Skip to main content

Senggol Sana Senggol Sini (4)

Mendung sedang bergayut di langit petang. Di sebuah kafe, sekitar jam lima sore, kami berdebat seru ihwal kehidupan seks laki-laki. Kami duduk bertiga sambil menikmati hangatnya secangkir cappuccino. Tiga orang pria; yang pertama Leo, kemudian Johan, dan aku sendiri.
Leo sependapat dengan Johan kalau hampir kebanyakan laki-laki pasti pernah berhubungan dengan wanita lain, one nite stand. Aku balik menimpali, tidak hanya laki-laki yang doyan one nite stand, banyak juga kaum wanita yang menganut paham sex just for fun. Itu berdasar pengalamanku dengan Sonya selama ini, dan juga dengan Maya malam kemarin.
Tapi, ketika ditanya balik apa yang sebenarnya didapat dari seks sesaat itu, aku hanya diam membisu. "Nggak tahu," jawabku polos. “Kepuasan, mungkin. Karena sudah dapat meniduri istri orang lain.”


"Mungkin kamu benar. Seminggu sekali, aku mesti ganti pasangan. Rasanya plong dan beda," ujar Leo mendukung. Ia mengaku sering pergi kencan dengan rekan bisnisnya ketika gairahnya sedang di ubun-ubun.
“Laki-laki memang butuh variasi. Kadang dengan pasangan, kita tidak mendapatkannya.” dukung Johan.
Kemudian, ia mulai bercerita panjang lebar soal segala variasi yang pernah dilakukannya. Dongengnya membuat acara minum-minum kami makin asyik dan lupa waktu.
“Kenapa tidak kamu lakukan dengan istrimu saja?” aku bertanya.
"Ah, mana mungkin ia mau. Tahu sendirilah, istri maunya cuma yang konvensional, kuno, nggak ada seninya." tukasnya, tegas. Bahkan menurutnya, bisa-bisa istrinya ketakutan melihat variasi yang ia inginkan.
Lalu, Leo iseng menimpali, "Memang kamu pernah menanyakannya langsung?" Dan ternyata, jawabannya belum. "Wah, itu kesempatan besar. Siapa tahu ia lebih suka variasi daripada kamu. Dan salah satu variasinya, dengan lelaki seperti aku ini, haha..."
Kami tertawa bersama dan samar-samar mendengar Johan sedikit mengumpat. "Sial bener. Untung di kamu, rugi di aku dong!" sahut Johan dengan ekspresi wajah sedikit memerah.
Ah, dasar laki-laki!
Satu jam kemudian, aku tiba di rumah. Hari sudah lumayan gelap. Sesudah mandi, aku memakai cologne kesukaan istriku. Berta selalu bilang, bau cologne ini selalu membuatnya bergairah. Aku juga hanya mengenakan baju kebesaranku kalau di rumah, boxer kain lentur agak ketat dan kaos dalam berlengan putih. Aku tidak begitu mempedulikan kata-kata Berta bahwa burungku kelihatan terlalu menonjol di balik boxer ini, sehingga dia selalu mengingatkan agar aku memakai celana dalam.
“Sekarang ada Maya di rumah,” Berta berkata.
Tapi aku cuek. Rasanya tidak nyaman memakai cd di balik boxer, kontol jadi sumpek dan terpenjara. Maka tidak kuhiraukan kata-katanya itu, lagian aku punya tujuan khusus memakai baju seperti ini. Dengan pede aku melangkah ke depan, kulihat Maya sudah duduk di ruang keluarga sambil menonton teve, sendirian. Berta barusan dipanggil Bu RT untuk diajak arisan.
Kuperhatikan, Maya mengikuti gerakanku dari ujung matanya mulai dari aku keluar kamar tadi. Memang aku tidak langsung menghampirinya, melainkan menuju ke ruang tamu, mengambil tasku yang tadi aku tinggal di sana. Aku mengambilnya, lalu berjalan naik ke ruang kerjaku untuk menaruhnya di sana. Lagi-lagi aku lihat, pandangan mata Maya secara diam-diam masih mengikuti gerakanku.
Semenit kemudian, aku membanting tubuhku, menghempaskannya ke sofa panjang yang juga dipakai duduk oleh Maya. Sambil mendesah panjang, aku angkat kakiku ke footstool yang memang pasangan dari sofa itu.
“Capek ya, Gun?” katanya membuka percakapan.
“Lumayan. Kantorku membuka cabang baru dan lagi butuh koordinasi khusus.” jawabku.
“Berta beruntung ya?” katanya lagi.
“Beruntung apanya?”
“Ya itu, punya suami ganteng, baik, dan perhatian seperti kamu. Kalau Krisna,  jangankan pulang ke rumah…”
“Sudahlah, May,” potongku cepat, aku tidak ingin mengarahkan pembicaraan ke masalah dia, tidak malam ini. Karena itu tidaklah bagus, tubuh dan pikirannya perlu istirahat dari masalah itu, perlu ‘berlibur sejenak’ dari pemikiran-pemikiran yang berat tersebut.
“Setiap orang berbeda, May.” Aku jadi teringat percakapanku dengan Cinthya Kirana dulu. “Dan percayalah, aku juga tidak sebaik itu, contohnya malam kemarin. Kamu hanya tak tahu kalau tanpa sepengetahuan Berta, aku sudah sering...” kugantung kalimatku.
“Sering?” Dia mencubit pinggangku dengan gemas. “Memangnya sudah berapa wanita yang kamu tiduri?”
Menanggapi cubitan itu, aku cuma tersenyum simpul sambil meliriknya. “Eh, mau ngajak cubit-cubitan, ya?” sergahku, dan dia cuma tersenyum.
Mata kami bertemu, kulihat matanya meredup. Sinar kepasrahan sekilas memercik di sana. Dalam tahap ini, aku tentu tahu—berdasarkan pengalaman—dengan sedikit rayuan, wanita manapun bisa kubawa ke ranjang. Mataku turun ke leher Maya yang jenjang, yang sekarang bergerak naik turun berusaha menelan ludah di tenggorokannya yang kering tercekat. Satu tanda lanjutan!
Kulirik juga dadanya yang bulat, yang mencuat dari balik daster tipis yang ia kenakan, sebelum kemudian pandanganku turun ke pinggulnya yang kecil dan ramping. Lalu kulihat paha kanannya yang dia tumpangkan di atas paha kiri. Keduanya semakin dia tekan, semakin dirapatkan. Biasanya hal ini dilakukan oleh wanita untuk menahan ‘sensasi’ yang ada di bibir vagina apabila mereka mulai terangsang. Satu lagi tanda lanjutan!
”Kenapa, Gun, kok kamu melihatku begitu?” katanya dengan intonasi yang berusaha dia jaga ketenangannya. Namun yang meluncur bukannya kata-kata santai, melainkan suara parau tercekat seperti menahan sesuatu.
Aku masih kalem. “Enggak. Aku cuma berpikir, kamu kalau dilihat tanpa make up ternyata sangat berbeda.”
“Berbeda bagaimana, lebih jelek ya?”
“Maksudku, lelaki manapun yang bisa mendapatkan kamu, bisa dibilang sangat beruntung, May!” jawabku masih sambil tersenyum.
“Ah, kamu bisa aja, Gun, menghibur wanita yang sudah dicampakkan ini.” Dia tersenyum kecut.
Aku menggeleng, masih dengan pandangan tajam menatap matanya. Maya menelan ludah kembali. Sebenarnya sudah pasti berhasil kalau langsung aku tubruk sekarang, kemungkinan besar dia pasrah, atau malah memberikan ‘perlawanan’ yang sangat panas. Tetapi aku masih ingin menahan diri, agar lebih menggoda gairah sensualnya.
“Tidak ada yang namanya mencampakkan dan tercampakkan di dalam suatu hubungan cinta, May. Yang ada adalah jalan yang memang harus ditempuh oleh masing-masing pihak. Jangan menyerah untuk mengarungi hidup. Aku yakin, suatu saat nanti jalan hidup bisa berganti cerita.” jawabku.
Mata Maya langsung memerah, raut mukanya kembali menyiratkan kesedihan yang sulit diukur, dan tangisnya pun meledak. Aku mengulurkan tangan untuk memeluknya, kuelus pundaknya, lalu punggungnya dan menariknya ke arahku, membiarkannya menggunakan bahuku untuk menangis sepuas-puasnya. Tarikan napas tersengal karena tangisannya membuat tubuh Maya seperti dihentak-hentakkan ke dadaku. Payudaranya terasa... empuuk sekali.
Setelah kurasakan dia sedikit dapat menguasai diri, kulepaskan pelukanku. Sambil sesenggukan, Maya berusaha menghapus air mata yang masih meleleh di pipinya. Aku meraih tissue lalu membantunya menyeka.
“Terima kasih, Gun.” katanya lirih.
“Untuk apa? Buat tisunya atau…”
“Sudah mau meminjamkan bahu. Rasanya agak lega sekarang.” Dia berusaha tersenyum. “Tapi maaf, bajumu jadi basah sekarang.” tambahnya.
“Tidak apa-apa, May. Sudah biasa. Nggak tahu kenapa, wanita kalau berada di dekatku, pasti bawaannya basah melulu.” godaku.
“Ada-ada saja kamu, Gun!” jawabnya sambil mengusap air matanya yang masih mengalir. “Sudah ah, jangan mancing-mancing. Nanti aku mau lho, hehehe…”
Aku tidak menjawab, hanya tersenyum sambil menatap matanya. Dan seperti yang kuharapkan, dia balik menatapku. Ini artinya dia sudah mempunyai tekad dan keberanian untuk melakukan apapun saat ini. Kulihat dia beberapa kali menelan ludah di tenggorokannya yang aku tahu pasti sudah luar biasa kering. Aku yakin, libidonya benar-benar sudah terpancing sekarang.
“Sudah ya. Aku mau baca-baca buku dulu, kamu nonton tivi aja.”
“Kenapa nggak dibaca di sini?” dia bertanya.
“Novelnya berat, May. Thriller. Butuh konsentrasi. Kalau dibaca di sini sama kamu, aku mana bisa fokus.”
Dia tertawa. “Kamu tuh, terus saja menggoda.”
“Tubuh kamu tuh yang menggoda.” aku menyahut asal.
Dia tertawa lagi. “Sudahlah, temani aku di sini. Hitung-hitung sambil sekalian melatih konsentrasi kamu.” usulnya.
Nah, ini yang aku tunggu. Aku paling suka menggiring perempuan agar seolah-olah dia yang mengambil inisiatif. “Jangan ah, May. Bahaya. Aku takut nggak kuat.”
“Kalau nggak kuat, ya dikeluarkan. Gampang kan?” candanya.
Langsung kusambar tawaran itu. “Oke, kalau kamu maunya begitu.”
Semenit kemudian, kami duduk bersisian. Dia menghadap tivi, sedangkan aku pura-pura sibuk membaca buku. Judulnya Every Dead Thing, karangan John Connolly. Bercerita tentang pembunuh berantai yang dijuluki si Pengembara, karena dia tinggalnya di rawa-rawa.
Di sebelahku, kulihat Maya gemetar menahan dingin—akibat AC yang sengaja kuset minimum. “Terima kasih,” katanya setelah aku berikan selimut.
“Yup.” kataku masih pura-pura asyik menekuri buku.
“Kamu nggak dingin, Gun?” tanyanya kemudian.
“Lumayan,” jawabku jujur. “Tapi dekat kamu seperti ini, jadi hangat.”
“Nggak pingin lebih hangat lagi?”
Aku langsung menoleh. “Hah?”
“Emm, maksudku...” Maya gelagapan. “Sini, selimutan bareng aku.”
“Oo... yah, bolehlah,”
Aku segera masuk ke selimut, masih berusaha menjaga jarak. Meski sudah sangat konak, tapi di dalam otak sehatku masih ada sisa-sisa pertahanan yang menyuruh agar aku tidak langsung menyerang. Tunggu saat yang tepat. Dan itu datang tak lama kemudian, ketika Maya sedikit membungkukkan badannya untuk meraih remote. Sontak pantat kecilnya menyundul kontolku yang memang sudah sejak tadi berdiri tegak.
“Ooughh!” erangku pendek.
“Eh, maaf.” katanya, rikuh.
“Tidak apa-apa, May. Memang kursinya agak sempit.” kilahku singkat.
“Iya,” katanya tidak kalah singkat, tanpa menggeser posisinya.
Jadilah tubuh kami jadi sangat rapat, dengan punggungnya menempel di dadaku. Bisa kurasakan detak jantungnya yang benar-benar tidak normal. Seakan berpacu. Dan pantatnya lembut menempel di kontolku, dengan pembatas dua lembar kain tipis, dasternya dan celana boxerku. Toh itu sama sekali tidak bisa membatasi sensasi panas yang terasa di kulit kontolku, entah apa efeknya terhadap pantat semok Maya.
Buku kuletakkan dan aku melingkarkan tangan ke badannya yang kini bersandar lemas kepadaku. Pasrah sepenuhnya. “Apa acara tivi-nya, May?”
“Ini, acara nyanyi yang jurinya Simon Cowell.” dia menjawab. “Galak banget dia, marah-marah terus dari tadi.”
“Maaf ya, May. Tanganku kutaruh di sini, agak pegal soalnya kalau di belakang terus.” kataku.
“Iya, tak apa. Malah hangat!” bisiknya.
Dengan posisi memeluknya dari belakang seperti itu, otomatis lingkaran tanganku langsung mendarat di seputaran dadanya. Libidoku jadi tambah naik, meledak kuat. Benteng tipis pertahananku yang aku jaga mati-matian sedari tadi, kini luruh dilabrak oleh peluru meriam birahi super besar. Sekonyong konyong jebol. Jatuh berantakan. Pada titik ini, aku sudah tidak dapat mengontrol diriku lagi.
Tanganku mulai merayap ke dada Maya, menjamah dan meremas-meremasnya. Sedangkan tiupan nafas panasku sengaja aku semburkan ke tengkuknya. Di bawah, kontol tegakku kugesek-gesekkan ke belahan pantat montoknya. Tidak ada indikasi penolakan ataupun perlawanan dari sahabat istriku itu, sebuah tanda kalau dia juga menikmatinya.
Pura-pura tetap menonton tivi, Maya terdiam. Sama sekali tidak merespon kelakuanku. Tapi sekilas, aku dengar desahan kecil keluar dari bibirnya yang tipis.
Didorong oleh kenekatan, dengan gerakan cekatan boxer segera kulepaskan. Muncullah kontol telanjangku yang menempel pada bagian luar daster Maya. Dan sekali gerak lagi, daster itu pun terangkat sampai ke pinggang. Celana dalam yang masih menghalangi, kusingkapkan ke samping. Kini terasa ujung kontolku menempel langsung ke daerah yang sudah luar biasa basahnya. Belahan lorong vaginanya!
“Gun!” hanya itu yang Maya ucapkan, tanpa berniat untuk melarang.
Tanpa menunggu lama, tanganku kembali ke bukit bulat di dada Maya, meremas-remasnya gemas. Rasanya empuk dan lunak sekali. Sedangkan di bawah, kontolku berusaha menerobos liang memeknya yang sudah terlewati dua orang anak itu. Walaupun memek itu kecil, tetapi daya elastisitas dan cairan licin yang sudah melumuri sangat memudahkan bagi kontolku untuk menerobos relungnya yang lembut dan super basah.
“Oughhhmmhg!” Kudengar Maya melenguh, tanpa merubah posisinya. Pandangannya tetap terpaku ke layar tivi, dengan memek sudah kupenuhi.
Tetapi, DUK! Mentok! Padahal baru setengah batang kontolku yang masuk.
Aku mendorong kontolku lagi. Kupaksakan. Aku merasakan dada Maya berhenti bergerak, dia menahan nafas. Aku paksakan lagi, dan lagi, lalu lagi. Hingga kontolku melejat-lejat liar memenuhi relung vaginanya, seakan kontolku mengobok-obok semua relung vaginanya sampai batas yang terdalam. Aku tahan sumpalan kontolku di sana sejenak, lalu aku tarik mundur sedikit perlahan-lahan. Dan di saat Maya melepaskan nafasnya, sekuat tenaga aku lesakkan lagi ke dalam.
“HEGGGHH...!” sentaknya spontan sambil menutupi mulut dengan tangannya sendiri.
Rangsangan itu begitu besar menerpa diriku. Kenikmatan menyodok mentok di relung vaginanya, membayangkan letupan kebutuhan dan gairah seorang wanita menikah yang mungkin sudah berbulan-bulan tidak terpenuhi, membuatku begitu melayang, begitu terangsang. Ditambah tingkah laku jaim yang ditunjukkan oleh Maya, yang seakan tidak mau berterus terang kalau dia juga menikmati persetubuhan kami, membuatku semakin melayang.
Kutinggalkan dada montoknya. Kini tanganku mencengkeram erat pinggulnya, membantu hentakan pinggulku yang seperti kesetanan. Bak piston dengan kekuatan penuh, terus memompa relung vaginanya dari arah belakang. Sedangkan dia terlonjak-lonjak seiring dengan ritme sodokanku yang semakin cepat dan kuat.
“Hghhh... hhh... hhh...” suara hentakan nafas Maya terdengar seiring hujaman kontolku di liang vaginanya.
Aku terus memompa, dan Maya membekapkan kedua tangan ke mulutnya sendiri. Takut untuk berteriak. Linu, nikmat, sensasional… begitulah yang kurasakan. Pokoknya sangat susah untuk digambarkan.
Masih dengan kedua tangan membekap mulutnya sendiri, aku melihat lelehan air mata di pipi Maya, tapi tanpa isyarat penolakan sama sekali. Entah mengapa, hal itu malah semakin melambungkan gairahku.
Hampir dua puluh menit aku menyentak-nyentakkan kontolku di relung vaginanya, dan entah berapa kali aku merasa ada siraman cairan panas di sana. Entah berapa kali Maya mendapatkan orgasme, yang pasti giliranku juga sudah hampir tiba. Maka kuhentakkan pinggulku kuat-kuat, kuhujamkan dalam-dalam kontolku di relung vaginanya, dan kusemburkan semua pejuhku  di sana. Kurasakan Maya juga mengejang dan menahan lenguhan.
“Ehmm... Gun! Oghhh... ohh... hhh...” Badannya gemetar. Dia orgasme lagi. Aku turut mengejang, bergetar, dan menyembur.
Diiringi lenguhan, aku pun lemas di belakang tubuh sintal sahabat istriku itu. Sengaja kontol tidak aku lepas. Kupeluk lagi dia erat-erat dan kupejamkan mata karena puas. Tak disangka, Maya juga memeluk erat tanganku. Tapi terpaksa segera dilepaskan karena di teras, terdengar langkah kaki Berta yang barusan pulang.
“Istrimu!” Dia berdiri dan lekas membenahi dasternya yang tersingkap. Lalu lari masuk ke dalam kamar. Aku juga buru-buru mengenakan celana, dan menyambut istriku dengan sebuah senyuman.

Comments

Popular posts from this blog

Pertukaran dua sahabat

Aku irwansyah, salah seorang artis yang cukup terkenal di ibukota, beberapa judul film telah aku bintangi, aku bersahabat baik dengan raffi ahmad yang juga seorang artis popular di negeri ini, aku sudah menikah dengan zaskia sungkar namun rumah tangga kami belum di karunia anak, sedangkan sahabatku raffi ahmad juga telah menikah dengan nagita slavina dan telah memiliki seorang putra.

(Bonus Part 2) Pesta di Akhir Pekan

Bonus Chapter: Eksekusi Dinda (Part 2: Main Course) Dinda Fitriani Anjani kecil yang masih duduk di bangku SMP terbangun menjelang tengah malam. Tadi siang dia bekerja keras menjadi pagar ayu di pernikahan kakak perempuannya, dan juga membantu keluarganya di resepsi ala rumahan yang tanpa EO dan berlangsung sampai sore. Sehingga selepas maghrib Dinda tidur begitu saja setelah membersihkan make-up dan berganti baju. Terlewat makan malam, gadis cilik itu sekarang bangun dengan perut lapar.

(Episode 11) Pesta di Akhir Pekan : Akhir Dari Akhir Pekan

“Hayu atuh kalo mau diterusin…” “Pindah aja yuk, jangan di sini” saran Asep sambil berdiri “Lho, kenapa emangnya?” “Yah, biar tenang aja hehe” Dinda akhirnya ikut berdiri menuruti saran Asep. Sebenarnya tujuan Asep biar yang lain tidak ada yang mengganggu mereka. Percuma dong sudah susah payah membuat Irma tepar dalam gelombang birahi kalau tiba-tiba ada yang lain ikut nimbrung. “Kita nyari kamar aja yuk” Asep memegang tangan Dinda dan mulai berjalan menjauhi yang lain “Di kamar atas aja yuk, kasurnya gede sama pemandangannya bagus” usul Dinda “Wah boleh juga tuh”