karpet tebal dan lembut. Ani yang sudah lemas, pasrah menurut apa mauku. Dia pun menungging memperlihatkan lubang pantat dan celah vagina yang bengkak dan becek. Ani yang lemas meletakkan kepalanya di karpet, sehingga posisinya lebih seperti orang yang bersujud. Ku arahkan senjata kebanggaanku ke dalamnya. Tanpa banyak rintangan, senjataku menyelinap masuk dengan perlahan.
“Ohhhhh…..Hangatt Nii…..” Racauku.
“Shhhhh…..Kaangggghhhhh…….manntttahhaaappphh…..” balas Ani tetap dalam posisinya tapi mengangkat pelan jempol kanannya. Pandangaku menyenggol jam dinding, Sudah pukul 05.20-an. Wah, ini harus cepat diselesaikan, karena jadwal yang agak padat hari ini. Ku goyangkan senjataku keluar-masuk dalam tempo sedang, dengan pola empat-satu.
Maaf pemirsa. Pola permainan sex ini adalah istilahku untuk mengistilahkan bentuk “serangan” dalam setiap permainan. Pola empat-satu adalah pola serangan empat kali menusukkan senjata hanya setengahnya dengan lembut lalu dilanjutkan dengan satu kali menghujamkannya dengan keras dan cepat sedalam-dalamnya lalu diulangi lagi dari awal. Pola ini telah terbukti membuat istri saya bisa orgasme dua kali dalam tempo kurang dari sepuluh menit.
“Owwhhhh…..Owwhhhhhh…..Aaaakkkkhhhh……”
Ani menjerit tertahan menghadapi seranganku. Tangannya mencengkram bulu permukaan karpet. Sepertinya dia tidak menyangka aku akan mengatur genjotanku sedemikian rupa, tetapi aku tidak peduli. Kini ku cengkram kedua bongkahan pinggulnya lalu kembali kusodok dia tetapi dengan tempo yang sedikit lebih cepat dengan pola yang biasanya.
“Aohhhh….Awwhhhh….Kaaanggghhhhh…….”
Ani menjerit, lebih tepatnya merintih. Tubuhnya terlonjak-lonjak menerima seranganku. Dan kini sudah mulai ku rasakan pangkal pahaku semakin sensitive dan semakin geli. Rupanya orgasmeku telah mendekat. Aku bisa merasakan senjataku agak membesar hingga Ani menjerit semakin keras dan intens.
“Kaaanggghhh…..Mauuuhhhh…..Lagiiiii…….”
“Aku jugahh…….”
“Diii dalemm ajjjaahhhhh Kaangggghhhh…..Oooohhhhhh……”
Aku menggeram gemas dan orgasmeku semakin mendekat. Ku rebahkan Ani menelungkup tanpa menghentikan goyanganku. Ani menurut dan jadilah Ani menelungkup di bawah tindihanku. Posisi ini membuat celahnya lebih sempit.
“Aaaaakkkkhhhhh……Kaaaanggghhhhhh……”
Ani kejang-kejang. Dia orgasme lagi hingga kejangnya agak mengganggu seranganku, tapi ku coba untuk tidak menghentikan seranganku karena sebentar lagi ku rasakan senjataku akan segera meledak. Dan benar saja, orgasmeku meledak di dalam liang senggamanya.
“Ohhhhhhh…..Aniiiii……….”
Ku tembakkan peluruku entah berapa kali di dalam liangnya dan ku peluk ia dari belakangnya, hingga kemudian aku lemas dan menindihnya.
“Hhooooohhhhhh……..” Ani menghela nafasnya dengan berat. ku posisikan tubuh kami berbaring menyamping tanpa melepas peraduan pelaku senggama kami. Ani kini berbaring miring membelakangiku yang memeluknya. Keringat kami yang bercampur tidak menjadi masalah lagi. Ku rasakan denyutan di dalam sana masih kencang. Untuk beberapa menit kami kembali terdiam hingga nafas kami kembali normal.
“Makasih ya, Ni….. Kamu udah bangunin aku…..”
“Iya, Kang….namanya juga bayar hutang hehehe…..”
“Kamu bayar hutang tapi banyakan kamu orgasmenya” kataku mengacak-acak rambutnya.
“Ihhhh….Akaanggg…..”
“Hehehe….ada yang sewot, rupanya. Mandi, yuk….? Udah telat subuhan nih…”
“Iya, Kang…..”
“Aku cabut ya?”
“Yang pelan ya…..”
“Plop…..cerrrrr….”
“Ahhh….Kang…..banyak nihh....wihhh banjirr....”
“Hehehe….jadi becek, ya?”
“Iyaa....Ihhh….Ayo mandi, Kang. Mau bareng?”
“Mandi sama kamu? Ahh…gak,ah....gak mau. Gak mau nolak hehehehe”
Plak!
Dua bulan sudah pelatihanku selesai ditutup, bersamaan dengan ditutupnya pelatihan yang diikuti Ani. Ah, tidak usah kuceritakan bagaimana serunya pelatihan kami, kawan. Kalian pasti sudah bisa mengira-ngira apa yang terjadi selanjutnya di kamar 221 yang penuh kenangan itu. Ani memindahkan semua barangnya di kamarku, dengan alasan kepada teman sekamarnya bahwa suaminya datang ikut menginap. Jadilah apa yang terjadi, dan terjadilah hal-hal yang kami inginkan. Dan kini dua bulan sudah kenangan itu berlalu.
Comments
Post a Comment